يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَـٰكُم مِّن ذَكَرٍ۬ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَـٰكُمۡ شُعُوبً۬ا وَقَبَآٮِٕلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ ...
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَـٰكُم مِّن ذَكَرٍ۬ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَـٰكُمۡ شُعُوبً۬ا وَقَبَآٮِٕلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَڪۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَٮٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ۬
"Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Sesungguhnya yang lebih mulia diantara kamu disisi Allah adalah yang lebih taqwa. Sesungguhnya Allah Maha Berilmu dan Maha Mengetahui." (Al Hujurot : 13)
Salah satu dari konsep kehidupan manusia yang Allah programkan, bahwa seiring dengan perkembangan populasinya, manusia itu menyebar menjadi beraneka ragam dengan ciri-ciri perbedaan satu sama lain. Untuk keanekaragaman tersebut, Allah menyebutnya sebagai “syu’uuban wa qobaaila”, yang dirtikan orang dengan “berbangsa-bangsa dan bersuku-suku”. Apakah makna yang setepatnya dengan kata syu’b dan qobilah? yang jelas ada dua jenis pengelompokan manusia yang diprogram dan ditakdirkan Allah, yakni sejumlah syu’b dan qobilah-qobilah.
Pada kenyataan yang kita saksikan, dalam perkembangbiakan dan persebaran manusia terjadi dua bentuk pembedaan dan pengelompokan, yaitu:
Pertama: Pembedaan dan pengelompokan secara alami diluar keinginan dan campur tangan mannusia, yakni perbedaan warna kulit dan ciri-ciri fisik lainnya, yang disebut perbedaan ras. Karena “syu’b” juga berarti “cabang”, maka dapat dikatakan sebagai terjadi “percabangan” dalam perkembangbiakan manusia. Hal ini benar-benar alami, dimana manusia hanya sebagai objek dari kebijakan Allah, mereka tak pernah menginginkan atau memilih untuk menjadi ras yang mana, dan tidak bisa pindah atau berubah menjadi ras yang lain.
Kedua: Perbedaan yang terjadi dalam sejarah perkembangan budaya manusia, dimana manusia berkelompok-kelompok karena perbedaan budayanya. Dalam hal ini, manusia menjadi subjek, dimana gagasan dan tindakan mereka dalam menyiasati dan mengantisipasi fenomena alam sekitarnya sangat berperan dalam pembedaan dan pengelompokan tersebut. Dan inilah yang Allah sebut qobilah. Manusia bisa membentuk qobilah, memilih atau pindah ke qobilah yang lain. Dan inilah yang kita kenal dengan sebutan etnis, bangsa atau suku.
Dengan demikian, jelaslah bahwa keanekaragaman budaya manusia, dan keberadaan ras etnis dan suku-suku, adalah bagian dari program Allah. Allahlah yang meneisain suatu program untuk itu dan menginstalnya pada sistem jiwa manusia. Keanekaragaman budaya manusia itulah antara lain yang membuat indah dan semaraknya kehidupan. Allah tidak memandang salah satu model atau corak budaya sebagai lebih mulia dari model dan corak budaya lainnya. Apakah itu berupa bahasa, pakaian, arsitektur, seni dan sebagainya, karena pada dasarnya, Allahlah “Maha Desainer”, penyandang Asma`ul Husna.
Maka dalam amanah-Nya, Allah hanya menuntut manusia untuk mampu menampilkan peradaban yang layak dan pantas mewakili (mencerminkan) Asma-Nya, yang Maha Suci (Tasbih, Maha Mulia (Tahmid) dan Maha Besar (Takbir). Untuk itu, Allah memesan tampilnya suatu ummat (kelompok manusia dalam satu kesatuan sistem hidup Robbani –berdasar Kalimatullah- bukan kelompok manusia dalam kesamaan identitas atau ciri-ciri budaya tertentu), sebagaimana dinyatakan dalam Kalam-Nya:
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٌ۬ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
"Dan kamu hendaklah menjadi suatu ummat yang mengajak kepada yang lebih baik, memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang munkar. Dan itulah mereka orang-orang yang beruntung". (Ali Imron : 104)
Dari ayat di atas tampak jelas bahwa ummat yang dipandang mulia di sisi Allah adalah suatu kelompok atau tatanan masyakat beradab yang:
- Mengajak kepada yang lebih baik. Artinya selalu berusaha ke arah kemajuan peradaban. Suatu tingkat kemajuan yang tida ada (tidak diketahui manusia) batas puncaknya (“pucuknya di langit”)
- Memerintahkan yang ma’ruf, yaitu nilai-nilai yang layak dan diterima baik dan terpuji, dalam tata nilai moral dan budaya masyarakat yang bersangkutan
- Mencegah atau melarang kemunkaran, yaitu nilai-nilai yang tertolak, tidak diterima atau bertentangan dengan tata hukum dan peraturan yang berlaku
Ketiga kriteria di atas sejalan benar dengan arah dari Missi Khilafah yang diamanahkan Allah sebagaimana dikemukakan terdahulu pada “Essensi Amanah” yakni peradaban manusia yang Allah “pesan”, dengan nilai dasar Kesucian, (tasbih), Kemuliaan/keterpujian (tahmid) dan kebesaran (takbir).
Dengan demikian, Peradaban Islam hanya memberi batasan menyangkut ketiga nilai dasar tersebut di atas, dan sama sekali tidak memberi batasan tentang corak atau model tertentu dari unsur manapun pada budaya yang dibangun dan dikembangkan manusia. Tidak ada satu corak atau model budaya tertentu yang dipandang lebih dekat atau lebih pantas dipandang sebagai budaya Islam (atau “Islami”) baik itu bahasa, model busana, kesenian, model arsitektur dan sebagainya. Karena keanekaragaman itu sendiri adalah bagian dari program Allah, bagian dari missi Khilafah yang diamanahkan Allah.