Kehadiran Islam di muka bumi ini pada dasarnya hanya membawa satu misi sebagai manifestasi dari Rahmat Allah, yakni PENYELAMATAN. Me...
Kehadiran Islam di muka bumi ini pada dasarnya hanya membawa satu misi sebagai manifestasi dari Rahmat Allah, yakni PENYELAMATAN. Menyelamatkan manusia dari bancana/adzab di Hari Akhir.
Upaya penyelamatan tersebut dilakukan dengan cara mengawal pertumbuhan jiwa-jiwa manusia tersebut ("taswiyyatu'n nufus) agar ketika dia sampai di akhir hayatnya, typical dan kualitas jiwanya itu layak sebagai pencitraan Asma Allah (Shibghotallah).
Karena hanya jiwa-jiwa yang seperti itulah yang layak menjadi penghuni surga, yang bisa compatible/cocok dengan energi Robbany (ruh) yang akan menariknya (menggiringnya) ke surga. Sedangkan jiwa-jiwa yang dalam pertumbuhannya gagal mencapai kualifikasi tersebut di atas, maka di akhirat kelak akan mengalami yang sebaliknya.
Tidak terlalu sulit untuk dipahami, bahwa pertumbuhan jiwa seseorang itu sangat dipengaruhi (bahkan sangat ditentukan) oleh budaya, peradaban dan keberadaban dari komunitas/masyarakat dimana dia hidup dan menjalani kehidupannya.
Maka dari itu, misi yang Allah amanahkan kepada para pengemban Risalah-Nya adalah membangun peradaban dan keberadaban dalam suatu wahana Ummatan Wahidah, dengan mengembangkan "amar ma'ruf, nahi munkar". Apakah itu?
Secara harfiyah "MA'RUF" itu artinya "dikenal". Maka makna turunannya antara lain: layak, dapat diterima, sesuai dengan nilai-nilai yang baku, beradab, elegan, bermartabat, dan seterusnya.
Adapun "MUNKAR", secara harfiyah artinya "ditolak/diingkari". Maka pengembangan maknanya antara lain: kotor, jahat, kasar, dholim, menyimpang, memalukan, norak, dan lain sebagainya, yang pada dasarnya tidak sesuai dengan nilai-nilai keberadaban.
Ringkas kata, misi yang diusung Risalah Islam ini adalah membangun peradaban, membangun kehidupan manusia yang beradab (membangun keberadaban).
Bagaimana warna dan corak peradaban dimaksud?
Sehebat apapun peradaban yang berhasil dibangun manusia, pada akhirnya akan hancur lumat bersama hancur lumatnya alam semesta di Hari Kiamat.
Yang akan tersisa adalah jiwa-jiwa manusia yang pernah terlahir dan tumbuh dalam proses perjalanan dan pertumbuhan peradaban manusia tersebut, yang akan menghadap Ilahi dan terus hidup, pada kehidupan selanjutnya.
Agar peradaban manusia itu bisa menghasilkan jiwa-jiwa yang merupakan pencitraan Asma Allah, (Shibghoh Allah) maka peradaban itupun harus dibangun dengan pengawalan/kendali senantiasa mengingat Asma Allah (Dzikrullah), peradaban yang layak sebagai REPRESENTASI ASMA ALLAH.
Apa dan bagaimanakah itu?
Ada 3 dimensi karakteristik pada peradaban yang dibangun berbasis Amanah Allah, yaitu:
- Suci bersih dari segala bentuk kekotoran hati, pikiran dan perilaku (fakhsya dan munkar). Bersih dari noda-noda pelanggaran dan permusuhan (itsmi wal 'udwan) dan dari perilaku/budaya tercela (tak terpuji) lainnya (khothii'ah, sayyi'ah). Inilah refleksi dari ke-Maha Sucian Allah (SUBHANALLAH).
- Penuh suasana damai, aman sentosa. Kehidupan yang makmur sejahtera dalam keadilan dan keseimbangan, dengan limpahan karunia yang diberkahi Allah, dan disyukuri hamba-hamba-Nya. Ini adalah refleksi dari Asma Allah Yang Maha Terpuji (ALHAMDU LILLAH).
- Eksplorasi tanpa henti dari generasi ke generasi, akan kebesaran dan kecanggihan yang terkandung pada alam ciptaan-Nya, mengidzharkan pesona yang menakjubkan, sebagai wujud nyata dari ke-Maha Besaran Asma-Nya (ALLAHU AKBAR).
Itulah 3 dimensi karateristik dari peradaban yang diamanahkan Allah, yang terkandung dalam misi Risalah-Nya. Maka jiwa-jiwa manusia yang merupakan elemen-elemen dari peradaban Robbany yang demikian itulah yang bisa mencitrakan Asma Allah, dan layak mendapatkan surga-Nya.
Adakah manusia yang tidak suka? "Illa man safiha nafsahu". Begitulah firman-Nya. "Hanya mereka yang membodohkan dirinya sendiri".
Yang demikian itulah sejatinya Dzikrullah. Yaitu, menginternalisir ("menginstal") Asma Allah ke dalam jiwa manusia sebagai pembangunan karakter, untuk kemudian direfleksikan pada peradaban yang dibangunnya.
Bukan sebatas lantunan bibir mengiringi tarian jemari menghitung untaian tasbeh. Atau senandung puja dan puji yang melengking di menara-menara masjid.
Allah tidak butuh pujian dan sanjungan, dan tidak akan pernah membutuhkan apapun. Tidak ada makhluk yang bisa melakukan apapun untuk "dinikmati" Allah, atau menjadi nilai tambah bagi-Nya, sehingga Allah merasa berhutang karenanya.
Dapat disimpulkan bahwa misi penyelamatan (arti lughowi, ISLAM = PENYELAMATAN) itu digelar melalui pembangunan peradaban dan keberadaban manusia ("amar ma'ruf nahi munkar") untuk terbentuknya "insan sejati" sebagai pencitraan Asma Allah.
Misi tersebut pernah idzhar secara nyata pada masa Rosulullah bersama para sahabatnya, dan berlanjut selama masa tertentu sepeninggalnya. ( Sebagaimana Allah tunjukkan pada Ali Imron : 110, At Taubah : 100 dan Al Fath : 29).
Tetapi dalam perjalanan waktu, Islam yang digadang dan diusung para penganutnya itu, tampilannya berubah 180 derajat.
Islam bukan ditawarkan sebagai suatu misi dan konsep peradaban, melainkan sebagai suatu SISTEM HUKUM/SYARI'AT yang baku, permanen dan absolut.
Para fuqoha merumuskan Dienul Islam itu sebagai suat sistem hukum yang mencakup 4 bidang yaitu:
1. Hukum IBADAH, mengatur berbagai amaliyah ibadah kepada Allah (amalan ritual) 2. Hukum MU'AMALAH, mengatur urusan transaksi ekonomi/perdagangan 3. Hukum MUNAKAHAH, mengatur urusan perkawinan dan rumah tangga 4. Hukum DIENAYAH, mengatur ketentuan pidana, politik dan perang (qital)
Begitulah konsep Islam dikemas dan diajarkan kepada kaum Muslimin generasi demi generasi, ditambah sedikit teori keimanan/tauhid dan akhlaq.
Maka fenomena yang berkembang lebih lanjut pun begitu. Jika seseorang ingin tahu ajaran islam terkait hal tertentu, pasti yang ditanyakan: "ini hukumnya apa, itu hukumnya apa". Semua diatur dengan hukum. Urusan kebersihan diatur dengan hukum. Ada mandi wajib ada mandi sunnah, syarat rukunnya begitu, begini. Kotoranpun diukur dengan hukum. Ada yang hukumnya najis, wajib dicuci, ada yang tidak najis, maka tidak ada kewajiban untuk mencucinya.
Kadar kotoran pun ditetapkan dengan hukum lagi. Ada najis mukhoffah, najis mutawassithoh, ada najis mugholladhoh. Cara mencucinyapun diatur dengan hukum lagi. Semua diaturnya dengan hukum. Mengatur mode pakaian dengan hukum. Mengembangkan seni budaya diatur hukum. Seruling haram, biola haram, rebana mubah, nasyid sunnah, genta/goong makruh.
Begitulah para ulama "men-setup" dan "mendisplay" Islam. Apa yang dari "Langitnya" itu suatu paket peradaban (amar ma'ruf-nahi munkar), yang ramah dan santun, berubah menjadi paket hukum/syariah yang baku dan permanen, dimana manusia harus tunduk dan patuh, karena memang hukum itu kekuasaan tertinggi.
Akibatnya, gerakan amar ma'ruf nahi munkar membangun komunitas madany/civil society (Khoeru Ummah/Ummatan Wasatho) yang diamanahkan Allah. Berubah menjadi gerakan politik-militer, merebut kekuasaan demi tegaknya Syari'at Islam, karena hukum itu tak mungkin bisa tegak tanpa kekuasaan.
Memang tidak salah bahwa sistem hukum itu mutlak harus ada dan dipatuhi pada setiap tatanan komunitas sosial. Tanpa sistem hukum suatu tatanan sosial tidak akan bisa berdiri tegak.
Akan tetapi aspek hukum dari suatu tatanan sosial, bukan bagian yang ditonjolkan ke depan dan digadang-gadang. Hukum itu kerangka yang harus dibungkus rapih dengan nilai moral dan keberadaban.
Kalau pada stuktur anatomis tubuh manusia itu ibarat tulang-tulang rangka dan tengkorak, yang membuat tegaknya seluruh susunan tubuh manusia. Akan tetapi kebagusan, keindahan dan kesan menariknya tubuh manusia itu terdapat pada bagian luar ("bungkusnya") itu. Bagian tulang-bagian rangka dan tengkorak itu, justru gambar yang menyeramkan.
Dan memang tidak berlebihan bahwa dalam kehidupan sosial itu, ranah hukum adalah ranah yang menyeramkan. Hanya keterpaksaan saja suatu urusan dibawa ke ranah hukum, dan itu menakutkan.
Tapi justru para pengusung Islam ini mendisplay Islam sebagai sistem hukum dan dipajang dipermukaan, marambah ke semua bidang kehidupan, meliputi kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Diklaim bahwa Hukum Islam mengatur semuanya. Akibatnya, dibanyak sudut kehidupan sosial, Islam tercitrakan sebagai penghambat, pengganggu kenyamanan publik.
Memang benar Islam memiliki dan menawarkan konsep hidup (ajaran) yang menyangkut semua aspek kehidupan manusia. Tetapi itu merupakan konsep peradaban dan keberadaban manusia yang sasaran intinya adakah aspek KARAKTER dan MORALITAS (akhlaq).
Kendali utama atas perilaku budaya dan peradaban manusia, adalah nilai-nilai kemanusian, kesusilasn, nilai-nilai moral, etika, estetika yang bersifat universal, sesuai dengan fitrah (tabiat dasar) penciptaan manusia itu sendiri.
Adapun aspek atau nilai-nilai hukum/perundang-undangan itu bersifat mengawasi dan mengawal, yang sewaktu-waktu tampil kedepan/kepermukaan, jika keadaan memerlukan.
Demikianlan, dipandang dari sudut moral psikologis, sangatlah tidak ma'ruf jika Misi/Risalah Islam ini digadang sebagsi misi penegakkan syari'at.
Belum lagi jika dipandang dari aspek legalitas dan originalitas hukum/syari'at itu sendiri, sangatlah dipertanyakan, dan membutuhkan pembahasan yang panjang lebar terkait aspek ini.
Singkat kata:
Mengubah/menukar muatan Risalah dari MISI AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR ditukar dengan MISI MENEGAKKAN SYARI'AT, inilah yg termasuk diantara fenomena yang ditunjuk Allah dengan KalamNya:
فَبَدَّلَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ قَوۡلاً غَيۡرَ ٱلَّذِى قِيلَ لَهُمۡ فَأَنزَلۡنَا عَلَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ رِجۡزً۬ا مِّنَ ٱلسَّمَآءِ بِمَا كَانُواْ يَفۡسُقُونَ
Lalu orang-orang yang dholim itu mengganti perintah dengan yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu kutukan dari langit, disebabkan mereka berbuat fasik. (Al Baqarah : 59)