Manusia sebagai satu species yang memiliki tabiat dan karakteristik asasi yang sama, setelah dihadapkan kepada keberagaman lingkunga...
Manusia sebagai satu species yang memiliki tabiat dan karakteristik asasi yang sama, setelah dihadapkan kepada keberagaman lingkungannya itu, maka berbagai sisi dan fungsi jiwanya terakses dengan sifat, komposisi dan takaran yang pasti berbeda-beda. Tingkat kecerdasan, emosi, imajinasi, kerakusan, kedengkian, kasih sayang dan sebagainya, tumbuh berkembang dengan variasi yang sangat kompleks. Pantas sekali jika lantas timbul perselisihan, perbedaan dan perpecahan di kalangan mereka. Namun demikian, perselisihan itu sangat berpotensi kearah perpecahan dan pertentangan, yang pada tingkat dan takaran tertentu, dapat menimbulkan bencana bagi manusia itu sendiri.
PERSELISIHAN, SEBUAH PROSES ALAMI
كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةً۬ وَٲحِدَةً۬ فَبَعَثَ ٱللَّهُ ٱلنَّبِيِّـۧنَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَ ٱلنَّاسِ فِيمَا ٱخۡتَلَفُواْ فِيهِۚ وَمَا ٱخۡتَلَفَ فِيهِ إِلَّا ٱلَّذِينَ أُوتُوهُ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡبَيِّنَـٰتُ بَغۡيَۢا بَيۡنَهُمۡۖ فَهَدَى ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَا ٱخۡتَلَفُواْ فِيهِ مِنَ ٱلۡحَقِّ بِإِذۡنِهِۦۗ وَٱللَّهُ يَهۡدِى مَن يَشَآءُ إِلَىٰ صِرَٲطٍ۬ مُّسۡتَقِيمٍ
"Manusia itu adalah ummat yang satu. Kemudian Allah mengutus Nabi-nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan Dia menurunkan bersama mereka itu Al Kitab, untuk memutuskan diantara manusia tentang apa yang mereka perselisihkan. Dan tidaklah berselisih tentang Al Kitab itu, melainkan orang-orag yang justru telah meraihnya (mendapatkannya), namun terdapat persaingan (rebutan kepentingan) di antara mereka. Maka Allah memberi petunjuk (menunjuki) orang-orang yang beriman kepada kebenaran yang mereka perselisihkan itu dengan izin-Nya. Dan Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada 'Shirothol Mustaqiem'”. (Al Baqoroh : 213).
Pada dasarnya manusia itu adalah ummat yang satu. Artinya satu species diantara jutaan species makhluk Allah, yang memiliki tabiat asasi yang sama, mempunyai hasrat/keinginan dan ketakutan asasi yang sama, serta sistem dan pola dasar kehidupan yang sama, seperti hal- nya makhluk-makhluk lainnya dalam satu species yang sama.
وَمَا مِن دَآبَّةٍ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَلَا طَـٰٓٮِٕرٍ۬ يَطِيرُ بِجَنَاحَيۡهِ إِلَّآ أُمَمٌ أَمۡثَالُكُمۚ مَّا فَرَّطۡنَا فِى ٱلۡكِتَـٰبِ مِن شَىۡءٍ۬ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّہِمۡ يُحۡشَرُونَ
"Dan tidaklah binatang-binatang yang menapak di bumi serta burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan ummat-ummat (juga) seperti kamu. Dan tidaklah kami luputkan sesuatupun dalam Al Kitab. Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan." (Al An’am : 38)
Manusia yang merupakan salah satu “ummat” itu, adalah mahluk yang paling dimanjakan Allah, dan diberi banyak kelebihan dari makhluk-makhluk lainnya. Dengan akal budi yang dikaruniakan Allah kepadanya, manusia diberi kesanggupan untuk tinggal dan hidup di seluruh bagian muka bumi ini, baik di daratan maupun di lautan dalam berbagai kondisi alam dan lingkungan yang beraneka ragam.
وَلَقَدۡ كَرَّمۡنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلۡنَـٰهُمۡ فِى ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ وَرَزَقۡنَـٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَـٰتِ وَفَضَّلۡنَـٰهُمۡ عَلَىٰ ڪَثِيرٍ۬ مِّمَّنۡ خَلَقۡنَا تَفۡضِيلاً۬
"Dan sungguh telah kami muliakan (manjakan) Bani Adam dan kami gelar mereka di daratan dan di lautan dan mereka kami beri rizki dari yang baik-baik, dan kami lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk yang kami ciptakan, dengan kelebihan yang sempurna". (Al Isro : 70).
Dalam keanekaragaman kondisi alam dan lingkungan yang dihadapi manusia, beragam dan bervariasi pula fasilitas yang berhasil diperoleh manusia dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya, serta beragam dan bervariasi pula tantangan ketakutan dan ketidaksenangan yang dihadapinya.
Manusia sebagai satu species yang memiliki tabiat dan karakteristik asasi yang sama, setelah dihadapkan kepada keberagaman lingkungannya itu, maka berbagai sisi dan fungsi jiwanya terakses dengan sifat, komposisi dan takaran yang pasti berbeda-beda. Tingkat kecerdasan, emosi, imajinasi, kerakusan, kedengkian, kasih sayang dan sebagainya, tumbuh berkembang dengan variasi yang sangat kompleks. Pantas sekali jika lantas timbul perselisihan, perbedaan dan perpecahan di kalangan mereka.
Fenomena di atas adalah realitas yang merupakan bagian integral dari “skenario” Allah (Sunnatullah), dalam mengantarkan peradaban manusia ke arah yang menjadi “program” Allah.
وَمَا كَانَ ٱلنَّاسُ إِلَّآ أُمَّةً۬ وَٲحِدَةً۬ فَٱخۡتَلَفُواْۚ وَلَوۡلَا ڪَلِمَةٌ۬ سَبَقَتۡ مِن رَّبِّكَ لَقُضِىَ بَيۡنَهُمۡ فِيمَا فِيهِ يَخۡتَلِفُونَ
"Dan tidaklah keadaan manusia itu, melainkan sebagai satu ummat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidak karena suatu konsep (Kalimat) yang telah mendahului (mendasari) dari Tuhanmu, pastilah telah diberi keputusan diantara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan". (Yunus : 19)
Namun demikian, perselisihan itu sangat berpotensi ke arah perpecahan dan pertentangan, yang pada tingkat dan takaran tertentu, dapat menimbulkan bencana bagi manusia itu sendiri.
KONTROL SAMAWI TERHADAP PERSELISIHAN MANUSIA
Demi Asma Allah Ar Rahman Ar Rahiem, pada sisi lain dari Sunnah-Nya tadi, Allah telah mengatur dan menggelar kiat-kiat tertentu untuk meredam dan menetralisir perselisihan tersebut agar tidak mengarah kepada bencana, yakni dengan mengutus Nabi-nabi dengan membawa Al Kitab berisi kebenaran yang mutlak sebagai pemberi keputusan terhadap segala perselisihan yang terjadi, sebagaimana dengan jelas dinyatakan dengan Kalamullah yang ternukil di muka, Al Baqoroh : 213.
Dengan demikian, di kalangan manusia yang telah menerima penjelasan dari Al Kitab itu, tidak boleh lagi terjadi perpecahan dan perselisihan. Kalau terjadi, Adzab yang dahsyat dari Allah tak akan terelakkan.
وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَٱخۡتَلَفُواْ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡبَيِّنَـٰتُۚ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ لَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٌ۬
"Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang berbeda-beda dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan yang jelas (Al Kitab). Itulah yang bagi mereka adzab yang dahsyat ... ". (Ali Imron : 105)
Jelas sekali, bahwa perselisihan dan perpecahan di kalangan para penganut Al Kitab itu benar-benar mengundang murka Allah, dan sekaligus menutup peluang untuk memperoleh Rahmat Allah. Seperti Allah nyatakan dalam Kalam-Nya, Al Quran adalah syifa dan rahmat bagi orang-orang mukmin, namun hanya menjadi penambah kerugian bagi orang-orang yang dholim.
وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ۬ وَرَحۡمَةٌ۬ لِّلۡمُؤۡمِنِينَۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّـٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارً۬ا
"Dan kami menurunkan dari Al Quran itu, sesuatu yang menjadi 'syifa' (therapi) dan 'Rahmat' bagi orang-orang Mukmin, dan Al Quran itu tidak memberi nilai tambah bagi orang-orang dholim, kecuali kerugian". (Al Isro: 82).
... وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ ٱلنَّاسَ أُمَّةً۬ وَٲحِدَةً۬ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخۡتَلِفِينَ (١١٨) إِلَّا مَن رَّحِمَ رَبُّكَۚ
"Kalau saja Tuhanmu menghendaki, pastilah Dia jadikan manusia itu ummat yang satu. Namun mereka selalu saja berselisih, kecuali orang-orang yang diberi Rahmat oleh Tuhanmu..." ( Hud: 118-119).
HUKUM TANPA HAKIM, APA MUNGKIN?
Seperti dinyatakan dalam surah Al Baqoroh ayat 213 diatas, Allah mengutus para Nabi dengan dibekali Al Kitab untuk menghakimi perselisihan di kalangan manusia. Namun dalam ketiadaan Nabi, tinggallah Al Kitab sebagai suatu produk hukum tanpa Hakim. Yang ada hanyalah para pembaca dan penganutnya yang telah terlanjur tumbuh keanekaragaman karakter dan tabiatnya, yang dipenuhi pula dengan berbagai ambisi dan kepentingan yang berbeda-beda (baghyan bainahum).
Dalam keadaan demikian, tak ada lagi yang menghakimi perselisihan dengan Al Kitab, malah Al Kitab itu sendiri justru menjadi sumber perselisihan dikalangan para pembaca dan penganutnya. Maka tak pelak lagi bahwa mereka benar-benar dalam kesesatan dan penyimpangan yang amat jauh.
ذَٲلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ نَزَّلَ ٱلۡڪِتَـٰبَ بِٱلۡحَقِّۗ وَإِنَّ ٱلَّذِينَ ٱخۡتَلَفُواْ فِى ٱلۡكِتَـٰبِ لَفِى شِقَاقِۭ بَعِيدٍ۬
"Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al Kitab dengan kebenaran. Dan orang-orang yang berselisih dalam Al Kitab (dalam “berkitab”) itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh". (Al Baqoroh : 176)
Lantas mengapa sampai terjadi hal yang demikian? Al Kitab yang “dari Langit”nya itu dimaksudkan untuk meredam dan mengendalikan perselisihan, dalam perkembangannya, yang terjadi malah sebaliknya, justru petunjuk Al Quran itulah yang selalu diperselisihkan, sehingga perpecahan, bahkan pertentangan dikalangan ummat tak pernah bisa diredam. Keputusasaan ummat menghadapi fenomena ini sudah begitu turun temurun, sehingga generasi sekarang ini sudah terbiasa hidup dalam perpecahan dan perselisihan, bahkan mereka saling membanggakan kelompok dan golongannya masing-masing, seraya mencela dan mencaci golongan lain.
TERAPI KIRA-KIRA
Sesuai dengan tabiat asasinya, manusia cukup menyadari dan takut akan bahaya perpecahan dan perselisihan itu. Namun bukan lagi Al Quran yang mereka jadikan terapi (syifa), melainkan: “keinginan orang banyak”. Itulah yang dipandang sebagai “kekuatan” yang dapat muncul sebagai “pemenang” dan “hakim” dalam perselisihan dan perbedaan pendapat atau keinginan.
Padahal merekapun mengakui bahwa orang banyak itu bukan berarti orang bijak, sehingga terapi yang demikian itu adalah bentuk terapi kira-kira yang berbahaya.
Di lain pihak, Allah telah begitu jelas dan tegas petunjuk-Nya:
وَإِن تُطِعۡ أَڪۡثَرَ مَن فِى ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَخۡرُصُونَ
"Jika kamu menuruti kebanyakan orang di bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari Jalan Allah. Yang mereka ikuti tidak lain hanyalah persangkaan (kira-kira) dan mereka tidak lain hanyalah mengada-ada". (Al An’am : 116)
"VIRUS" PERSELISIHAN KELAS BERAT
Selain dalam Surah Ali Imron ayat 105 seperti dinukil diatas, Allah begitu tegas mengingatkan manusia (terutama para penganut dan “pakar” Al Kitab itu) betapa Allah benci terhadap perselisihan dan perpecahan dalam menjalankan agama-Nya itu, dan Allah menggolongkan yang demikian itu sebagai orang-orang musyrik.
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفً۬اۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡہَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٲلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَـٰكِنَّ أَڪۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ (٣٠) مُنِيبِينَ إِلَيۡهِ وَٱتَّقُوهُ وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَلَا تَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُشۡرِڪِينَ
"Dengan jalan kembali kepada-Nya, bertaqwa kepada-Nya, menegakkan sholat dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah-mecah agama mereka, dan keadaan mereka bergolong-golongan, masing-masing kelompok membanggakan apa yang ada pada mereka". (Ar Ruum : 30-31).
Allah telah menegaskan bahwa perselisihan itu justru terjadi di kalangan mereka yang menganut Al Kitab itu, setelah keterangan dalam Al Kitab itu begitu jelas, namun pada mereka ada kedengkian, persaingan, rebutan ambisi dan sebagainya (“baghyan bainahum”).
وَمَا ٱخۡتَلَفَ فِيهِ إِلَّا ٱلَّذِينَ أُوتُوهُ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡبَيِّنَـٰتُ بَغۡيَۢا بَيۡنَهُمۡۖ...
"...Dan tidaklah berselisih dalam hal Al Kitab (kebenaran) itu, melainkan orang-orang yang telah mendapatkannya, setelah datang kepada mereka keterangan yang jelas, namun terdapat kedengkian (persaingan) di antara mereka". (Al Baqoroh : 213).
Namun kurang ajarnya manusia begitu kelewatan, mereka malah melempar kesalahan (penyebab perselisihan) itu kepada Allah. Mereka katakan bahwa sifat dari Al Quran itu sendiri yang rentan terhadap perselisihan. Di kalangan ummat dan ulama Islam sendiri, telah begitu merata anggapan sebagai berikut:
- Al Qur’an itu bersifat ijmali, hanya menerangkan hal-hal yang pokok, global, yang masih memerlukan perincian lebih lanjut.
- Al Quran itu sangat sulit difahami, sehingga benar-benar memerlukan tafsir, penjelasan, bahkan ta`wil, dari para Ulama yang “mu’tabar” yang memiliki kompetensi untuk itu.
- Bahasa yang digunakan Al Quran itu bukan bahasa Arab biasa, sehingga kandungan maksudnya itu adalah yang “tersirat” bukan yang “tersurat”. Atau dalam penerjemahannya tidak seperti bahasa Arab yang biasanya.
- Dalam Al Quran banyak terdapat ayat-ayat mutasyabihat, yakni ayat-ayat yang maksudnya tidak jelas, yang hanya dapat dipahami dengan “ta`wil” oleh orang yang memiliki kedalaman berbagai ilmu agama.
Ternyata anggapan-anggapan diatas itu sama sekali tanpa dasar, bahkan nyata-nyata bertentangan dengan penyataan Allah dalam Al Quran itu sendiri.
Dengan anggapan-anggapan yang seperti itu, ditambah parah lagi dengan kerancuan-kerancuan yang cukup berat dalam hal bagaimana orang-orang Islam menyikapi Al Quran, telah membuat kehidupan ummat ini benar-benar semakin jauh menyimpang dari petunjuk Allah. Suatu fenomena yang amat serius.
PENELUSURAN DIAGNOSTIK
Diperlukan penulisan buku yang cukup tebal untuk mendiagnosa penyakit perpecahan ini, serta mengidentifikasi virus-virus penyebabnya. Namun sekedar untuk menyingkap secara singkat mengenai hal-hal yang mendasar, berikut kita coba bandingkan bagaimana pandangan dan perlakuan orang Islam terhadap Al Quran, dengan pernyataan Allah dalam Al Quran itu sendiri.
1. Anggapan bahwa Al Quran itu bersifat “ijmali” (global), tidak terperinci.
Perhatikan Kalamullah berikut ini:
الٓرۚ كِتَـٰبٌ أُحۡكِمَتۡ ءَايَـٰتُهُ ۥ ثُمَّ فُصِّلَتۡ مِن لَّدُنۡ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
"Alif laam raa, suatu kitab yang telah dihukumkan (dibakukan) ayat-ayatnya kemudian diperinci langsung dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana dan Maha Tahu". (Huud : 1)
أَفَغَيۡرَ ٱللَّهِ أَبۡتَغِى حَكَمً۬ا وَهُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ إِلَيۡڪُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ مُفَصَّلاً۬ۚ وَٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَـٰهُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ يَعۡلَمُونَ أَنَّهُ ۥ مُنَزَّلٌ۬ مِّن رَّبِّكَ بِٱلۡحَقِّۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡمُمۡتَرِينَ
"Maka patutkan aku mencari hakim selain Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah didatangkan kitab kepada mereka, mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan kepadamu dengan kebenaran. Maka janganlah sekali-kali kamu termasuk orang yang ragu-ragu". (Al An’am : 114).
كِتَـٰبٌ۬ فُصِّلَتۡ ءَايَـٰتُهُ ۥ قُرۡءَانًا عَرَبِيًّ۬ا لِّقَوۡمٍ۬ يَعۡلَمُونَ
"Kitab yang diperinci ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui". (Fusshshilat : 3).
Jelas sekali penegasan Allah bahwa Al Quran itu terperinci, langsung dari sisi Allah (“mufashshol” lawan dari “mujmal”). Maka hanya kegelapan, kebingungan dan keragu-raguan sajalah yang membuat orang beranggapan bahwa Al Quran itu hanya bersifat ijmali.
2. Anggapan bahwa Al Quran itu sukar/tidak mudah difahami.
Benarkah anggapan diatas? Mungkin tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak mencapai kebenaran. Bagaimana dengan ayat berikut:
وَلَقَدۡ يَسَّرۡنَا ٱلۡقُرۡءَانَ لِلذِّكۡرِ فَهَلۡ مِن مُّدَّكِرٍ۬
"Dan sungguh telah kami mudahkan Al Quran untuk pelajaran. Maka adakah yang mengambil pelajaran?". (Al Qomar : 17, 22, 32 dan 40)
Kalau sudah begitu tegas dan berulang-ulang Allah menyatakan bahwa Dia telah memudahkan Al Quran (mejadikan Al Quran itu mudah), kemudian kita tetap mengatakan bahwa Al Quran itu sukar dipahami, maka secara tidak langsung kita menganggap bahwa Allah telah gagal mewujudkan kehendak-Nya. (Subhanallahi ‘Amma Yashifuun).
Memang tidak setiap orang bisa memahami Al Quran. Akan tetapi bukan karena Al Quran itu merupakan sesuatu yang sukar, melainkan, Al Quran merupakan suatu “buku petunjuk” (guide book) tentang bagaimana menjalani hidup dan kehidupan.
أَوَمَن كَانَ مَيۡتً۬ا فَأَحۡيَيۡنَـٰهُ وَجَعَلۡنَا لَهُ ۥ نُورً۬ا يَمۡشِى بِهِۦ فِى ٱلنَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُ ۥ فِى ٱلظُّلُمَـٰتِ لَيۡسَ بِخَارِجٍ۬ مِّنۡہَاۚ كَذَٲلِكَ زُيِّنَ لِلۡكَـٰفِرِينَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
"Apakah orang yang keadaannya mati, kemudian kami hidupkan dia, dan kami jadikan baginya cahaya untuk dia berjalan di tengah-tengah kehidupan manusia, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan yang sama sekali tak bisa keluar daripadanya ?...".(Al An’am : 122).
Maka yang bisa “berkomunikasi” dengan Al Quran hanya mereka yang memahami (atau paling tidak, mengenali) apa yang ditunjuki Al Quran itu, apa hidup dan kehidupan itu? Inilah yang Allah sebut “Al Hikmah”, dan mereka yang memahami nya disebut “Ulul Albaab”. Nah, hanya Ulul Albab sajalah yang bisa mengambil pelajaran dari Al Quran.
يُؤۡتِى ٱلۡحِڪۡمَةَ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُؤۡتَ ٱلۡحِڪۡمَةَ فَقَدۡ أُوتِىَ خَيۡرً۬ا ڪَثِيرً۬اۗ وَمَا يَذَّڪَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَـٰبِ
"Dia memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak akan dapat mengambil pelajaran kecuali 'Ulul Albaab'". (Al Baqoroh: 269)
Jika seorang produsen komputer menyusun sebuah buku petunjuk pengoperasian komputer bagi customernya, betapapun buku tersebut dibuat sedemikian mudah dan praktis, namun bagi orang yang sama sekali belum pernah mengenal komputer, dia tidak akan bisa memperoleh manfaat yang terdapat pada buku petunjuk tersebut. Begitulah kurang lebih analog tentang ihwal di atas.
3. Anggapan bahwa Al Quran itu tidak jelas, dan perlu penjelasan (tafsir).
Sudah merupakan anggapan dan keyakinan yang paling mendasar dari semua orang Islam, bahwa Allah itu Maha Sempurna dan tidak pernah membutuhkan suatu apapun, dan Al Quran yang diturunkan-Nya pun adalah konsep yang sempurna.
وَتَمَّتۡ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدۡقً۬ا وَعَدۡلاً۬ۚ لَّا مُبَدِّلَ لِكَلِمَـٰتِهِۦۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ
"Dan telah sempurnalah Kalimah (konsep/ petunjuk) Tuhanmu dengan benar dan adil. Tak ada yang mengubah-ubah kalimah-Nya, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (Al An’am : 115).
Terhadap sesuatu yang sudah sempurna, tak ada lagi yang perlu didatangkan atau ditambahkan, kecuali akan membuatnya menjadi rusak (fasad). Dengan kaidah ini saja, sudah sulit diterima sebagai kebenaran jika dikatakan bahwa Al Quran masih memerlukan sesuatu dari manusia untuk membuatnya jadi berguna dan bisa memberi petunjuk. “Kurang jelas” adalah suatu sifat kekurangan atau ketidaksempurnaan, suatu hal yang mustahil bagi Allah dan petunjuk-Nya.
Kaidah penalaran lainnya, bahwa Al Quran adalah penjelasan (Al Bayan, Al Bayinaat). Banyak sekali ayat yang menyatakan itu, bahkan, “penjelasan terhadap segala sesuatu” (Tibyaanan li kulli syai`in).
وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ تِبۡيَـٰنً۬ا لِّكُلِّ شَىۡءٍ۬ وَهُدً۬ى وَرَحۡمَةً۬ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ
"...Dan telah kami turunkan Al Kitab kepadamu sebagai penjelasan terhadap segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang Muslim". (An Nahl: 89)
Jadi, kalau Al Quran itu sebuah penjelasan (bukan yang dijelaskan), apa mungkin ada penjelasan terhadap penjelasan. Kalaupun Al Quran dipandang sebagai suatu “produk hukum” samawi, maka pihak yang berhak/berkompeten mengeluarkan penjelasan atas suatu produk hukum, adalah institusi yang mengeluarkan produk hukum itu sendiri, bukan pihak lain manapun. Apalagi mereka yang menjadi objek hukum yang bersangkutan. Dengan demikian, adakah manusia yang notabene sebagai objek hukum samawi ini, merasa atau dipandang berkompeten untuk mengeluarkan penjelasan (tafsir) terhadap produk hukum samawi tersebut?
وَلَا يَأۡتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئۡنَـٰكَ بِٱلۡحَقِّ وَأَحۡسَنَ تَفۡسِيرًا
"Tak satu kasuspun yang mereka datangkan kepadamu, melainkan Aku datangkan kepadamu kebenaran dan “tafsir” (penjelasan) terbaik". (Al Furqon : 33).
Jelas sekali bahwa tafsir itu datang nya dari Allah yang disampaikan kepada Rosul-Nya. Tafsir itu tiada lain adalah Al Quran itu sendiri. Al Quran itulah tafsir (penjelasan) untuk segala kasus kehidupan, yang tidak memerlukan penjelasan lain dari pihak manapun. Kemudian perlu diingat pula, bahwa produk resmi dari manapun yang berupa penjelasan, tak perlu menjelaskan hal-hal yang sudah jelas. Jadi, jika ada beberapa kasus kehidupan yang tidak terdapat dalam Al Quran, tentunya hal tersebut, dalam pandangan Allah, sudah cukup jelas bagi manusia, hanya saja diperlukan manusia yang melek indra, melek akal dan melek hati (Ulul Albaab).
Kedua ayat yang dinukil terakhir diatas begitu umum sekali sifatnya. Al Quran menjelaskan segala sesuatu. Apa pun persoalan kehidupan yang diperselisihkan manusia (yang bagi manusia masih belum jelas), Al Quran pasti menyediakan penjelasan yang tuntas.
Tetapi manusia sudah terbelenggu oleh paradigma kebenaran yang dibuatnya sendiri, yakni, bahwa sesuatu baru akan diterima (atau cukup bisa diterima dan diyakini) sebagai suatu kebenaran (bahkan seakan-akan mutlak) jika sudah mendapat pembenaran dari “bapak-bapak” yang dipandang cendekiawan atau ulama. Betapapun jelasnya ayat yang dibacakan, mereka tetap menolak sebelum ada “pembenaran” dari Bapak-bapak tersebut.
Apakah cercaan dari Allah berikut ini tak digubris juga?
حمٓ (١) تَنزِيلُ ٱلۡكِتَـٰبِ مِنَ ٱللَّهِ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡحَكِيمِ (٢) إِنَّ فِى ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ لَأَيَـٰتٍ۬ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ (٣) وَفِى خَلۡقِكُمۡ وَمَا يَبُثُّ مِن دَآبَّةٍ ءَايَـٰتٌ۬ لِّقَوۡمٍ۬ يُوقِنُونَ (٤) وَٱخۡتِلَـٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّہَارِ وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن رِّزۡقٍ۬ فَأَحۡيَا بِهِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا وَتَصۡرِيفِ ٱلرِّيَـٰحِ ءَايَـٰتٌ۬ لِّقَوۡمٍ۬ يَعۡقِلُونَ (٥) تِلۡكَ ءَايَـٰتُ ٱللَّهِ نَتۡلُوهَا عَلَيۡكَ بِٱلۡحَقِّۖ فَبِأَىِّ حَدِيثِۭ بَعۡدَ ٱللَّهِ وَءَايَـٰتِهِۦ يُؤۡمِنُونَ
"Haa miim. Kitab ini diturunkan dari Allah Yang Maha Jaya lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar tedapat ayat-ayat bagi orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu serta pada apa yang bertebaran dari binatang-binatang yang melata, terdapat ayat-ayat bagi kaum yang yakin. Dan pada pergantian malam dan siang serta pada karunia yang Allah turunkan dari langit kemudian dengan itu Dia menghidupkan bumi sesudah matinya, dan pada pengisaran angin, terdapat ayat-ayat bagi kaum yang berakal. Itulah ayat-ayat Allah yang kami membacakannya kepadamu dengan kebenaran. Maka dengan “hadits” (keterangan) yang mana lagi mereka akan mempercayai, selain Allah dan ayat-ayat-Nya ?". (Al Jatsiyah : 1–6).
وَإِذَا تُتۡلَىٰ عَلَيۡہِمۡ ءَايَـٰتُنَا بَيِّنَـٰتٍ۬ مَّا كَانَ حُجَّتَہُمۡ إِلَّآ أَن قَالُواْ ٱئۡتُواْ بِـَٔابَآٮِٕنَآ إِن كُنتُمۡ صَـٰدِقِينَ
"Jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang jelas, tak ada hujjah mereka kecuali dengan mengatakan: 'Datangkan Bapak-bapak kita, jika kalian orang-orang yang benar'”. (Al Jatsiyah: 25)
Memang tidak salah, bahwa seorang bisa memperoleh informasi yang benar (kebenaran) lewat apa atau siapa saja. Tetapi untuk diyakini sebagai kebenaran, harus dapat dirujuk kepada ayat-ayat Allah, baik yang terwujud pada segala apa yang ada dan terjadi sebagai ciptaan-Nya, maupun wahyu yang diabadikan tertulis (Al Quran) sebagai kalam-Nya. Itulah Allah dan (melalui) ayat-ayat-Nya, satu-satunya sumber kebenaran.