Al Qur'an Kandungan Rahmat dan Proses PenTanzilannya (3)

SHARE:

Telah diterangkan pada seri terdahulu bahwa memahami hakikat Al Qur'an Kitabullah itu harus mencakup tiga substansi, yaitu Substansi Fundamental, Substansi Struktural dan Substansi Kultural. Kemudian perlu dipahami pula bahwa ketiga substansi tersebut bukan berupa sesuatu yang dipetak-petak secara terpisah, melainkan tiga substansi yang satu sama lain saling terjalin secara utuh dan sistemik.

alquran-kandungan-rahmat-dan-proses-pentanzilannya-3

Bagian 3: SUBSTANSI BEHAVIOR-KULTURAL

PENDAHULUAN

Telah diterangkan pada seri terdahulu bahwa memahami hakikat Al Qur'an Kitabullah itu harus mencakup tiga substansi, yaitu Substansi Fundamental, Substansi Struktural dan Substansi Kultural. Kemudian perlu dipahami pula bahwa ketiga substansi tersebut bukan berupa sesuatu yang dipetak-petak secara terpisah, melainkan tiga substansi yang satu sama lain saling terjalin secara utuh dan sistemik.

Oleh sebab itu dalam pembahasannya tidak masing-masing terpisah secara eksplisit, akan tetapi akan selalu bersinggungan dan saling menjelaskan.

Dari pembahasan pada dua seri terdahulu ada beberapa palajaran yang mesti dicatat kembali untuk mengantarkan pada pembahasan berikutnya (bagian 3 ini). Satu diantaranya adalah bahwa Allah menciptakan segala sesuatu apapun di alam ini disertai dengan takaran yang pasti, yang Allah sebut sebagai “TAKDIR”, yaitu suatu piranti halus (software) yang diinstal dan di-setup pada alam semesta ini dan mengatur segala “prilaku” alam ini secara pasti, exact dan akurat. Itulah “takdir” yang dalam ilmu pengetahuan manusia (filsafat) disebutnya “Hukum Alam”.

Untuk itu kita simak kembali beberapa Kalam-Nya berikut ini:

وَخَلَقَ ڪُلَّ شَىۡءٍ۬ فَقَدَّرَهُ ۥ تَقۡدِيرً۬ا

Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan takaraannya secara akurat. (Al Furqon : 2)

وَٱلشَّمۡسُ تَجۡرِى لِمُسۡتَقَرٍّ۬ لَّهَا‌ۚ ذَٲلِكَ تَقۡدِيرُ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡعَلِيمِ

Dan matahari berjalan pada posisi edarnya. Demikianlah penetapan qadar (ukuran) yang Maha Kuasa lagi Maha Mengetahui. (Ya Sin : 38)

وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ قَدَرً۬ا مَّقۡدُورً

Dan adalah urusan Allah itu suatu qadar (takaran ketetapan) yang benar-benar terukur. (Al Ahzab : 38)

Tapi sayang kebanyakan manusia (dalam hal ini Kaum Muslimin) memalingkan pengertian takdir seperti tersebut di atas menjadi “qodlo dan qodar” dengan substansi pengertian yang jauh sekali yaitu: “Ketatapan Allah sejak ajali (sebelum alam ini diciptakan) tentang segala “nasib” (peruntungan) yang baik atau yang buruk bagi manusia dan semua makhluk”. Dengan kata lain, apapun yang berhasil atau gagal diraih manusia, dan apapun nasib yang menimpa mereka, itu semua adalah realisasi dari apa yang sudah menjadi ketetapan dari Allah sejak ajali. (“Nasib” adalah kata  pungutan dari Bahasa Arab juga yaitu “nashiebun”, yang artinya “jatah” atau “quota”. Melenceng jauh dari makna takdir )

Pengertian takdir yang melenceng seperti itu, bisa berdampak buruk terhadap sikap mental, kinerja dan ethos juang manusia. Mereka kurang gigih dalam berusaha dan cenderung mudah pasrah, kadang “menyalahkan” Allah ketika hal-hal buruk mereka alami atau menimpa mereka, dengan mengatakan “itu sudah suratan takdir” dari Allah Yang Maha Kuasa. Dan untuk hal-hal yang baik mereka lebih banyak merengek dan membujuk Allah dengan berbagai macam do’a dan suguhan (sesajen).

Pergantian Malam dan Siang

Pada penciptaan alam semesta ini dikenal adanya dua dimensi, yakni ruang dan waktu. Pada dimensi ruang kita mengenal tiga dimensi lagi yaitu atas-bawah, kanan-kiri dan depan-belakang. Demikian pula adanya tiga dimensi waktu yaitu, masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang.

Pada alam dimensi ruang, khususnya bumi dimana manusia tinggal, terjadi fenomena pergantian malam dan siang, sebagai akbat dari rotasi bumi, yakni sebagian permukaan bumi gelap ketika posisinya membelakangi matahari, dan sebagian lainnya terang ketika menghadap ke arah matahari. Perputaran bumi pada porosnya secara konstant dan teratur, yang berdampak pada terjadinya pergantian malam dan siang, itupun berdasarkan kentuntuan dan pengukuran yang pasti dan akurat yang Allah tetapkan sebagai taqdir-Nya juga.
Tiap sekali putaran bumi pada porosnya (rotasi bumi) dengan kecepatan (waktu putar) yang konstan, terjadi satu kali pergantian gelap dan terang, dan manusia menyebutnya satu hari, kemudian untuk keperluan mengenali waktu, durasi satu hari itu dipenggal-penggal sebagai 24 jam, dan seterusnya.

Muncul pertanyaan: “Adakah fenomena pergantian gelap dan terang pada dimensi waktu dari alam ini, dan bagaimana taqdirnya?”

Fenomena yang dimaksud, bukanlah suatu yang tampak secara kasat mata seperti terang dan gelapnya dimensi ruang di muka bumi sebagai efek dari perputaran bumi terhadap matahari, melainkan terang dan gelapnya hati dan kehidupan manusia berkenaan dengan Cahaya Allah seperti diterangkan pada Surat An Nur : 35 pada bagian terdahulu.

Pada dimensi ruang, manusia dan makhluk-makhluk lainnya aktif bergerak (mobil). Mereka bisa bergerak atau pergi ke semua arah atau diam (berhenti) di satu titik dalam dimensi ruang ini. Tetapi dalam dimensi waktu, manusia dan semua makhluk diam tak bergerak, waktulah yang berjalan secara konstan tak pernah berhenti. Tidak ada yang bisa pergi ke masa lampau atau mendahului ke masa depan. Semua makhluk berada pada satu titik yang sama dalam dimensi waktu.

Membaca fenomena keberadaan manusia dalam dimensi ruang di alam ini yang tampak secara kasat mata, bahwa semua makhluk di bumi secara keseluruhan dan bergiliran, bertemu dengan waktu gelap (malam) dan waktu terang (siang). Adapun dalam dimensi waktu fenomenanya adalah: Dalam perjalanan waktu, sebagian manusia berada pada posisi gelap (tanpa Cahaya Allah) dan sebagian lainnya berada pada posisi terang benderang di bawah Cahaya Allah.

Mereka yang berada di bawah Cahaya Allah adalah mereka yang dipilih (terseleksi) dan dikeluarkan-Nya dari kegelapan kepada cahaya terang, atas “kehendak-Nya” (sesuai taqdir-Nya), yakni mereka yang mobilitas dan perilakunya sinkron (nyambung) dengan segala ketentuan dan takaran (taqdir) yang telah Allah instalkan pada seluruh dan dimensi alam ciptaan-Nya.

الٓر‌ۚ ڪِتَـٰبٌ أَنزَلۡنَـٰهُ إِلَيۡكَ لِتُخۡرِجَ ٱلنَّاسَ مِنَ ٱلظُّلُمَـٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ بِإِذۡنِ رَبِّهِمۡ إِلَىٰ صِرَٲطِ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡحَمِيدِ

Alif, laam raa. Suatu kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, kepada jalan (Dia) yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (Ibrahim:1)

Ada catatan pada ayat di atas bahwa dikeluarkannya manusia dari kegelapan kepada cahaya terang itu, dengan seizin Allah. Atau pada beberapa ayat lainnya, “yang Allah kehendaki” (Man Yasyaa`). Ini menunjukkan bahwa masuknya seseorang ke dalam medan Cahaya Rahmat Allah hanya bisa terjadi dengan melalui proses dan prosedur yang telah Allah tetapkan sebagi taqdir-Nya itu, tanpa bisa diubah-ubah atau ditawar-tawar.

Telah diterangkan pada bagian yang yang lalu bahwa Cahaya Allah itu bermula dari Urusan Allah (Amrullah) yang ditransform berupa Ruh dan diwahyukan kepada Rosul, yang dengan itu Al Quran yang semula belum Rosul pahami, secara berangsur-angsur menjadi jelas dan terang. Maka Rosul diperankan oleh Allah sebagai lampu penerang yang memancarkan Cahaya Allah dan menuntun manusia ke Jalan-Nya. Mereka yang berhasil kontak dengan Rosul dan memenuhi seruannya itulah yang memperoleh izin Allah untuk bisa masuk ke dalam Cahaya Rahmat-Nya.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa orang-orang yang berada pada posisi terang adalah mereka yang seluruh mobilitas dan aktivitas hidupnya dilakukan dan dikembangkan dalam menjalankan Urusan Allah di bumi, yang digelar dan ditegakkan sebagai suatu tatanan Dienullah, tampil sebagai Ummatan Wahidah suatu Komunitas Robbani. Hati dan jiwa mereka telah hidup dengan Ruh dari Urusan Allah.

Fenomena Kehidupan dan Kematian

Sudah menjadi ketentuan yang pasti dari Allah (sebagai taqdir-Nya) bahwa segala sesuatu yang hidup bernyawa dan berjiwa, pasti akan mengalami mati. Demikian pula dengan eksistensi suatu ummat yang hidup dengan “Ruh Min Amrillah”, pasti suatu saat akan menemui ajalnya. Cahaya Rahmat Allah yang bersinar terang, akan tiba saatnya meremang, meredup dan padam sama sekali.

Pertanyaannya adalah;
  1. Adakah sesuatu yang bisa diidentifikasi sebagai fenomena ajal dan kematian suatu ummat?
  2. Bagaimanakah ketentuan yang pasti (taqdir-Nya) mengenai masa hidupnya (umur) dari segala sesuatu yang hidup?
Untuk pertanyaan pertama; Sebagaimana telah diuraikan pada bagian 2 yang lalu. Tumbuh dan berkembangnya suatu Komunitas Robbani, bermula dari diwahyukannya suatu Ruh dari Urusan Allah kepada seorang Rosul yang membuat jiwanya menjadi hidup diterangi Cahaya Rahmat Allah. Kemudian dari apa yang dibacakan dan diserukan Rosul kepada manusia Cahaya tersebut merambah ke dalam jiwa-jiwa manusia yang satu sama lain saling terhubung secara definitif dan solid, menumbuhkan suatu jaringan struktural yang hidup dengan Ruh dari Urusan Allah yang tersalur dan “bekerja” pada jaringan tersebut. Maka jaringan supra organisme itupun hidup dengan menggelar Urusan Allah.

Ketika pada masa tertentu jaringan itu menjadi rusak dan terputus-putus, akibatnya tatanan strukturalnya pun rontok, maka tidak lagi relevan dan compatible untuk tersalurnya Ruh itu. Dengan demikian Ruh itu pun “tercabut” dari kehidupan manusia di bumi, maka kehidupan manusia tanpa menggelar Urusan Allah, adalah kehidupan yang gelap gulita, tak tentu arah tujuan dan tidak ada yang bisa diharapkan untuk mereka dapatkan pada Hari Akhir nanti, selain eksekusi dari ancaman-Nya, yakni siksaan api neraka.

Kehidupan “amal ibadah” yang hanya berupa amalan ritual individual tanpa bermuatan misi dan amanah dari Urusan Allah, yang hanya bisa gumelar pada Institusi Robbani yang ditumbuhkan-Nya, adalah kehidupan hampa yang hanya bermuatan angan-angan kosong.

Mengenai pertanyaan kedua; Sejauh yang bisa terbaca dan teranalisa manusia, tampaknya Allah menetapkan suatu standar usia yang bisa dicapai oleh masing-masing jenis makhluk hidup. Bisakah usia standar itu tercapai atau tidak, atau bahkan bisa dilampaui? Hal itu tergantung atau sangat dipengaruhi oleh bagaimana perilaku hidup yang dijalaninya, dan apa-apa yang menimpa atau terjadi atas dirinya, di tengah-tengah “lalu-lintas” taqdir-Nya di alam semesta ini.

Dalam kaitan kehidupan manusia di bumi ini, dimana manusia diposisikan sebagai Khalifah Allah di bumi, maka ada suatu lingkup tertentu yang merupakan “bidang kerja (Job)” atau otonomi manusia dan ada wilayah yang mutlak merupakan “job” Allah. Terbaca adanya “hubungan kerja” antara Allah dan Khalifah-Nya di bumi ini. Banyak hal yang Allah hanya melakukannya sebagai respon atas apa yang dilakukan manusia.

Antara lain dalam mengoperasikan Ruh, yang secara mutlak merupakan job (urusan) Allah, baik itu yang Allah sebut dengan frase “Ruh-Nya” yang membuat hidupnya suatu organisme, atau yang disebut dengan “Ruh Dari Urusan-Nya” yang menjadikan kehidupan manusia menjadi terang dengan Cahaya Rahmat-Nya. Allah hanya akan menghubungkan “Ruh-Nya” itu manakala manusia melakukan “pengawinan” antara sapasang benih dari makhluk (sesuatu yang) hidup, dan tidak mencegah (menghalang-halangi) terbentuknya suatu “konsepsi” atau “pembuahan”.

Dengan demikian, suatu kehidupan tidak akan muncul dan terlahir jika manusia tidak melalukan (atau di bumi tidak terjadi) sesuatu yang signifikan dan relevan untuk direspon dengan tersalurkannya Ruh Allah itu.

Demikian pula sebaliknya. Ketika jaringan (organisme) dimana Ruh tersebut menyalur dan bekerja dirusak atau menjadi rusak sedemikian rupa, maka hubungan Ruh Allah itu terputus dan organisme yang bersangkutan itu pun mati.

Tidak ada seorangpun yang bisa tahu berapa umur yang bisa dicapai oleh suatu makhluk hidup, bahkan suatu apapun. Hari esok adalah gaib, tidak ada yang bisa mengetahui sampai di titik mana seseorang atau sesuatu bisa mengikuti perjalanan waktu. Bahkan Allah tidak menunjukkan suatu angka nominal yang bisa dipandang sebagai standar usia manusia atau makhluk lainnya.

Akan tetapi dalam membangun peradabannya, dan dengan mencatat dan membaca apa yang mereka alami secara komunal mengenai berbagai peristiwa kelahiran dan kematian dalam komunitasnya, maka manusia mengenal suatu angka standar yang disebut “usia harapan hidup” bagi setiap anggota komunitasnya, yang merupakan salah satu item diantara berbagai indikator kemajuan peradaban yang dibangunnya.

Oleh sebab itu, tidak dirasakan urgensi dan relevansinya bagi manusia untuk bisa mengetahui standar usia yang Allah tetapkan itu. Dan tidak perlu pula memohon kepada Allah untuk dipanjangkan umur. Yang relevan adalah, lakukan saja yang terbaik dalam hidup ini, bangun peradaban dan keberadaban hidup, Insyaallah akan meningkatkan usia harapan hidup itu. Lantas bisakah harapan itu tercapai? Semua akan terjawab. Ikuti saja perjalanan waktu, Sang Waktu akan mengantarkan kita kepada jawabannya. Itu pasti.

Standar Usia Suatu Ummat dan Fenomena Ajalnya

Ketiadaan dan keberadaan Urusan Allah gumelar di bumi, itulah fenomena pergantian gelap dan terangnya kehidupan manusia dalam dimensi waktu. Di sisi lain kita melihat fenomena pergantian gelap dan terang (malam dan siang) pada belahan bumi yang merupakan salah satu ruang di alam semesta ini, dimana satu putaran pergantiannya disebut satu hari (yauman).

Ternyata Allah menyatakan bahwa rotasi “turun” dan “naik”-nya Urusan Allah antara langit dan bumi, itu pun satu hari juga.

يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ ثُمَّ يَعۡرُجُ إِلَيۡهِ فِى يَوۡمٍ۬ كَانَ مِقۡدَارُهُ ۥۤ أَلۡفَ سَنَةٍ۬ مِّمَّا تَعُدُّونَ

Dia menggelar urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan itu) naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu. (As Sajdah : 5)

Hal yang sudah dikenal bahwa satu putaran (siklus) pergantian gelap dan terang (siang dan malam) itu disebut satu hari. Ternyata siklus turun dan naiknya Urusan Allah antara langit dan bumi itu pun Allah menyebutnya satu hari. Hanya saja, “satu hari”-nya Allah itu setara dengan seribu tahunnya manusia.

Memang lamanya waktu sehari itu relatif. Bagi kita makhluk Allah di bumi, sehari itu lamanya 24 jam. Tapi satu hari di planet-planet lain di alam ini tentu berbeda. Bahkan masih di bumi ini juga, di beberapa bagian bumi ini terdapat pula perbedaan durasi waktu antara malam dan siang, atau gelap dan terang. Apalagi pada “agenda Allah”, ada pula “satu hari” yang lamanya menurut ukuran kita sampai 50.000 tahun.

تَعۡرُجُ ٱلۡمَلَـٰٓٮِٕڪَةُ وَٱلرُّوحُ إِلَيۡهِ فِى يَوۡمٍ۬ كَانَ مِقۡدَارُهُ ۥ خَمۡسِينَ أَلۡفَ سَنَةٍ۬

Malaikat-malaikat dan Ruh itu naik kepada-Nya dalam sehari yang kadar (ukuran)-nya adalah lima puluh ribu tahun. (Al Ma’arij : 4)

Belum dirasakan urgensinya untuk memahami lebih jelas dan tepat tentang kadar waktu pada “hari-hari Allah” itu. Informasi penting yang kita dapatkan dari ayat-ayat di atas adalah bahwa gelap dan terangnya kehidupan manusia dengan Cahaya Rahmat Allah itu pun silih berganti, sebagaimana pergantian hari demi hari, yang durasi waktu pergantiannya itu bisa mencapai seribu tahun.

Maka harus disadarai bahwa dengan Risalah yang dibawakan Rosulullah sekitar 14 abad yang silam itu, tidak berarti kehidupan manusia ini akan tetap mendapatkan Cahaya Allah dan terang benderang sampai akhir zaman (kiamat). Itu berlawanan dengan taqdir-Nya. Dengan tercabik-cabik dan terpecah-pecahnya tatanan struktural yang dibangun dan diwariskan Rosulullah, maka Khoeru Ummah yang sempat eksis gemilang itu mulai mendekati ajal, hitungan mundur menuju kegelapan pun dimulai, dan tidak ada satu kekuatan pun bisa menangguhkan atau mempercepatnya.

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ۬‌ۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمۡ لَا يَسۡتَأۡخِرُونَ سَاعَةً۬‌ۖ وَلَا يَسۡتَقۡدِمُونَ

Tiap-tiap umat itu ada ajalnya (batas akhir eksistensinya); Maka apabila telah tiba ajalnya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (Al A’rof : 34, Yunus : 49)

Jika membaca catatan sejarah, runtuhnya tatanan struktural dan peradaban Islam setelah melemah karena perpecahan ratusan tahun, terjadi dengan adanya serbuan bala tentara Jengis Khan dari timur, dan pasukan Salib dari barat. Dan itu terjadi pada awal milenium ke 2 atau adad 11 Masehi, dan sekarang kita berada di awal milenium ke 3 atau adad 21. Sepuluh abad berlalu sudah.

Dengan demikian, judul Seri ke-2 dari serial ini yakni: “1000 tahun manusia tersesat dalam kegelapan”, bukanlah hal yang mengada-ada atau berlebihan, melainkan sinkron (mushoddiq) dengan keterangan Kalamullah dan catatan sejarah.

Gelap dan terangnya kehidupan manusia dengan Cahaya Allah, bukan urusan energi alam dunia seperti matahari atau lainnya yang menerangi dimensi ruang di bumi ini, melainkan urusan Ruh yang berefek pada fenomena hidup dan mati. Maka berlakulah padanya ketentuan (qadar) tentang standar usia yang Allah tetapkan, dan “usia harapan hidup” yang merupakan hasil upaya manusia.

Mungkin juga 1000 tahun itu merupakan standar usia eksistensi suatu ummat yang Allah tetapkan. Akan tetapi manusia tidak memiliki kuasa apapun terhadap standar tersebut. Yang bisa dilakukan manusia adalah melakukan sesuatu yang signifikan dan memenuhi qadar tertentu guna mendapat respon dari Allah dengan mengoperasikan atau menyalurkan (mewahyukan) Ruh dari Urusan-Nya itu.

Di lain pihak, manusia hanya akan bisa melakukan sesuatu yang signifikan tersebut di atas, jika mereka mau dan bisa merespon fenomena ayat-ayat Allah (fakta-fakta keilmuan) serta mengikuti tuntunan dan petunjuk Kalamullah, jika mereka selalu mengingatnya.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ‌ۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ‌ۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِى وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِى لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (katakanlah), bahwa sesungguhnya Aku ini dekat. Aku menjawab (merespon) seruan seorang penyeru manakala ia menyeru-Ku. Maka hendaklah mereka merespon-Ku dan hendaklah mereka beriman (percaya) kepada-Ku. Mudah-mudahan mereka (mau) mengikuti petunjuk. (Al Baqoroh : 186)

Cukup jelaslah kiranya bahwa sejauh mana peluang atau harapan bagi manusia untuk bisa mendapatkan karunia dan Rahmat Allah, itu ditentukan oleh sejauh mana kemampuan manusia mengantisipasi dan merespon fenomena ayat-ayat Allah dengan senantiasa mengikuti arahan dan petunjuk-Nya. Dan itulah yang disebut “amal sholeh”. Allah menjamin bahwa Ia pasti akan merespon mereka.

Maka berlangsunglah interaksi saling merespon (“saling mengijabah”) antara Allah sebagai Robull Alamin (Pemilik dan Pengusa Alam) dengan manusia sebagai Khalifah-Nya di bumi menurut jobnya masing-masing. Kadar intensitas dan dinamika interaksi tersebut akan berefek sebanding dengan qadar derasnya aliran Rahmat dan Karunia Allah bagi manusia.

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa faktor yang berefek pada keberhasilan manusia untuk memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat itu adalah qadar intensitas dan dinamika interaksi saling merespon tersebut di atas. Bukan modus-modus ritualisme seperti: do’a bersama, istighotsah, dzikir akbar, kenduri, selamatan, tawassul, manakiban, sholawatan, tahlilan dan sederet aneka ragam lainnya.

Semua modus-modus ilegal itu hanya mencitrakan Islam sebagai “agama nenek moyang” atau “kepercayaan leluhur” yang primitif dan hampa nilai. Sama sekali tidak ada petunjuk Allah yang mengarah kepada modus-modus fiktif dan hayali seperti itu, dan juga tidak ada pada apa yang mereka sebut “Sunnah Rosul”. Mana ada Rosul yang mengajarkan hal-hal yang aneh dan norak seperti itu, yang hidup di zaman kuno sekalipun.

Demikianlah dengan paparan di atas kiranya bisa dipahami bahwa dalam memahami hakikat Al Quran sebagai kandungan Rahmat dan proses pembumiannya (proses tanzilnya), tidak bisa mengabaikan substansi “behavior-kultural”, yaitu perilaku budaya manusia di bumi. Karena disalurkannya Ruh dari Urusan Allah yang merupakan manifestasi dari Rahmat-Nya itu adalah merupakan respon dari Allah atas perilaku dan usaha manusia yang respon.

Allah adalah Ar Rohman–Ar Rohiem, Maha Pemurah dan Maha Penyayang dalam qadar yang Maha Besar, yang mampu mewujudkan seberapapun besarnya kemurahan dan kasih sayang-Nya itu, karena Asmanya itu mencakup segala nilai ketinggian, kemuliaan dan kesempurnaan.

Dia adalah Dzat Yang Maha Mengetahui, Maha Adil dan Maha Bijaksana. Dia tahu benar apa yang mesti dilakukan terhadap manusia dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman. Sebagaimana Dia Maha Tahu juga apa yang bisa dilakukan manusia yang terus berkembang dari zaman ke zaman itu.

Generasi manusia sebelum Rosulullah Muhammad A.S. belum menemukan cara untuk mem-backup memori di kepalanya, agar Kalamullah yang disampaikan kepada mereka melalui Rosul-rosul-Nya tetap bisa diingat dan tidak pernah lupa. Mereka belum bisa melakukan itu. Seiring dengan itu, Allah melihat juga belum adanya kaum yang memiliki bahasa yang mumpuni untuk bisa dijadikan kemasan yang utuh dari keseluruhan konsep Kalimatullah yang sempurna.

Sebagaimana kita ketahui bahwa berbagai bahasa pada berbagai kaum di bumi ini berbeda-beda karakter dan kadar akurasinya dalam mengemas suatu konsep pemikiran atau keilmuan. Maka pantaslah jika Allah hanya menyampaikan kepada Rosul-rosul dahulu sebatas yang diperlukan untuk takaran ruang dan waktu tertentu.

Sampai pada suatu zaman Allah melihat bangsa Arab Quraisy telah mencapai kemajuan yang signifikan di bidang sastra (penggunaan bahasa dan tulis-baca), yang karakteristik bahasa dan kadar akurasinya dipandang memadai untuk dijadikan kemasan Rahmat Allah bagi seluruh alam (seluruh dimensi ruang dan waktu), secara utuh dan sempurna.

Sementara itu muncul pula di kalangan mereka seorang Muhammad yang jangankan untuk bersusastra atau bersya’ir, tulis baca saja tidak bisa, buta huruf. Tetapi beliau itu berkepribadian yang unik dan “nyeleneh” dari kebiasaaan kaumnya. Tetapi justru dengan keunikan dan nyelenehnya itulah hati dan pikiran beliau jadi kedap akan pengaruh lingkungannya, terhindar dari kontaminasi kedholiman kaumnya, yang kontradiktif dengan nilai-nilai universal (fitri-insani), tetapi terdoktrinkan kuat sebagai warisan leluhur yang harus dijunjung tinggi.

Kemudian dengan ke-Maha Piawaian Allah dalam menggunakan Bahasa Arab itu melejit jauh dari kemampuan para pemilik dan pengguna Bahasa Arab itu sendiri, “terluncurlah” melalui lisan Muhammad yang ummy itu, untaian Kalamullah yang dahsyat menakjubkan, sekaligus lembut dan indah mempesona.

Masyarakat kaum Quraisy tahu benar siapa Muhammad itu. Dia itu seorang buta huruf yang nyaris tidak bergaul dengan masyarakat sekitarnya, tidak punya kebiasaan seperti kebiasaan mereka, tidak bisa membuat syair dan tidak pernah terdengar membacakan syair-syair apalagi bertukar sya’ir. Dan bukan pula seorang “ilmuwan” atau Ahli Hikmah yang biasa meluncurkan fatwa-fatwa.

Tetapi tiba-tiba ia meluncurkan bait-bait yang “aneh” namun sangat memukau dan menakjubkan. Itu baru susunan kata-kata dan kalimatnya, belum lagi nilai-nilai dan ajaran yang dikandungnya, yang akan merupakan keajaiban (mukjizat) sepanjang zaman.

Al Quran yang diperuntukkan bagi manusia guna memandu kehidupan mereka sampai akhir zaman, secara fisik volumenya relatif kecil. Dengan usaha yang sungguh-sungguh, kapasitas memori di kepala manusia masih memungkinkan untuk dapat menyimpannya sebagai hafalan.

Hal itu dimungkinkan karena Allah memformat Al Quran itu dalam kalimat-kalimat yang singkat namun padat makna [Qoulan Tsaqielan (perkataan yang berbobot berat)]. Ibarat “butir-butir mentahan” atau sel-sel benih yang tersimpan, tidak serta merta berfungsi atau berperan. Kemudian dalam perjalanan waktu, dalam kondisi tertentu, Allah sendirilah (dengan Ilmunya) akan “memecah” butiran-butiran tadi atau menumbuhkankan sel-sel benih itu, menjadi cahaya dan penjelasan yang terang benderang.

Tak ubahnya dengan benih-benih tanaman, apalagi misalnya pohon beringin. Benihnya berupa biji yang amat kecil sekali, tetapi jika benih itu telah tumbuh dan berumur panjang, pohon beringin itu sangat besar dan rindang. Bayangkan jika benih beringin itu ada segenggam tangan saja, maka jika semuanya tumbuh berkembang, tak terhitung banyaknya batang kayu, cabang ranting daun dan buah yang bisa tumbuh dari benih-benih itu.

Sebaliknya, seberapun banyaknya benih tanaman, jika tetap tersimpan dalam kemasan yang tertutup rapat, tunggu sampai kiamat, tidak akan menumbuhkan apapun. Apalagi jika benih tersebut malah dirusak, dicincang dan dibumbui.

Demikianlah Al Quran. Andaikata seluruh kandungan Al Quran itu sekaligus terpecahkan dan dihidup-tumbuhkan, maka jangankan satu kepala manusia, kepala dari beberapa generasi manusia seisi bumi sekalipun tidak akan mampu menampungnya. Jangan pernah bermimpi adanya seseorang yang mampu memahami dan menguasai seluruh kandungan Al Quran.

Adalah sangat salah sekali, orang yang mengatakan bahwa tidak ada yang bisa memahami Al Quran setepat dan sebaik Muhammad, dan tidak ada sebagian kecil pun dari Al Quran yang beliau tidak pahami. Sungguh suatu pernyataan bodoh yang sangat merendahkan Al Quran. Sekecil itukah Al Quran? Sehingga satu kepala manusia yang hidup 15 abad yang lalu itu pun cukup untuk menampungnya?!

Walaupun Allah menyebutnya “Al Kitab”, tapi mesti disadari bahwa itu adalah Al Kitab-nya Allah, suatu terminologi samawi, piranti Robbani, jauh berbeda dengan “Kitab” dalam terminologi manusia. Maka tidak bisa dipersepsi dan disikapi seperti Kitab-kitab di dunia manusia yang merupakan karya mereka, yang biasa “dibedah” diresensi, didiskusikan, ditafsirkan, disyarah dan sebagainya, atau dijadikan literatur di berbagai institusi keilmuan.

Al Quran adalah suatu Bacaan Mulia yang terdapat di Lauh Mahfud. Jika Allah berkehendak untuk menyampaikan bacaan tersebut kepada manusia, Dia mentransform bacaan tersebut ke dalam bentuk Ruh, kemudian mewahyukannya (cara Allah menyalurkan suatu piranti halus [software]) kepada siapa yang Allah kehendaki.

رَفِيعُ ٱلدَّرَجَـٰتِ ذُو ٱلۡعَرۡشِ يُلۡقِى ٱلرُّوحَ مِنۡ أَمۡرِهِۦ عَلَىٰ مَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦ لِيُنذِرَ يَوۡمَ ٱلتَّلَاقِ

Maha Tinggi derajat-Nya, yang mempunyai 'Arsy, Dia menyalurkan Ruh dari urusan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, agar ia memperingatkan (manusia) akan hari Pertemuan (hari Akhir). (Al Ghofir : 15).

Telah diterangkan di muka bahwa “siapa yang dikehendaki-Nya” itu adalah siapa yang berhasil (disengaja atau tidak) masuk ke dalam sistem-Nya, yaitu dengan melakukan sesuatu yang respon terhadap sistem-Nya itu.

Salah satu ciri karakteristik energi Cahaya Allah sebagaimana disebutkan-Nya adalah: “La syarqiyyah wala ghorbiyyah”, tidak ala timur tidak pula ala barat, unik dan eksklusif. Maka perbuatan atau perilaku manusia yang respon terhadap sistem-Nya itu akan terkesan unik dan “nyeleneh” dari kebiasaan manusia dengan kitab-kitab mereka itu.

Pertunjuk dan panduan (Irsyad) dari Allah bagi manusia dalam membangun sikap mental dan perilaku mereka dalam upaya mereka mengakses Cahaya Rahmat-Nya (hidayah-Nya), meliputi tiga ruang lingkup, yaitu:
  • Lingkup general, yakni sikap mental dan perilaku manusia secara umum dalam mempersepsi dan menyikapi Al Quran.
  • Lingkup individu, yakni sikap mental dan perilaku seseorang yang berada di posisi hulu dari sistem dan proses “pembumian Al Quran”
  • Lingkup komunal, yakni sikap mental dan perilaku khas dan konkrit yang dituntut dari kalangan (komunitas) tertentu yang ingin ikut masuk ke dalam sistem tersebut.

LINGKUP GENERAL

Jauhkan diri dari perilaku dholim, atau (secara ekstrimnya) orang-orang yang dholim sebaiknya menjauhkan diri dari Al Quran, karena Al Quran tidak akan menjadi Rahmat bagi mereka melainkan laknat.

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ۬ وَرَحۡمَةٌ۬ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ‌ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّـٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارً۬ا

Dan Kami turunkan dari Al Quran itu sesuatu yang menjadi syifa (pemberi solusi) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim melainkan kerugian. (Al Isro : 82)

Siapakah orang-orang yang dholim dalam pandangan Allah, dan berupa apa kerugian yang diderita karena kesalahan sikap terhad Al Quran? Berikut ini diantara beberapa petunjuk-Nya:

1. Mengabaikan ilmu dan kebenaran, hanya untuk mengikuti kemauan orang banyak

وَلَٮِٕنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم مِّنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ‌ۙ إِنَّكَ إِذً۬ا لَّمِنَ ٱلظَّـٰلِمِينَ

Dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, Sesungguhnya kamu (kalau begitu) benar-benar termasuk orang-orang yang dholim. (Al Baqoroh : 145)

2. Menerima (mengimani) sebagian isi Al Kitab dan menolak sebagian lainnya

أَفَتُؤۡمِنُونَ بِبَعۡضِ ٱلۡكِتَـٰبِ وَتَكۡفُرُونَ بِبَعۡضٍ۬‌ۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفۡعَلُ ذَٲلِكَ مِنڪُمۡ إِلَّا خِزۡىٌ۬ فِى ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا‌ۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلۡعَذَابِ‌ۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَـٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ

Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah Balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (Al Baqoroh : 85)

3. Tidak mengemban (menjalankan) missi (amanah) yang dikandung Al Quran

مَثَلُ ٱلَّذِينَ حُمِّلُواْ ٱلتَّوۡرَٮٰةَ ثُمَّ لَمۡ يَحۡمِلُوهَا كَمَثَلِ ٱلۡحِمَارِ يَحۡمِلُ أَسۡفَارَۢا‌ۚ بِئۡسَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِـَٔايَـٰتِ ٱللَّهِ‌ۚ وَٱللَّهُ لَا يَہۡدِى ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّـٰلِمِينَ

Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa Kitab-Kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang memalsukan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang dhalim. (Al Jumu’ah : 5)

Apa yang didapat keledai dari kitab-kitab tebal yang dipikulnya? Tidak ada manfaat apapun kecuali beban berat yang menguras energinya, membuatnya berjalan lamban terengah-engah.

4. Mengada-adakan kebohongan atas Allah (mengatas namakan Dienullah)

فَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّنِ ٱفۡتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ ڪَذِبً۬ا لِّيُضِلَّ ٱلنَّاسَ بِغَيۡرِ عِلۡمٍ‌ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَہۡدِى ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّـٰلِمِينَ

Maka siapakah yang lebih dholim daripada orang-orang yang membuat-buat kebohongan atas Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?" Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dholim. (Al An’am : 144)

5. Menghalang-halangi dan ingin memberantas majlis-majlis (institusi atau forum) yang berusaha “mengingat Asma Allah”, berusaha mengakses ajaran-Nya.

وَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسَـٰجِدَ ٱللَّهِ أَن يُذۡكَرَ فِيہَا ٱسۡمُهُ ۥ وَسَعَىٰ فِى خَرَابِهَآ‌ۚ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ مَا كَانَ لَهُمۡ أَن يَدۡخُلُوهَآ إِلَّا خَآٮِٕفِينَ‌ۚ لَهُمۡ فِى ٱلدُّنۡيَا خِزۡىٌ۬ وَلَهُمۡ فِى ٱلۡأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ۬

Dan siapakah yang lebih dholim daripada orang yang merintangi masjid-masjid (institusi) Allah untuk untuk selalu diingat Asma-Nya, bahkan berusaha memberantasnya? Itulah mereka yang tidak mungkin mau memasukinya kecuali dengan ketakutan. Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat. (Al Baqoroh : 114)

Petunjuk berikutnya dalam lingkup general ini adalah:

Jangan memperlakukan Al Quran itu sebagai sya’ir atau mantera.

إِنَّهُ ۥ لَقَوۡلُ رَسُولٍ۬ كَرِيمٍ۬ (٤٠) وَمَا هُوَ بِقَوۡلِ شَاعِرٍ۬‌ۚ قَلِيلاً۬ مَّا تُؤۡمِنُونَ (٤١) وَلَا بِقَوۡلِ كَاهِنٍ۬‌ۚ قَلِيلاً۬ مَّا تَذَكَّرُونَ


  • Sesungguhnya dia itu adalah benar-benar suatu perkataan seorang Rasul (Pembawa Risalah) yang mulia,
  • Dan ia bukanlah perkataan seorang penyair, sedikit sekali yang kamu percaya.
  • Dan bukan pula perkataan dukun (mantra), sedikit sekali yang kamu ambil pelajaran. (Al Haaqqah : 40-42)
Yang disampaikan Rosul bukan untuk keasyikan yang dinikmati seperti halnya lantunan sya’ir atau mubaligh favorit, yang diimani (efeknya terhadap iman) sedikit sekali. Dan bukan pula untuk diambil khasiat (karomah)nya seperti sebuah mantra, yang dijadikan pelajarannya sedikit sekali. Melainkan sebuah misi Risalah yang harus dipahami dan diikuti seutuhnya.

Insyaallah bersambung ...
Name

Dakwah Ilallah,12,Jalan Keselamatan,7,Jurnal Roqim,1,Kajian Lepas,42,Manhaj Risalah,12,
ltr
item
Ini Islam: Al Qur'an Kandungan Rahmat dan Proses PenTanzilannya (3)
Al Qur'an Kandungan Rahmat dan Proses PenTanzilannya (3)
Telah diterangkan pada seri terdahulu bahwa memahami hakikat Al Qur'an Kitabullah itu harus mencakup tiga substansi, yaitu Substansi Fundamental, Substansi Struktural dan Substansi Kultural. Kemudian perlu dipahami pula bahwa ketiga substansi tersebut bukan berupa sesuatu yang dipetak-petak secara terpisah, melainkan tiga substansi yang satu sama lain saling terjalin secara utuh dan sistemik.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-psLZ7JKZX6hMSERgkKZyeQq2Ud8epytrrxPmcByWvtfkGWi3yuWShICVJzGe7ougCAvHhR4hIPBOwTQD0HPlntmmzlX-GLwyA2HMkKthQz8wAmQDcyVITJrd8zmPnOlSv7rPx1YF3q8/s640/al-quran-kandungan-rahmat-dan-proses-pentanzilannya-3.png
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-psLZ7JKZX6hMSERgkKZyeQq2Ud8epytrrxPmcByWvtfkGWi3yuWShICVJzGe7ougCAvHhR4hIPBOwTQD0HPlntmmzlX-GLwyA2HMkKthQz8wAmQDcyVITJrd8zmPnOlSv7rPx1YF3q8/s72-c/al-quran-kandungan-rahmat-dan-proses-pentanzilannya-3.png
Ini Islam
http://www.iniislam.net/2017/01/alquran-kandungan-rahmat-dan-proses-pentanzilannya-3.html
http://www.iniislam.net/
http://www.iniislam.net/
http://www.iniislam.net/2017/01/alquran-kandungan-rahmat-dan-proses-pentanzilannya-3.html
true
7017169815549685310
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share to a social network STEP 2: Click the link on your social network Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy Table of Content