Telah menjadi pandangan dan keyakinan yang merata di kalangan orang-orang Islam bahwa Al Qur’an itu adalah Rahmat dari Allah. Ta...
Telah menjadi pandangan dan keyakinan yang merata di kalangan orang-orang Islam bahwa Al Qur’an itu adalah Rahmat dari Allah. Tapi sudahkah kita cermati bahwa Rahmat dari Al Qur’an itu adalah bagi orang-orang Mukmin, sedangkan bagi orang-orang yang zalim itu malah sebaliknya, justru mereka mendapatkan kerugian.
MUQADDIMAH
وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ۬ وَرَحۡمَةٌ۬ لِّلۡمُؤۡمِنِينَۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّـٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارً۬ا
“Dan Kami menurunkan dari Al Qur’an itu sesuatu yang berupa Rahmat bagi orang-orang mukmin, Namun Al Qur’an itu tidak memberi nilai tambah bagi orang-orang yang dzalim kecuali kerugian”. (Al Isro : 82)
مَثَلُ ٱلَّذِينَ حُمِّلُواْ ٱلتَّوۡرَٮٰةَ ثُمَّ لَمۡ يَحۡمِلُوهَا كَمَثَلِ ٱلۡحِمَارِ يَحۡمِلُ أَسۡفَارَۢاۚ بِئۡسَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِـَٔايَـٰتِ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ لَا يَہۡدِى ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّـٰلِمِينَ
“Perumpamaan orang-orang yang diembankan Taurot kepada mereka tapi kemudian mereka tidak mengembannya, adalah seumpama keledai yang memikul kitab-kitab besar. Sungguh buruk ihwal orang-orang yang mendustai ayat-ayat Allah, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzolim”. (Al Jumu’ah : 5)
لَوۡ أَنزَلۡنَا هَـٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ عَلَىٰ جَبَلٍ۬ لَّرَأَيۡتَهُ ۥ خَـٰشِعً۬ا مُّتَصَدِّعً۬ا مِّنۡ خَشۡيَةِ ٱللَّهِۚ وَتِلۡكَ ٱلۡأَمۡثَـٰلُ نَضۡرِبُہَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ
“Kalau saja Al Qur’an ini Aku turunkan kepada sebuah gunung, pasti kamu lihat gunung itu khusyu, ambruk terpecah belah, disebabkan takut Allah. Itulah perumpamaan yang kami gelar utuk manusia agar mereka berfikir". (Al Hasyr : 21)
“Tak jarang bahwa seseorang membaca Al Qur’an, namun Al Qur’an itu melaknat pembacanya”.(Al Hadits)
Telah menjadi pandangan dan keyakinan yang merata di kalangan orang-orang Islam bahwa Al Qur’an itu adalah Rahmat dari Allah. Tapi sudahkah kita cermati bahwa Rahmat dari Al Qur’an itu adalah bagi orang-orang Mukmin, sedangkan bagi orang-orang yang zalim itu malah sebaliknya, justru mereka mendapatkan kerugian.
Oleh sebab itu, agar tidak tertipu oleh bayangan ilusi atau angan-angan kosong (“amaniyya”) perlu kita selidiki lebih cermat lagi beberapa hal, paling tidak:
- Apakah Rahmat itu dan sejauh mana urgensinya bagi kita?
- Yakinkah kita telah dipandang Allah sebagai orang Mukmin?
- Siapa yang Allah maksud dengan orang-orang dzalim itu? Yakinkah kita tidak termasuk kategori mereka?
Semua itu harus berhasil kita temukan jawabanya secara tuntas dan meyakinkan. Karena segala hal yang berkaitan dengan janji dan ancaman Allah, bukan hal yang main-main. Segala yang berkaitan dengan akibat di Hari Akhir, tidak boleh kita merasa puas dan cukup dengan keadaan yang tidak meyakinkan, perkiraan, bagaimana nanti dan semacamnya. Karena Hari Akhir adalah hari yang tidak ada lagi kesempatan untuk perbaikan, tidak ada lagi hari esok dan tidak bisa kembali ke hari kemarin.
Tidaklah salah keyakinan orang-orang Islam bahwa Al Qur’an itu adalah pedoman hidup atau konsep kehidupan yang datang dari Sang Maha Pencipta, yang pasti memiliki nlai paling tinggi dan paling sempurna dibanding konsep hidup dari manapun/produk siapapun. Maka sudah sepantasnya sekali bahwa kehidupan ummat yang berpedoman kepada ajaran yang bernilai tinggi dan sempurna itu, akan tampil paling tinggi dan terpuji diantara ummat-ummat lainnya.
Namun kenyataan dan fakta-fakta yang ada, nyaris bertolak belakang dengan teori diatas. Hampir di seluruh belahan bumi ini, di barat maupun di timur, selama berabad-abad, ummat Islam atau “bangsa-bangsa Muslim” selalu saja termasuk kelompok yang terdesak, tertekan, terpuruk terbelakang bahkan terjajah dan terhina.
Muncullah apologia penghibur diri: “Biarlah di dunia ini kita kalah, dan hina dimata manusia, asalkan mulia disisi Allah dan bahagia di akhirat”. Kedengarannya memang benar begitu, tapi yakinkah bahwa itu bukan sekedar angan-angan kosong? Tidakkah kita perlu khawatir kalau ini merupakan adzab atau kutukan dari Allah karena para “pengemban Kitab” ini justru menghianatinya?
Maka dari itu, cobalah kita simpan dulu apologia tadi, untuk kemudian kita mentafakuri realitas ini dan mencermati ayat-ayat-Nya, untuk bisa sampai kepada visi dan keyakinan yang benar-benar “Al Haq”, dan terhindar dari ketertipuan oleh angan-angan kosong.
وَمِنۡہُمۡ أُمِّيُّونَ لَا يَعۡلَمُونَ ٱلۡكِتَـٰبَ إِلَّآ أَمَانِىَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَظُنُّونَ
"Dan di antara mereka adalah orang-orang yang buta huruf tidak mengerti Al Kitab kecuali angan-angan kosong belaka, dan mereka tidak lain hanyalah menduga-duga". (Al Baqoroh : 78)
KARUNIA DAN RAHMAT ALLAH
Dua hal yang berpasangan yang dicari oleh setiap manusia (siapapun dia) adalah keinginannya untuk “maju” dan “selamat”. Dan karena keinginan manusia terhadap dua hal tersebut adalah tabiat bawaan (fithrah) manusia yang Allah tetapkan dalam penciptaannya, maka Allah pun menyediakan akses untuk itu bagi manusia, yang merupakan manifestasi dari sepasang Asma Allah yang paling essensial, yakni Ar Rohman, Ar Rohim.
Ar Rohman artinya “Pemurah”. Namun untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, tak cukup hanya dengan sepotong terjemahan dari kata Ar Rohman. Kita perlu mencermati dan mentafakuri apa yang Allah hadirkan secara nyata di depan kita (“Ma baina yadayya”), dan bagaimana Allah “bertutur” dengan Kalam-Nya.
Ar Rohman merupakan Asma yang sepertinya paling Allah banggakan, terlihat dari seringnya Allah menggunakan asma yang satu ini secara langsung (tanpa lafadz Jalalah) sebagai “Nama Diri”-Nya, dan tidak pernah Allah menempelkan asma ini pada manusia. Berbeda dengan Ar Rohim, dimana Rosul pun Allah gambarkan sebagai “Rouufun Rohiim”, dan para pengikutnya “Ruhamaa‘u bainahum”.
Allah Maha Pemurah dalam arti maha kaya, mampu mencukupi segala kebutuhan seluruh mahlukNya, dan melepaskan dengan bebas seluruh kekayaannya yang sepenuh bumi ini untuk diambil siapa saja, tanpa dipagari atau dikawal, dan tak pernah Allah menugaskan siapapun dari langit atau dari bumi untuk menjaga atau “menunggui” seluruh atau bagian tertentu dari kekayaannya ini.
Tidak ada manusia yang seperti itu. Pada hakikatnya manusia tak memiliki apa-apa bahkan drinya pun dimiliki Allah penciptanya. Kalaupun berdasarkan kaidah hukum kehidupan, manusia dipandang memiliki sejumlah harta, pasti dia akan menjaganya habis-habisan, dipagar dan dikunci ketat atau menggaji penjaga siang dan malam.
Kemudian Allah mendorong dan membebaskan manusia untuk menggali sendiri dan mengeksplorasi kekayaan–Nya di bumi ini dengan kemauan dan kemampuannya masing-masing. Dengan demikian, bagaimanapun sikap manusia terhadap Allah (mengabdi ataupun durhaka), mereka punya peluang yang sama untuk memperoleh rizki dan karunia-Nya serta mengejar kemajuan dan kepuasan yang tak pernah ditemukan batasnya. Itulah manifestasi dari asma Allah “Ar Rohman”. Jelas pulalah bahwa setingkat manapun keberhasilan manusia menggali karunia Allah dan mengejar kesenangan hidupnya, sama sekali bukan ukuran bagi kasih sayang dan keridhoan Allah terhadapnya.
هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ ذَلُولاً۬ فَٱمۡشُواْ فِى مَنَاكِبِہَا وَكُلُواْ مِن رِّزۡقِهِۦۖ وَإِلَيۡهِ ٱلنُّشُورُ
“Dialah yang telah menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di pelosok-pelosoknya, dan makanlah dari rizki-Nya”. (Al Mulk : 15)
فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرً۬ا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
“... Maka bertebarlah dimuka bumi dan carilah karunia Allah ...”. (Al Jumu’ah : 10)
Tetapi suatu saat Allah akan “menggulung dan menarik kembali” seluruh kekayaannya, termasuk manusianya, dan seluruh kekayaan yang dianggap manusia sebagai “miliknya”. Kemudian seluruh manusia yang pernah hidup di bumi ini akan dihidupkan kembali bersama-sama di suatu “bumi” yang berbeda sama sekali dengan bumi sekarang ini. Kekayaan Allah tidak lagi tersedia bebas dihadapan mereka. Kemanapun mereka berjalan tak sebutir kecil pun akan dapat mereka peroleh. Sedangkan mereka tetap manusia dengan segala sifat dan tabiatnya seperti sekarang. Mereka lapar dan haus, mereka kembali ingin menikmati apa yang biasa mereka nikmati, mereka takut kepanasan, kelaparan, kedinginan, kesepian dan segala yang menurut tabiatnya mereka benci dan takuti.
Pada hari itu Allah “menyimpan” kekayaannya yang jauh lebih mempesona dari segala apa yang pernah manusia lihat dan rasakan. Suatu “habitat” baru yang Allah sebut sebagai “Jannah” yang dijaga ketat dan “dipagari” dengan jurang yang lebar dan dalam, dipenuhi dengan api yang gemuruh dahsyat, yang Allah sebut “jahannam”.
Semua manusia akan digiring ke sana. Siapa yang bisa berhasil selamat dari neraka Jahannam itu dan berhasil mencapai Jannah-Nya ? Tentunya hanya mereka yang benar-benar disayang Allah, yang dalam menjalani hidupnya di dunia berhasil meraih kasih sayang Allah. Dan inilah Rahmat Allah yang merupakan manifestasi dari Asma-Nya: Ar Rohim.
BAGAIMANA MENDAPATKAN RAHMAT ?
Jika telah jelas bahwa Rahmat Allah itu adalah kasih sayang-Nya, maka sangatlah logis bahwa untuk memperoleh kasih sayangnya itu bukanlah dengan jalan mengeruk kekayaan-Nya, melainkan dengan menampilkan perilaku yang “pas dengan kesukaanya”.
Ibarat seorang anak yang mengharapkan kasih sayang orang tuanya, tentunya bukan dengan jalan menguras kekayaan orang tuanya, melainkan dengan menampilkan perilaku yang benar-benar disukai dan memuaskan orang tuanya itu. Kepuasan dan kesenangan Allah dan orang tua itulah yang dalam konteks keIslaman diistilahkan dengan “Ridho”.
Jelaslah kiranya bahwa Ridho Allah adalah syarat untuk mendapatkan Rahmat-Nya, dan Rahmat Allah adalah syarat untuk mendapatkan Jannah-Nya.
Kalau seorang anak mencari keridhoan kedua orang tuanya, dengan mudah dapat melihat hasilnya atau gagalnya. Dari respon orang tua atas perilaku sang anak, dari tutur kata dan air mukanya saja si anak dapat segera tahu apakah orang tuanya ridho (berkenan) atau tidak puas bahkan marah.
Tentunya tidaklah demikian halnya dalam mengharap ridho Allah. Allah adalah dzat yang gaib kita tidak pernah melihat dan merasakan secara indrawi dzatnya atau respon-Nya terhadap perilaku kita. Kalau kita hanya mendasarkan pada dugaan atau persangkaan bahwa Allah ridho atau Allah marah, pasti dugaan itu keliru.
وَمَا يَتَّبِعُ أَكۡثَرُهُمۡ إِلَّا ظَنًّاۚ إِنَّ ٱلظَّنَّ لَا يُغۡنِى مِنَ ٱلۡحَقِّ شَيۡـًٔاۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمُۢ بِمَا يَفۡعَلُونَ
“Kebanyakan dari mereka tidak mengikuti, kecuali persangkaan. Maka sesungguhnya persangkaan itu tidak berguna sedikitpun untuk mencapai kebenaran...” (Yunus : 36)
Seringkali manusia mengira atau beranggapan bahwa perbuatannya itu suatu kebaikan yang pasti Allah akan meridhoi. Padahal tanpa dia sadari bahwa dalam pandangan Allah perbuatannya itu tergolong merusak atau destruktif.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ لَا تُفۡسِدُواْ فِى ٱلۡأَرۡضِ قَالُوٓاْ إِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُونَ (١١) أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلۡمُفۡسِدُونَ وَلَـٰكِن لَّا يَشۡعُرُونَ
“Dan jika dikatakan kepada mereka, janganlah kalian membuat kerusakan di bumi, mereka berkata: “Kami semata-mata melakukan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itu melakukan perusakan (destruktif) namun mereka tidak menyadarinya”. (Al Baqoroh : 11-12)
Kita semua percaya, bahwa Rosulullah saw. sebelum diangkat menjadi Rosul pun perilakunya selalu terpuji. Tak seorang pun yang mencelanya, bahkan semua orang menyebutnya “Al Amin”. Tapi bagaimana pandangan Allah terhadap beliau ketika beliau belum menerima wahyu Al Qur’an?
وَوَجَدَكَ ضَآلاًّ۬ فَهَدَىٰ
“Dan Dia mendapati engkau dalam keadaan tersesat (dhollan), kemudian Dia memberi petunjuk” (Ad Dhuha : 7)
Diatas telah dikemukakan bahwa Rahmat dan kasih sayang Allah, mutlak diperlukan manusia untuk dapat selamat dari adzabnya dan memperoleh kenikmatan yang abadi di Hari Akhir. Selanjutnya, berdasarkan fakta-fakta kehidupan (ayat-ayat “kauniyah”), logika sehat dan nash Al Qur’an, dapat diperoleh pokok-pokok pengertian sebagai berikut:
Rahmat Allah tidak dapat diperoleh dari kekayaan-Nya yang tersedia di bumi, melainkan langsung dari sisi-Nya, dan diperoleh manusia dalam bentuk petunjuk (Hudan) dan bimbingan (Rosyadan), yang terkemas sempurna dan abadi dalam Al Qur’an.
رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوبَنَا بَعۡدَ إِذۡ هَدَيۡتَنَا وَهَبۡ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحۡمَةًۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡوَهَّابُ
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau palingkan lagi hati kami setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan berilah kami Rahmat langsung dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi." (Ali Imron : 8)
إِذۡ أَوَى ٱلۡفِتۡيَةُ إِلَى ٱلۡكَهۡفِ فَقَالُواْ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحۡمَةً۬ وَهَيِّئۡ لَنَا مِنۡ أَمۡرِنَا رَشَدً۬ا
“... Ya Tuhan kami berilah kami Rahmat langsung dari sisi-Mu, dan sempurnakanlah bimbingan bagi kami dalam segala urusan kami” (Al Kahfi:10)
Masalahnya sekarang, Al Qur’an secara fisik (mushafnya) telah ada ditangan kita semua dan kita senantiasa membacanya. Tapi kemudian bagaimana Al Qur’an itu secara nyata (konkrit) dan benar berperan terhadap manusia sebagai petunjuk dan bimbingan kehidupan? Untuk jawaban atas pertanyaan ini, memerlukan pembahasan tersendiri dalam topik khusus tentang itu, namun sekedar kerangka dasar, kita dapatkan isyarat dari petunjuk Allah sebagai berikut:
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱلَّذِينَ هَاجَرُواْ وَجَـٰهَدُواْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ يَرۡجُونَ رَحۡمَتَ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ۬ رَّحِيمٌ۬
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang yang berhijrah dan berjihad di Jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan Rahmat Allah...” (Al Baqoroh : 218)
SIAPA YANG DIRUGIKAN AL QUR'AN
Sepertinya tidak patut ada pertanyaan seperti itu. Bagaimana mungkin ada fihak yang dirugikan Al Qur’an kalau bukan syetan. Bukankah Al Qur’an itu adalah Rahmat bagi seluruh alam?
Tetapi kalau kita simak kembali hadist Nabi yang dikutib diatas, tidakkah amat mengerikan jika ada pembaca Al Qur’an tapi malah terkena laknat (kutukan) Al Qur’an itu? Siapakah mereka yang demikian malang itu?
Tapi kemudian kita tak perlu repot-repot mencari jawabannya, karena ayat yang dikutib sebelumnya, telah jelas menjawabnya, yakni: orang-orang dholim dan orang-orang yang tidak menegakkan amanah yang terkandung di dalamnya. Kemudian tentunya kita mesti menelusuri lebih lanjut, siapakah orang-orang dholim itu? Apakah amanah yang terkandung dalam Al Qur’an, dan bagaimana menegakkannya?
Untuk pertanyaan kedua, perlu pembahasan yang cukup panjang dan tersendiri. Namun sekedar untuk mempertegas betapa seriusnya permasalahan ini, perlu kita simak satu ayat berikut ini:
قُلۡ يَـٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَـٰبِ لَسۡتُمۡ عَلَىٰ شَىۡءٍ حَتَّىٰ تُقِيمُواْ ٱلتَّوۡرَٮٰةَ وَٱلۡإِنجِيلَ وَمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُمۡۗ
“Katakanlah: “Hai ahli kitab, kamu tidak pada sesuatupun (tidak dipandang beragama sedikitpun) hingga kamu menegakkan Taurat, Injil dan apa (Al Qur’an) yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu ..." (Al Maidah : 68)
Yang akan kita bahas lebih lanjut di sini, siapakah yang Allah kategorikan sebagai orang-orang dholim itu?
Catatan pertama kita adalah, bahwa orang yang dianggap Allah sebagai dholim itu bukan hanya orang semacam Firaun, Namrudz dan sebagainya. Bahkan seorang Nabi pun ternyata bisa terperosok pada kedholiman, antara lain:
Pertama: Nabi Adam ketika tertipu oleh Iblis dengan “pohon larangan” yang dianggapnya sebagai “pohon keabadian” (syajarotul khuldi).
وَلَا تَقۡرَبَا هَـٰذِهِ ٱلشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ ٱلظَّـٰلِمِينَ
“... dan janganlah kalian mendekati “pohon” ini karena dengan begitu kalian akan termasuk orang-rang yang dholim” (Al Baqoroh : 35)
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِينَ
“Mereka berkata: Ya Tuhan kami, kami telah mendholimi diri sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, pastilah kami termasuk orang-orang yang rugi” (Al A’rof : 23)
Adakah terlintas dalam fikiran kita suatu kekhawatiran bahwa “pohon larangan” itu pun belaku untuk kita sebagai “Bani Adam”, dan kita pun tertipu dengan “ilusi syajarotul khuldi” ?
Kedua: Nabi Yunus, ketika tidak sabar menjalankan amanah lalu pergi meninggalkan amanah itu. Kemudian Allah mengujinya, sebagaimana Allah terangkan:
وَذَا ٱلنُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَـٰضِبً۬ا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقۡدِرَ عَلَيۡهِ فَنَادَىٰ فِى ٱلظُّلُمَـٰتِ أَن لَّآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبۡحَـٰنَكَ إِنِّى ڪُنتُ مِنَ ٱلظَّـٰلِمِينَ
“... maka ia menyeru dalam kegelapan bahwa tidak ada Ilah selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang dholim” (Al Anbiya : 87)
Perlukah kita renungkan dan pikirkan kalau-kalau kita pun termasuk yang meninggalkan amanah Allah dan berada dalam kegelapan? Yang jelas, kedua Nabi Allah diatas segera menyadari kekhilafannya, dan mendapatkan “Kalimat-kalimat” dari Allah, yang dengan itu mereka bertaubat.
Selain phenomena kedua Nabi Allah diatas, dapat kita temukan pula phenomena kedholiman lainnya, antara lain :
1. Lebih mengikuti hawa nafsu (perasaan) daripada ilmu (kebenaran).
وَلَٮِٕنۡ أَتَيۡتَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَـٰبَ بِكُلِّ ءَايَةٍ۬ مَّا تَبِعُواْ قِبۡلَتَكَۚ وَمَآ أَنتَ بِتَابِعٍ۬ قِبۡلَتَہُمۡۚ وَمَا بَعۡضُهُم بِتَابِعٍ۬ قِبۡلَةَ بَعۡضٍ۬ۚ وَلَٮِٕنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم مِّنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِۙ إِنَّكَ إِذً۬ا لَّمِنَ ٱلظَّـٰلِمِينَ
“... dan jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu, termasuk orang-orang yang dholim” (Al Baqoroh: 145)
2. Melanggar aturan Allah.
ٱلطَّلَـٰقُ مَرَّتَانِۖ فَإِمۡسَاكُۢ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ تَسۡرِيحُۢ بِإِحۡسَـٰنٍ۬ۗ وَلَا يَحِلُّ لَڪُمۡ أَن تَأۡخُذُواْ مِمَّآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ شَيۡـًٔا إِلَّآ أَن يَخَافَآ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡہِمَا فِيمَا ٱفۡتَدَتۡ بِهِۦۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَعۡتَدُوهَاۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ
“... Itulah aturan-aturan Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Maka barang siapa yang melangar aturan Allah, maka ia termasuk orang-orang yang dholim” (Al Baqoroh : 229)
3. Mengada-ada keterangan/ajaran yang kemudian dinyatakan/dianggap dari Allah.
فَمَنِ ٱفۡتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَ مِنۢ بَعۡدِ ذَٲلِكَ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ
“Maka barangsiapa mengada-adakan dusta atas Allah dari sesudah itu,maka mereka itulah orang-orangyang dholim” ( Ali Imron : 94)
4. Mengambil keputusan tidak berdasarkan hukum Allah.
وَكَتَبۡنَا عَلَيۡہِمۡ فِيہَآ أَنَّ ٱلنَّفۡسَ بِٱلنَّفۡسِ وَٱلۡعَيۡنَ بِٱلۡعَيۡنِ وَٱلۡأَنفَ بِٱلۡأَنفِ وَٱلۡأُذُنَ بِٱلۡأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلۡجُرُوحَ قِصَاصٌ۬ۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ ڪَفَّارَةٌ۬ لَّهُ ۥۚ وَمَن لَّمۡ يَحۡڪُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ
“... dan barangsiapa yang tidak menghukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang dholim” ( Al Maidah : 45)
5. Menukar/mengganti perintah Allah dengan yang tidak diperintahkan.
فَبَدَّلَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ قَوۡلاً غَيۡرَ ٱلَّذِى قِيلَ لَهُمۡ فَأَنزَلۡنَا عَلَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ رِجۡزً۬ا مِّنَ ٱلسَّمَآءِ بِمَا كَانُواْ يَفۡسُقُونَ
“Maka orang-orang yang dholim itu menganti perintah dengan yang tidak diperintahkan kepada mereka, maka kami turunkan kepada orang-orang yang dholim itu “petaka dari langit, disebabkan mereka berbuat fasik” (Al Baqoroh : 59)
Apabila keterangan-keterangan diatas kita hubungkan dengan phenomena objektif yang ada dan terjadi, tidak ada jalan untuk mengelak bahwa fenomena kedholiman itulah yang eksis selama ini. Kalau itu benar, apa yang bisa diharapkan dari Allah oleh kaum yang dholim ini selain kerugian? Dan Allah telah lebih merinci kerugian ini, yang secara ringkas dapat dipapar sebagai berikut:
- Allah tak akan memberi petunjuk (hidayah) kepada orang-orang dholim (3:86, 3:144, 28:50)
- Tidak akan memperoleh apapun dari Al Qur’an selain siksaan dan kerugian (17:82, 62:5)
- Allah mendatangkan kepada mereka “petaka dari langit” (sulit diduga datangnya dan penyebabnya) (2:59)
- Allah akan membuat mereka binasa/terpuruk dan mengantikanya dengan kaum yang lain (11:21)
- Kaum yang dholim tidak akan mendapat pertolongan dari adzab Allah (3:192 )
Dari uraian di atas, kiranya cukup jelas, bahwa Al Qur’an memang Rahmat dan Petunjuk jalan kebahagiaan dan keselamatan bagi orang-orang Mukmin. Namun tipu daya syetan benar-benar halus dan berbahaya, sehinga hanya sedikit sekali orang yang berhasil memperoleh Rahmat Allah itu. Dari bukti-bukti yang ada pada kita, siapakah kiranya kita ini dalam pandangan Allah?
فَكَيۡفَ إِذَا جِئۡنَا مِن كُلِّ أُمَّةِۭ بِشَهِيدٍ۬ وَجِئۡنَا بِكَ عَلَىٰ هَـٰٓؤُلَآءِ شَہِيدً۬ا
”Maka bagaimanakah jika (suatu hari) kami datangkan seorang saksi dari tiap-tiap ummat, dan kami datangkan kamu sebagi saksi atas mereka semua?” (An Nisa : 41)
سُبْحَانَ اللّهِ وَ بِحَمْدِهِ
Telah menjadi pandangan dan keyakinan yang merata di kalangan orang-orang Islam bahwa Al Qur’an itu adalah Rahmat dari Allah. Tapi sudahkah kita cermati bahwa Rahmat dari Al Qur’an itu adalah bagi orang-orang Mukmin, sedangkan bagi orang-orang yang zalim itu malah sebaliknya, justru mereka mendapatkan kerugian.