Al Qur'an Kandungan Rahmat dan Proses PenTanzilannya (2)

SHARE:

Suatu prinsip yang mesti menjadi catatan penting, bahwa sesuai dengan apa yang layak bagi Allah Dzat yang Maha Suci dan Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana, ditegaskan-Nya bahwa dalam menyampaikan Kalam-Nya (“berbicara”) kepada manusia, Allah hanya menggunakan tiga cara sebagaimana diterangkan dalam Kalam-Nya berikut ini:

alquran-kandungan-rahmat-dan-proses-pentanzilannya-2

Bagian 2: SUBSTANSI STRUKTURAL-OPERASIONAL

Cara Allah Yang Elegan Dan Bermartabat

Suatu prinsip yang mesti menjadi catatan penting, bahwa sesuai dengan apa yang layak bagi Allah Dzat yang Maha Suci dan Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana, ditegaskan-Nya bahwa dalam menyampaikan Kalam-Nya (“berbicara”) kepada manusia, Allah hanya menggunakan tiga cara sebagaimana diterangkan dalam Kalam-Nya berikut ini:

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ ٱللَّهُ إِلَّا وَحۡيًا أَوۡ مِن وَرَآىِٕ حِجَابٍ أَوۡ يُرۡسِلَ رَسُولاً۬ فَيُوحِىَ بِإِذۡنِهِۦ مَا يَشَآءُ‌ۚ إِنَّهُ ۥ عَلِىٌّ حَڪِيمٌ۬

Dan tidak akan terjadi bagi seorang manusiapun bahwa Allah berbicara dengan dia kecuali dengan cara wahyu atau dari balik hijab (tabir) atau dengan mengutus seorang Rosul, lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (Asy Syuro :51)

Petunjuk ayat di atas begitu jelas bahwa dalam menyampaikan Kalam (yang didalam Kalam teresbut terkandung berita, peringatan, petunjuk, perintah, larangan dan sebagainya) kepada manusia, Allah hanya menggunakan tiga cara yaitu:
  • Kontak langsung dengan yang bersangkutan (personal) dari balik hijab
  • Menyampaikannya secara wahyu
  • Memunculkan dan melepas seorang Rosul yang mengajarkan kepada mereka kebenaran dari Allah dan memimpin mereka di Jalan-Nya.
Ini berarti bahwa manusia boleh merasa menerima sesuatu dari Allah yang merupakan muatan (kandungan dari Kalamullah itu) jika benar-benar muncul dan hadir kepada mereka seorang Rosul yang menyampaikan hal tersebut kepada mereka, dan itu adalah karunia Allah bagi mereka.

لَقَدۡ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذۡ بَعَثَ فِيہِمۡ رَسُولاً۬ مِّنۡ أَنفُسِهِمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡہِمۡ ءَايَـٰتِهِۦ وَيُزَڪِّيہِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ وَٱلۡحِڪۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِى ضَلَـٰلٍ۬ مُّبِينٍ

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah membangkitkan diantara mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum itu, mereka (orang-orang yang beriman itu) benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imron : 164)

Proses membuminya Al Quran (sampainya Al Quran kepada manusia) itu dimulai dari diturunkannya Al Quran kepada manusia di bumi sebagai suatu “Ruh dari Urusan Allah” (“Ruh Min Amrillah”) sebagaimana pada awalnya diturunkan kepada Nabi Muhammad yang menjadikan hati (jiwa) beliau hidup dengan tumbuhnya iman dan diterangi Cahaya Allah.

وَكَذَٲلِكَ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ رُوحً۬ا مِّنۡ أَمۡرِنَا‌ۚ مَا كُنتَ تَدۡرِى مَا ٱلۡكِتَـٰبُ وَلَا ٱلۡإِيمَـٰنُ وَلَـٰكِن جَعَلۡنَـٰهُ نُورً۬ا نَّہۡدِى بِهِۦ مَن نَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِنَا‌ۚ وَإِنَّكَ لَتَہۡدِىٓ إِلَىٰ صِرَٲطٍ۬ مُّسۡتَقِيمٍ۬

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu suatu Ruh dari Urusan Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab itu dan tidak pula mengetahui apakah iman itu. Tetapi kami telah menjadikannya sebagai cahaya, yang dengan cahaya itu Kami memberi petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar-benar membimbing (manusia) ke jalan yang lurus. (Asy Syuura : 52)

Dua Substansi: “Bacaan” Dan “Kejelasan”

Allah menggunakan kata “Al Kitab” pada ayat di atas dalam bentuk “Ism Ma’rifah” (definite), ini menunjukkan bahwa kitab yang dimaksud adalah kitab yang Rosulullah sudah mengenalnya atau sudah ada padanya, namun beliau belum memahaminya, dengan kata lain Al Kitab tersebut belum terang bercahaya, baru berupa bacaan yang beliau hafal dan dapat membacakan kalimat-kalimatnya, belum menjadi cahaya petunjuk yang menerangi. Baru kemudian bagian demi bagian dari Al Kitab tersebut (secara berangsur-angsur) menjadi terang bercahaya setelah Allah mewahyukan “Suatu Ruh Dari Urusan-Nya”.

Ayat di atas juga menunjukkan bahwa pada Al Quran itu ada dua substansi yang berbeda dan terpisah yaitu:
  1. Bacaannya, yaitu kalimat-kalimat redaksional yang tersusun indah, yang beliau bisa membacakan (mengucapkannya) dan didengar orang sebagai bacaan yang indah itu.
  2. Kejelasan makna dan maksud dari bacaan tersebut.
Substansi (1) itulah yang ditunjuk dengan lafadz “Al Kitab”, dan substansi (2) yang disebut sebagai “Cahaya Petunjuk”

Adanya kedua substansi tersebut diperjelas dengan Kalam-Nya yang lain, yaitu:

لَا تُحَرِّكۡ بِهِۦ لِسَانَكَ لِتَعۡجَلَ بِهِۦۤ (١٦) إِنَّ عَلَيۡنَا جَمۡعَهُ ۥ وَقُرۡءَانَهُ ۥ (١٧) فَإِذَا قَرَأۡنَـٰهُ فَٱتَّبِعۡ قُرۡءَانَهُ ۥ (١٨) ثُمَّ إِنَّ عَلَيۡنَا بَيَانَهُ


  • Janganlah kamu gerak-gerakkan lidahmu karena tergesa-gesa dengan Al Quran itu
  • Sesungguhnya tanggungan Kamilah himpunannya dan bacaannya.
  • Maka apabila Kami telah membacakannya, ikutilah bacaannya itu.
  • Kemudian, sesungguhnya tanggungan kami jugalah penjelasannya. (Al Qiyamah : 16-19)
Pada ayat di atas, substansi Al Kitab berupa bacaannya itu terdiri dari dua substansi lagi, yaitu bacaan (redaksional) kalimat-kalimat (ayat-ayatnya) dan susunan (himpunan) semua ayat-ayat sebagi satu kesatuan Al Kitab. Keduanya diklaim secara tegas sebagai tanggungan (urusan dan wewenang) Allah, dan demikian pula halnya dengan substansi penjelasannya yang merupakan “urusan kemudian” dan tanggungan Allah juga.
Rosul saja tidak diberi wewenang untuk berwacana lebih jauh (menggerak-gerakkan lidah) lebih dari sekedar membacakan apa yang dibacakan kepadanya. Karena penjelasannya adalah urusan dan wewenang Allah. Lalu atas dasar apa para ulama merasa lebih dari Rosul, sehingga merasa sanggup dan berwenang mengembangkan wacana dan retorika sebagai menjelaskan (menafsirkan) Al Quran.

Lalu kapan (bilamana) Allah menurunkan penjelasannya itu, dan dalam dalam bentuk apa penjelasan tersebut? Agar pembahasan ini tidak berkembang menyamping, jawaban atas pertanyaan ini akan dibahas pada seri kemudian dari serial ini. Insyaallah.

Menunjukkan Bukti (Fakta) Bukan Mendoktrin

Setelah Rosul meneraima Al Kitab yang telah Allah jadikan cahaya terang itu, maka Allah memerintah beliau untuk menyampaikan apa yang dia pahami itu kepada manusia. Itulah cara ketiga yang gunakan dalam menyampaikan Kalam-Nya kepada manusia, yakni “dengan melepas sorang Rosul”.

ٱتۡلُ مَآ أُوحِىَ إِلَيۡكَ مِنَ ٱلۡكِتَـٰبِ وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ‌ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ‌ۗ وَلَذِكۡرُ ٱللَّهِ أَڪۡبَرُ‌ۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا تَصۡنَعُونَ

Bacalah apa (bagian) yang telah diwahyukan (dituntaskan wahyunya) kepadamu dari Al Kitab dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu melarang (perilaku) keji dan mungkar. Dan mengingat (menyerap ajaran dan petunjuk) Allah itu benar-benar hal yang amat berat dan Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (Al Ankabut : 45)

Ayat di atas mengandung suatu rambu-rambu bahwa bagian dari (ayat-ayat) Al Kitab yang Rosul belum mendapatkan kejelasannya, (Allah belum menjadikannya sebagai cahaya terang karena belum diwahyukan Ruh dari urusan-Nya), Rosul hanya boleh menyampaikan sebatas bunyi bacaannya sebagaimana yang dibacakan kepadanya (apa adanya).

Demikian itu adalah sebagaimana ketentuan pada Al Qiyamah : 16-19 terdahulu, juga diperjelas dengan Kalam-Nya lain berikut ini:

فَتَعَـٰلَى ٱللَّهُ ٱلۡمَلِكُ ٱلۡحَقُّ‌ۗ وَلَا تَعۡجَلۡ بِٱلۡقُرۡءَانِ مِن قَبۡلِ أَن يُقۡضَىٰٓ إِلَيۡكَ وَحۡيُهُ ۥ‌ۖ وَقُل رَّبِّ زِدۡنِى عِلۡمً۬ا

Maka Maha Tinggi Allah Raja yang Haq. Dan janganlah kamu tergesa-gesa dengan Al qur'an sebelum dituntaskan (ditetapkan) kepadamu wahyunya. Dan Katakanlah: "Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu”. (Thoha : 114)

Rambu-rambu sedemikian itu adalah suatu prinsip yang pasti dan tidak boleh diabaikan, agar sinkron dengan prinsip yang Allah tetapkan bagi manusia yang mendengar atau menerima apa yang disampaikan Rosul, yaitu sebagaimana diterangkan pada ayat-ayat berikut:

أَفَمَن يَعۡلَمُ أَنَّمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَ ٱلۡحَقُّ كَمَنۡ هُوَ أَعۡمَىٰٓ‌ۚ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَـٰبِ (١٩) ٱلَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهۡدِ ٱللَّهِ وَلَا يَنقُضُونَ ٱلۡمِيثَـٰقَ (٢٠) وَٱلَّذِينَ يَصِلُونَ مَآ أَمَرَ ٱللَّهُ بِهِۦۤ أَن يُوصَلَ وَيَخۡشَوۡنَ رَبَّہُمۡ وَيَخَافُونَ سُوٓءَ ٱلۡحِسَابِ (٢١) وَٱلَّذِينَ صَبَرُواْ ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّہِمۡ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنفَقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَـٰهُمۡ سِرًّ۬ا وَعَلَانِيَةً۬ وَيَدۡرَءُونَ بِٱلۡحَسَنَةِ ٱلسَّيِّئَةَ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ لَهُمۡ عُقۡبَى ٱلدَّارِ


  • Apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu sutu kebenaran seperti halnya orang yang buta? Sesungguhnya yang dapat mengambil pelajaran hanyalah Ulul Albaab,
  • (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian,
  • Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan untuk dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut akan hisab (penilaian) yang buruk.
  • Dan orang-orang yang sabar mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak keburukan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),
Tidak seorang manusiapun yang bisa merasakan atau ikut menyaksikan peristiwanya ketika Allah menurunkan “Apa yang diturunkan Robbmu kepadamu” itu. Yang mereka ketahui adalah Rosul menyampaikan peringatan dan seruan kerpada mereka. Lalu diantara mereka ada yang merespon positif yaitu membenarkan bahwa apa yang disampaikan Rosul itu adalah kebenaran dari Allah, dan ada pula yang merespon negatif dengan mendustakan dan menudingnya sesat.

Allah menegaskan bahwa mereka yang membenarkan Rosul itu tidak seperti halnya orang yang buta, yaitu hanya membenarkan apa yang mereka dengar, melainkan melihat dan merasakan sendiri bukti yang nyata atas kebenarannya itu. Dengan kata lain Allah tidak ingin bahwa Rosul mengajarkan sesuatu dengan menuntut manusia untuk percaya saja apa yang diajarkan kepada mereka itu, melainkan membenarkan fakta-fakta atas kebenaran tersebut (ayat-ayat Allah).

Maka orang yang mendustakannya itu sangat layak dan pantas sekali disebut kafir terhadap ayat-ayat Allah. Mereka adalah orang-orang yang telah terbiasa mendengar apa yang selama ini mereka anggap benar, padahal mereka tidak pernah melihat bukti-bukti kebenarannya itu, seperti halnya orang yang buta.

وَمَن كَانَ فِى هَـٰذِهِۦۤ أَعۡمَىٰ فَهُوَ فِى ٱلۡأَخِرَةِ أَعۡمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلاً۬

Dan Barangsiapa yang dalam hal ini buta, maka ia di akhirat pun buta dan sangat tersesat jalan. (Al Isro : 72)

Maka pantaslah jika Rosul hanya diijinkan Allah untuk berwacana (mengimplementasikan) ayat-ayat Al Quran yang telah terang dan jelas baginya (Allah telah mewahyukan Ruhnya, dan menjadikannya cahaya terang). Sedangkan yang belum demikian, Rosul hanya boleh mengikuti bacaannya, dan membacakan kepada manusia sebagaimana dibacakan kepadanya.

“Instrumen” Dan Institusi Robbani

Selanjutnya Allah menentukan batasan bahwa orang yang dapat mengakses, memahami dan mengikuti kebenaran, atau dengan kata lain, orang yang jiwanya compatible untuk dialiri “Energi Robbani” (Ruh Min Amrillah) bermuatan Rahmat yang disampaikan Rosulnya itu, hanyalah mereka yang berkualifikasi dan menempati posisi ULUL ALBAAB.

Menurut ketentuan dari Kalam-Nya di atas (Ar Ro’d : 20-22), ada 7 (tujuh) kriteria Ulul Albaab, yaitu:
  1. Memenuhi janjinya dengan Allah dan tidak merusak perjanjian tersebut
  2. Menyambungkan apa yang Allah perintahkan untuk disambungkan
  3. Takut akan hisab (penilaian) yang buruk
  4. Sabar (tabah dan berani) dalam mencari ridho Allah
  5. Menegakkan Sholat (membangun jaringan Rahmat)
  6. Siap mengeluarkan sebagian hartanya
  7. Menolak keburukan dengan kebaikan
Ketujuh kriteria tersebut dapat dideskripsikan secara ringkas sebagai berikut:
  1. Para Ulul Albab itu pernah melakukan ikatan perjanjian dengan Allah. Karena seseorang tidak bisa dianggap sebagai memenuhi atau melanggar janji jika ia tidak pernah membuat perjanjian. Lalu kapan dan bagaimana perjanjian tersebut dibuat? Tentang ini perlu pembahasan tersendiri yang cukup komprehensip. Insyaallah pada seri yang lain. Yang pasti, bahwa yang bersangkutan akan sangat menyadari dan mengingatnya jika memang pernah membuat perjanjian tersebut.
  2. Untuk mengetahui secara benar tentang apa yang diimaksud dengan: “yang Allah perintahkan untuk disambungkan”, mesti ditelusuri secara cermat perintah-perintah Allah tentang itu dalam Al Quran. Bukan secara sok tahu dan serampangan dengan sekedar ungkapan basi-basi dan klise seperti “menyambungkan tali silaturahmi dan persaudaraan”, sebagaimana catatan kaki pada terjemahan Al Quran versi Depag.
  3. Memiliki karakter (sikap mental) yang mendorongnya untuk selalu berusaha menggali potensi dan kekuatan agar bisa melakukan dan menghasilkan yang terbaik, agar terhindar dari citra dan penilaian (hisab) yang buruk, dari pihak manapun.
  4. Mengembangkan karakter terpuji (sabar) agar menjadi kebanggaan (ridho) Allah.
  5. Menegakkan Sholat, yang secara ritual sebagai media mengomunikasikan segala urusan kepada Allah, dan secara aktual membangun jaringan manajerial yang kokoh dan rapi berdasarkan konsep (Adz Dikr) yang diakses dari sisi Allah.
  6. Siap mengeluarkan sebagian harta (dibebani pungutan) sebagai pembiayaan (nafaqoh) di Jalan Allah.
  7. Menampilkan kultur (budaya) kedamaian, dengan menangkal keburukan-keburukan dengan cara positif dan terpuji (menampilkan kebaikan).
Itulah “instrumen-instrumen Robbani” yang harus tersedia dan terpasang pada “jaringan Rahmat” di bumi untuk terbangunnya suatu infrastruktur yang compatible guna mengakses dan mengalirkan “Energi Ruhiyyah” bermuatan Rahmat Allah dari Al Quran yang terdapat pada situs “Lauh Mahfudz” di “langit maya”, kemudian “software” Rahmat Allah itu terinstalkan padanya.

Tapi hal yang amat penting sekali dan tidak boleh diabaikan bahwa piranti-piranti Robbani itu semuanya berupa sesuatu yang hidup (sejenis makhluk hidup). Maka kata “tersedia” dan “terpasang” di atas hanya suatu analog dengan piranti-piranti buatan manusia yang bukan tergolong “makhluk hidup” walaupun menampilkan fenomena “hidup” seperti: “sudah jalan”, “berfungsi”, “mobil”, dan sebagainya.

Jika seseorang atau sekelompok orang mencari orang-orang yang memenuhi kriteria tertentu, misalnya sepaham, sependapat, memiliki kesamaan-kesamaan tertentu atau bersedia untuk bergabung dan lain-lain, kemudian mereka menyatukan diri atau “dipasang” menjadi suatu institusi, maka institusi seperti itu adalah buatan manusia dengan cara manusia. Software Robbani yang berupa Ruh itu tidak mungkin bisa ditransformasi dan diinstal pada piranti mati buatan manusia itu.

Pada Institusi Robbani yang hidup, maka fenomenanya bukan “tersedia” dan “terpasang” melainkan “tumbuh” kemudian “terbentuk” secara berangsur menuju kualitas standar, yaitu 7 kriteria Ulul Albaab tersebut di atas.

Ketika pada diri seseorang terjadi fenomena Nubuwwah yang membuat hatinya jadi terang dengan Cahaya Rahmat Allah setelah diwahyukannya Ruh Min Amrillah yang membuat Bacaan Al Quran menjadi petunjuk yang jelas, maka bangkit (muncul)-lah ia sebagai suatu “cikal bakal” dari institusi Robbani di bumi ini. Itulah kebangkitan seorang Rosul, yang meskipun hanya (baru) satu individu (seorang) Allah telah meyebutnya sebagai “Ummat”, contohnya, Ibrahim.

إِنَّ إِبۡرَٲهِيمَ كَانَ أُمَّةً۬ قَانِتً۬ا لِّلَّهِ حَنِيفً۬ا وَلَمۡ يَكُ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ

Sesungguhnya Ibrahim adalah suatu Ummat yang konsisten setia kepada Allah secara bersih dan lurus dan tidak sekali-kali Dia Termasuk golongan musyrikin (yang menandingi Allah). (An Nahl : 120)

Sebagai respon atas perintah Allah yang sudah jelas, ia (Rosul itu) membacakan ayat-ayat yang jelas itu kepada orang lain, kemudian (jika efeknya positif) orang tersebut merasakan pula kejelasan dari bacaan Al Quran yang telah dikenalnya itu, lalu tumbuh iman (yang sebenarnya iman) di hatinya. Kemudian ia menyambungkan diri kepada Rosulnya itu. Maka cikal bakal tadi tumbuh bertunas, dan begitulah seterusnya.

Fenomena tersebut di atas adalah merupakan respon atas maklumat dan arahan Allah yang terkandung pada Kalam-Nya sebagai berikut:

هُوَ ٱلَّذِى يُصَلِّى عَلَيۡكُمۡ وَمَلَـٰٓٮِٕكَتُهُ ۥ لِيُخۡرِجَكُم مِّنَ ٱلظُّلُمَـٰتِ إِلَى ٱلنُّورِۚ وَڪَانَ بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ رَحِيمً۬ا

Dialah (Allah) dan Malaikat-malaikat-Nya yang mengalirkan (rahmat) kepada kamu semua, agar Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya terang dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. (Al Ahzab :43)

إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَـٰٓٮِٕڪَتَهُ ۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِىِّۚ يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيۡهِ وَسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya mengalirkan (Rahmat-Nya) itu kepada Nabi. (Oleh karena itu) Hai orang-orang yang beriman, menyambunglah kamu kepadanya dan menyerah dirilah dengan penyerahan diri yang sebenar-benarnya. (Al Ahzab :56)

Ketika oarang-orang (dari suatu kaum atau kalangan) yang kepada mereka Rosul membacakan ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa (hati dan pikiran) mereka dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Hikmah, maka sebagian dari mereka ada yang tumbuh iman di hatinya dan tumbuh pula kesiapan untuk tunduk di bawah kepemimpinan Rosul tersebut untuk mengemban amanah Allah.

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذۡنِ ٱللَّهِ‌ۚ وَلَوۡ أَنَّهُمۡ إِذ ظَّلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ جَآءُوكَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ ٱللَّهَ وَٱسۡتَغۡفَرَ لَهُمُ ٱلرَّسُولُ لَوَجَدُواْ ٱللَّهَ تَوَّابً۬ا رَّحِيمً۬ا (٦٤) فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِىٓ أَنفُسِہِمۡ حَرَجً۬ا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمً۬ا


  • Dan tidaklah Kami melepas seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika mendholimi dirinya sendiri datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
  • Maka demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian tidak terdapat dalam hati mereka suatu keberatan pun atas keputusanmu, dan mereka tunduk dengan ketundukan yang sebanar-benarnya. (An Nisa : 64-65)
Ketika Rosul menerima pernyataan seseorang untuk mengimani dan mengikutinya, maka Allah memberi arahan juga kepadanya untuk meresponnya dengan suatu tindakan yang formal, operasional dan definitif.

خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٲلِهِمۡ صَدَقَةً۬ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيہِم بِہَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡ‌ۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ۬ لَّهُمۡ‌ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Pungutlah shodaqoh dari harta mereka, dengan (pungutan shodaqoh) itu kamu men-”thohir”-kan mereka (menjadiklan mereka “Al Muthohharun”) dan mensucikan (jiwa) mereka dan sambungkanlah (Rahmat-Nya) kepada mereka. Sesungguhnya penyambunganmu itu (memberi) pososi definitif (“sakanu”) bagi mereka, dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (At Taubah : 103)

Melalui mekanisme yang mengikuti petunjuk dan arahan dari Allah seperti di atas, maka muncul (bangkit) dan tumbuhlah di bumi suatu Komunitas Robbani sebuah institusi yang “hidup” dengan “Ruh Min Amrillah”. Itulah infrastuktur Robbani yang original dan legal sebagai suatu jaringan yang memancarkan Cahaya Rahmat Allah di muka bumi.

Karakteristik “Cahaya Allah”

Di bagian lain Allah memberi pula gambaran yang pas, akurat dan komprehensip tentang “Sistem Pencahayaan Robbani” bagi kehidupan manusia sebagai berikut:

ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ‌ۚ مَثَلُ نُورِهِۦ كَمِشۡكَوٰةٍ۬ فِيہَا مِصۡبَاحٌ‌ۖ ٱلۡمِصۡبَاحُ فِى زُجَاجَةٍ‌ۖ ٱلزُّجَاجَةُ كَأَنَّہَا كَوۡكَبٌ۬ دُرِّىٌّ۬ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ۬ مُّبَـٰرَڪَةٍ۬ زَيۡتُونَةٍ۬ لَّا شَرۡقِيَّةٍ۬ وَلَا غَرۡبِيَّةٍ۬ يَكَادُ زَيۡتُہَا يُضِىٓءُ وَلَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡهُ نَارٌ۬‌ۚ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٍ۬‌ۗ يَہۡدِى ٱللَّهُ لِنُورِهِۦ مَن يَشَآءُ‌ۚ وَيَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَـٰلَ لِلنَّاسِ‌ۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمٌ۬

Allah itu (energi) cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya itu, seperti sebuah “misykat” (lubang pada dinding atau langit-langit rumah), yang di dalamnya ada sebuah lampu. Lampu itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang berkilau) seperti mutiara. (cahayanya) dinyalakan dari (kayu) pohon yang diberkahi dan zaituni (berminyak) tidak tergolong timur dan tidak juga tergolong barat (eksklusif). Minyaknya (saja) nyaris kemilau bersinar meski tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (semakin terang), Allah membimbing kepada cahaya-Nya itu siapa yang Dia kehendaki, dan Allah menggelar perumpamaan-perumpamaan itu bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (An Nur : 35)

Menyimak ayat di atas, mungkin muncul pertanyaan, mengapa bukan matahari yang Allah jadikan perumpaan bagi cahaya-Nya itu? Karena sepengetahuan manusia, mataharilah sumber cahaya yang paling kuat dan hebat, dan merupakan sumber energi yang dahsyat. Tapi malah “hanya” sebuah lampu yang berada dalam sebuah misykat.

Tetapi kemudian pertanyaan tersebut akan segera terjawab dan sekaligus memberi pelajaran yang jelas, jika dicermati dengan seksama karakteristik dari “lampu” yang Allah jadikan tamsil tersebut, dan bisa teridentifikasi kondisi-kondisi sebagai berikut:
  1. Cahaya yang dibuat tamsil tersebut terjadi dari dua unsur yakni: Kayu berminyak yang diberkahi (dengan sedikit energi, cahayanya terang benderang), ditambah dengan api yang dinyalakan padanya.
  2. Kalaupun tidak dinyalakan api, minyaknya saja sudah berkilau menerangi. Maka ditambah dengan nyala api, cahayanya menjadi semakin terang (cahaya di atas cahaya). Ditambah lagi dengan tabung kaca yang kemilau sehingga berfungsi sebagai reflektor, membuat cahaya itu terpancar lebih kuat lagi. Tergambarkan betapa Cahaya Allah itu terang benderang.
  3. Tetapi karena posisi lampu tersebut ada pada sebuah misykat, suatu ruang kecil yang menjorok ke dalam, maka pancaran cahayanya hanya menerangi medan tertentu (semacam lampu senter), sedangkan ruang di sekitar medan tersebut tetap gelap. Orang-orang yang dikehendaki Allah untuk dimasukkan ke dalam Rahmat-Nya, Dia tuntun ke dalam cahaya-Nya itu. Sementara orang-orang yang berdiam diri saja, mereka tetap dalam kegelapan.
Demikianlah Allah membuat perumpamaan tentang Cahaya Rahmat-Nya, yang ternyata bahwa matahari yang cahayanya begiru kuat dan hebat tidak semisal dengan Cahaya Allah, setidaknya dalam dua hal yaitu:
Pertama: Ketika matahari bersinar, cahayanya terpancar ke seluruh belahan bumi. Tanpa berbuat apapun semua makhluk-Nya mendapat cahaya matahari itu. Sedangkan yang ingin mendapat Cahaya Allah, harus bergerak menuju pancaran cahaya yang sangat terbatas itu.

Kedua: Matahari selalu bersinar abadi sampai dunia ini kiamat. Yang terjadi hanya pergantian malam dan siang yang begitu teratur secara pasti sesuai takdir yang Allah tetapkan. Sedangkan lampu dari minyak dan api, dalam waktu yang tidak terlalu lama, minyak itu akan habis mengering, sinarpun padam dan kembali gelap gulita.

Demikian pula dengan Cahaya Rahmat Allah. Al Quran adalah energi sumber cahaya yang penuh berkah, yang unik dan eksklusif tidak ala timur (syarqiyyah) dan tidak ala barat (ghorbiyyah), melainkan “ala langit” (samawiyyah) dan paling tinggi. Kemudian Allah memilih Rosul yang dijadikan-Nya sebagai lampu pemancar cahaya tersebut. Maka ketika Rosul wafat, dan tidak ada lagi Penerus Rosul (Kholifatur-Rosul) yang tetap lurus di Jalan-Nya, maka cahaya itu pun semakin redup dan berangsur-angsur padam, kehidupan manusia pun kembali gelap gulita.

Urusan Allah (Amrullah) yang diturunkan-Nya ke bumi sebagai suatu Ruh (Ruhan Min Amrinaa) hanya mungkin gumelar pada instalasi Robbani yang hidup. Ketika Instalasi tersebut rusak dan mati maka Ruh Min Amrillah itupun “dicabut” dari peredarannya di bumi, dan kembali ke “langit” Itu sudah merupakan Sunnatullah.

يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ ثُمَّ يَعۡرُجُ إِلَيۡهِ فِى يَوۡمٍ۬ كَانَ مِقۡدَارُهُ ۥۤ أَلۡفَ سَنَةٍ۬ مِّمَّا تَعُدُّونَ

Dia menggelar urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu. (As Sajdah : 5)

Mungkin dalam perhitungan kita manusia, proses ditariknya kembali Urusan Allah dari bumi ini, atau dengan kata lain Cahaya Rahmat Allah mulai meredup menuju kegelapan ini berlangsung selama seribu tahun, atau seribu tahun sudah manusia tersesat dalam kegelapan. Tapi menurut “agenda” Allah, itu baru satu hari. Manusia tidak punya kapasitas untuk menunggu dan bisa menyaksikan sesuatu yang merupakan aplikasi dan rotasi dari agenda Allah itu. “Besoknya” Allah itu, bisa seribu tahun yang akan datang bagi kita manusia.

Terlunta-Lunta Dalam Kegelapan

Begitu jelasnya petunjuk Allah tentang proses dan prosedur “pembumian Al Quran” dan berbagai asfek tentang Cahaya Petunjuk-Nya. Namun entah kenapa ayat-ayat Al Quran di atas yang merupakan arahan dan petunjuk Allah untuk gumelarnya Jaringan Rahmat Allah di bumi, oleh para ulama diterjemahkan sedemikian rupa sehingga yang terjadi bukannya infrastruktur Robbani yang mengakses dan mengalir sebarkan Rahmat Allah, melainkan semakin maraknya lantunan “Sholawat” yang merupakan sanjungan dan pujaan terhadap Nabi yang sudah tiada.

Bebagai ragam bid’ah semakin tumbuh menjamur yang membuat wajah Islam semakin kusam dan kumuh. Apa yang mereka sebut “amal ibadah” sama sekali bukan pengembanan misi amanah (Risalah) melainkan berbagai ritualisme primitif yang penuh mistik, tahayul dan angan-angan kosong.

Butuh wacana panjang lebar yang tak berguna untuk mengomentari dan membahas tentang penyimpangan ayat-ayat di atas yang melenceng jauh, malah menjadi budaya sholawatan. Pembahasan tentang hal tersebut di sini tidak dipandang perlu. Silakan saja bandingkan, mana yang pantas sebagai konsep Robbani yang Suci dan Agung, yang tidak mungkin terungguli oleh konsep manapun dari selain Allah.

Kini perjanjian dengan Allah sudah tidak dikenal lagi, konsep Jaringan Rahmat telah berganti jadi budaya sholawatan yang membuat kebisingan di masjid-masjid, berbagai bentuk “kenduri” dan “selamatan” yang mistis dan tahayul, atau seni “sholawatan” yang menjadi hiburan dan komoditas di dunia entertainment (ungkapan Al Quran: “hanya siulan dan tepuk tangan”).

Konsep infaq-shodaqoh malah jadi budaya mengemis. Semakin maraknya para “Pengemis di Jalan Allah”, banyak yang di jalanan, keluar masuk kampung, nangkring (Sunda: camegog) diwakili kencleng menadah recehan di loket-loket. Semua itu mengatas-namakan Allah (Dienullah). Subhanallah ... begitu berani dan teganya mereka memperhinakan dan menjual nama Allah, hanya karena kemiskinan mereka sendiri.

Model Tandingan Yang Ilegal

Pada pembahasan di muka, substansi fundamental menyangkut eksistensi Kitabullah yang sebenarnya (haqiqi) telah benar-benar diabaikan, dan diganti dengan “Kitab yang ditulis tangan-tangan mereka sendiri” yang tidak mengenal proteksi atau aturan apapun untuk siapa saja bisa mengobok-oboknya.

Dengan demikian maka Al Quran dalam pandangan manusia (dalam hal ini, Kaum Muslimin) sudah bukan lagi Al Quran yang sebenarnya Allah maksud, yaitu yang tetap berada di sisi Allah, yang proses dan prosedur pembumiannya hanya bisa berlangsung menurut Sunnatullah yang ditetapkan-Nya.

Dengan memandang bahwa Al Quran itu sudah berada dalam genggaman mereka, di sisi lain mereka telah berhasil merumuskan apa yang mereka sebut “Ilmu-ilmu Agama” yang 12 fan itu, yang dengan itu mereka berhasil menempati “menara gading” dalam kehidupan beragama di masyarakat. Maka pantaslah jika mereka berjuang keras untuk mempertahankan “prestasinya” itu.

Strategi (makar) yang pertama dilakukan agar siapapun tidak boleh mengganggu kemapanan yang telah mereka nikmati, bahkan Allah sendiri pun jangan sampai mengancam posisi mereka, maka ditanamkan doktrin bahwa Al Quran tidak boleh diterjemahkan dan dipahami dengan menyalahi 12 fan ilmu agama buatan mereka itu.

Strategi kedua, sektor Nubuwwah (kenabian) yang merupakan “motherboard” dari sistem pembumian Al Quran itu dimatikan (dibunuh), diganti dengan sanjungan-sanjungan pujaan kepada Nabi yang sudah tiada. Masyarakat pengikut mereka sudah cukup terbuai dengan itu. Akibatnya, satu-satunya jenis “Lampu” (Syirojan Muniero) yang compatible memancarkan Cahaya Rahmat Allah itu sudah tidak (boleh) ada lagi. Energi sehebat apapun mana bisa menjadi cahaya jika lampunya tidak ada.

Masih ada strategi berikutnya, kebetulan “nemu” kata dalam Al Quran yang bisa mereka jadikan label untuk instrumen buatan mereka sendiri, yakni “Ulama”. Kemudian dengan over pede mereka memposisikan diri sebagai “Pewaris Para Nabi”, mengklaim hak dan wewenang menentukan halal dan haram. Padahal yang mendapat wewenang atau izin Allah untuk itu hanya Rosul.

Mana mungkin instrumen buatan manusia berdasarkan konsep rekaan sendiri yang sama sekali tidak melirik Ayat-ayat Allah bisa memancarkan Cahaya Robbani, Cahaya Rahmat Allah. Bahkan tidak bisa memancarkan cahaya apapun. Ibarat kayu tidak berminyak dan tidak disentuh api.

Akibat dari rusaknya pengetahuan dan pandangan manusia tentang Al Quran Kitabullah pada subtansi fundamental seperti terpapar di atas, maka otomatis apa yang terjadi pada substansi struktural-operasional pun menjadi amburadul tanpa bentuk, digantikan dengan model “Ruhbani” (kerahiban), firqoh dan golongan-golongan yang sama sekali tidak berkonsep “Robbani” dan semua itu ilegal.

Untuk menyikapi fenomena di atas, Allah mengingatkan orang-orang Mukmin, antara lain sebagai berkut:

وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَٱخۡتَلَفُواْ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡبَيِّنَـٰتُ‌ۚ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ لَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٌ۬

Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang kepada mereka (keterangan dan bukti-bukti) yang nyata. Mereka Itulah orang-orang yang bagi mereka adzab yang besar. (Ali Imron : 105)

فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفً۬ا‌ۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡہَا‌ۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِ‌ۚ ذَٲلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَـٰكِنَّ أَڪۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ (٣٠) ۞ مُنِيبِينَ إِلَيۡهِ وَٱتَّقُوهُ وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَلَا تَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُشۡرِڪِينَ (٣١) مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمۡ وَڪَانُواْ شِيَعً۬ا‌ۖ كُلُّ حِزۡبِۭ بِمَا لَدَيۡہِمۡ فَرِحُونَ


  • Maka tegakkanlah segenap jiwamu pada Dienullah secara bersih dan lurus; (tetaplah pada) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) Ad Dien yang tegak dan lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
  • (Jadilah sebagai) orang-orang yang kembali kepada (fitrah)-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk (jadi bagian dari) orang-orang yang mempersekutukan (menandingi) Allah,
  • Yaitu orang-orang yang memecah-mecah (merusak) agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka. (Ar Ruum : 30-32)
Masih diperlukan satu pembahasan lagi menyangkut Hakikat Al Quran sebagai kandungan Rahmat Allah dan proses pembumiannya, Insyaallah pada Seri berikutnya, Bagaian 3: Substansi Behavior-Kultural.
Name

Dakwah Ilallah,12,Jalan Keselamatan,7,Jurnal Roqim,1,Kajian Lepas,42,Manhaj Risalah,12,
ltr
item
Ini Islam: Al Qur'an Kandungan Rahmat dan Proses PenTanzilannya (2)
Al Qur'an Kandungan Rahmat dan Proses PenTanzilannya (2)
Suatu prinsip yang mesti menjadi catatan penting, bahwa sesuai dengan apa yang layak bagi Allah Dzat yang Maha Suci dan Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana, ditegaskan-Nya bahwa dalam menyampaikan Kalam-Nya (“berbicara”) kepada manusia, Allah hanya menggunakan tiga cara sebagaimana diterangkan dalam Kalam-Nya berikut ini:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgrcDLI3PdywATkT0R287KGT9ahCiArIM2s4toJWE95uiEWoNaX2rsoeWAJHm0UjDWsPyEUC2sp-ct06qPVa58Vi387GB7AzMW_g6MB9qocDNn06zIMqdz7-bJy4SkhsYEFDKU-5s3VFN8/s640/alquran-kandungan-rahmat-dan-proses-pentanzilannya-2.png
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgrcDLI3PdywATkT0R287KGT9ahCiArIM2s4toJWE95uiEWoNaX2rsoeWAJHm0UjDWsPyEUC2sp-ct06qPVa58Vi387GB7AzMW_g6MB9qocDNn06zIMqdz7-bJy4SkhsYEFDKU-5s3VFN8/s72-c/alquran-kandungan-rahmat-dan-proses-pentanzilannya-2.png
Ini Islam
http://www.iniislam.net/2017/01/alquran-kandungan-rahmat-dan-proses-pentanzilannya-2.html
http://www.iniislam.net/
http://www.iniislam.net/
http://www.iniislam.net/2017/01/alquran-kandungan-rahmat-dan-proses-pentanzilannya-2.html
true
7017169815549685310
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share to a social network STEP 2: Click the link on your social network Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy Table of Content