Telah belasan abad kaum Muslimin di dunia ini jiwanya (pengamatan dan penalarannya) terbelenggu dan terkungkung seperti hewan ternak yang dikurung dalam kandang.
Telah belasan abad kaum Muslimin di dunia ini jiwanya (pengamatan dan penalarannya) terbelenggu dan terkungkung seperti hewan ternak yang dikurung dalam kandang. Belenggu atau kurungan tersebut berupa rumusan kaidah atau doktrin yang dibuat kemudian disepakati para “ulama” yang telah berurat berakar di kalangan kaum Muslimin selama berabad-abad, yaitu:
- Nabi adalah orang yang menerima wahyu Allah untuk dirinya sendiri, sedangkan Rosul menerima wahyu Allah untuk dirinya sendiri dan untuk disampaikan kepada orang lain. Oleh sebab itu setiap Rosul pasti Nabi juga, tetapi tidak setiap Nabi itu Rosul.
- Rosul-rosul terdahulu (sebelum Muhammad) hanya diutus untuk kaum tertentu saja, sedangkan Nabi Muhammad s.a.w. diutus kepada seluruh ummat manusia.
- Nabi Muhammad s.a.w. adalah Nabi dan Rosul terakhir (akhir zaman), tidak akan ada lagi Nabi ataupun Rosul sesudahnya sampai Hari Kiamat.
Betapapun meratanya dan telah tegak selama berabad-abad, namun pemahaman tersebut sama sekali bukan dari Allah ataupun Rosulullah melainkan hanyalah rumusan dan kesepakatan para Ulama yang sama sekali tidak berdasarkan kepada dalil yang qoth’i (nyata dan tegas), padahal rumusan tersebut dipasang pada bagian paling fundamental pada “ajaran Islam” yang mereka sebut “ushuluddin”.
Ada beberapa ayat Al Quran yang dianggap sebagai dalil untuk paradigma tersebut di atas yaitu:
قُلۡ يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنِّى رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيۡڪُمۡ جَمِيعًا
Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua...” (Al A’rof :158)
وَمَآ أَرۡسَلۡنَـٰكَ إِلَّا رَحۡمَةً۬ لِّلۡعَـٰلَمِينَ
Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam. (Al Anbiya : 107)
وَمَآ أَرۡسَلۡنَـٰكَ إِلَّا ڪَآفَّةً۬ لِّلنَّاسِ
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya... (Saba : 28)
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ۬ مِّن رِّجَالِكُمۡ وَلَـٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّـۧنَۗ
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi... (Al Ahzab : 40)
Memang sepertinya pada ayat-ayat di atas secara samar-samar ada tergambar sesuatu yang bisa dijadikan dalil untuk paradigma tentang kerasulan Muhammad seperti tersebut di atas. Tetapi itu hanya sesuatu yang samar, sama sekali bukan petunjuk yang “qoth’i” (jelas dan tegas), dan untuk menggunakannya sebagai dalil bagi doktrin tersebut perlu “keberanian” (baca: “kebodohan”) untuk mengotak-atik, menggeser-geser atau bila perlu menjungkir balik makna dan substansi ayat-ayat di atas. Itu pun belum cukup, masih diperlukan membuat mata orang-orang sedikit merem agar modifikasi makna tadi tidak mudah kelihatan.
Akibat memaksakan dalil (piranti) yang tidak pas itu, timbul berbagai tabrakan dengan puluhan ayat Al Quran dan sangat banyak kontradiksi yang sangat kompleks yang mengakibatkan pemahaman manusia tentang konsep Dienullah menjadi amburadul.
Konsep Dienullah adalah konsep Yang Maha Suci, Maha Mulia dan Maha Agung tentang kehidupan manusia dan alam semesta yang sangat multi kompleks. Hanya Allah yang mengetahui segala kompleksitas yang ada dalam kehidupan alam semesta ini.
الٓرۚ ڪِتَـٰبٌ أَنزَلۡنَـٰهُ إِلَيۡكَ لِتُخۡرِجَ ٱلنَّاسَ مِنَ ٱلظُّلُمَـٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ بِإِذۡنِ رَبِّهِمۡ إِلَىٰ صِرَٲطِ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡحَمِيدِ
Alif Lam Ro, suatu kitab yang Kami menurunkannya kepadamu agar kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang, dengan ijin Robb mereka, kepada jalan (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (Ibrahim:1)
Oleh sebab itu, sedikit saja tangan jahil manusia berani mengotak-atik, mengubah apalagi memodifikasi, pasti akan berakibat kerusakan patal (fasadan kabiero) yang terus merembet semakin kompleks.
Allah telah menegaskan bahwa pada apapun yang diturunkan (benar-benar dari) Allah, tidak akan terdapat perselisihan atau kontradiksi sedikitpun. Maka pada sesuatu yang terdapat kontradiksi (sesuatu yang tidak sinkron), pastilah itu bukan dari Allah.
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ ٱخۡتِلَـٰفً۬ا ڪَثِيرً۬ا
Lalu apakah mereka tidak mentadabbur (menganalisa dan mengiplementasikan) Al Quran? Kalau sekiranya berasal dari selain Allah, pasti mereka akan mendapati di dalamnya banyak perselisihan (hal-hal yang tidak sinkron). (An Nisa:82)
Rumusan doktriner tertang kerasulan Muhammad seperti dikemukakan di atas yang telah begitu efektif selama berabad-abad memasung wawasan dan penalaran manusia, jelas bukan dari Allah karena begitu banyaknya kontradiksi dengan berbagai sisi dari ajaran (konsep) yang benar-benar dari Allah.
Dalam menganalisa dan mengiplementasikan (mentadabbur) Al Quran, ada beberapa catatan dari Kalamullah yang mesti benar-benar diperhatikan antara lain:
- Membaca (dan menerjemahkan) Al Quran harus benar-benar cermat dan teliti, tidak sembrono dan serampangan, karena Al Quran adalah suatu perkataan yang (berbobot) berat. Walaupun pendek dan singkat namun mengandung informasi yang padat dan berspektrum luas.
أَوۡ زِدۡ عَلَيۡهِ وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِيلاً (٤) إِنَّا سَنُلۡقِى عَلَيۡكَ قَوۡلاً۬ ثَقِيلاً
Dan cermatilah Al Quran dengan secermat-cermatnya. Sesungguhnya Kami akan mencurahkan (“mentransformasikan”) kepadamu suatu perkataan yang (berbobot) berat. (Al Muzammil : 4-5)
- Menyikapi Kalamullah dengan tawaddlu, tunduk sujud. Jangan sok pintar dihadapan Allah dengan berani menyanggah atau mengotak-atik Kalam-Nya.
إِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ مِن قَبۡلِهِۦۤ إِذَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡہِمۡ يَخِرُّونَ لِلۡأَذۡقَانِ سُجَّدً۬ا
Sesungguhnya orang-orang yang diberi ilmu sebelumnya, apabila dibacakan (Al Quran) kepada mereka, mereka menundukkan dagu menunduk sujud. (Al Isro : 107)
فَمَا لَهُمۡ لَا يُؤۡمِنُونَ (٢٠) وَإِذَا قُرِئَ عَلَيۡہِمُ ٱلۡقُرۡءَانُ لَا يَسۡجُدُون
Lalu mengapa mereka tidak mau beriman? Dan apabila kepada mereka dibacakan Al Quran, mereka tidak tunduk ?(Al Isyiqoq : 20-21)
- Ikuti petunjuk dengan lurus dan konsisten, gunakan hati yang bersih serta akal murni yang sehat.
أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَآؤُهُمۡ لَا يَعۡقِلُونَ شَيۡـًٔ۬ا وَلَا يَهۡتَدُونَ
Apakah (akan diikuti juga) walaupun bapak-bapak mereka itu tidak menggunakan akal sedikitpun dan tidak mengikuti petunjuk? (Al Baqoroh : 170)
وَمَا كَانَ لِنَفۡسٍ أَن تُؤۡمِنَ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ وَيَجۡعَلُ ٱلرِّجۡسَ عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يَعۡقِلُونَ
Dan tida akan terjadi pada seorangpun bahwa ia akan beriman, kecuali dengan izin Allah, dan Dia menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak menggunakan akal. (Yunus : 100)
Jika dilakukan analisa dan penelusuran dengan selalu mengingat petunjuk dan peringatan Allah seperti di atas, maka akan dijumpai berbagai kontradiksi yang sangat kompleks terkait dengan anggapan kaum Muslimin tentang kerasulan Muhammad sebagai Nabi dan Rosul terakhir (“akhir zaman”) untuk seluruh manusia.
Berikut paparan tentang berbagai kontradiksi tersebut.
1. Menyalahi Sifat (Asma) Allah Yang Maha Adil Dan Bijaksana
Tidak bisa diterima akal sehat jika pada zaman ribuan tahun sebelum masehi, dimana populasi manusia masih sangat sedikit dan prsoalan hidup mereka masih sangat sederhana, Allah mengutus banyak Nabi dan Rosul (konon mungkin mencapai ratusan atau ribuan), sedangkan sejak memasuki milenium kedua sampai hari kiamat dimana manusia semakin banyak, persoalan hidup semakin kompleks, pertentangan dan perselisihanpun semakin tajam, Allah membiarkan mereka tanpa seorangpun Nabi atau Rosul. Ini sangat tidak logis dan berlawanan dengan sifat Allah yang Maha Adil dan Maha Bijaksana, karena bagaimanapun “kebijakan” seperti itu bukanlah hal yang adil dan bijaksana. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan.
2. Menyalahi Fakta Sejarah dan Nash Al Quran
Menurut fakta sejarah dan penegasan Al Quran, Muhammad diutus Allah hanya kepada (sebatas) penduduk Makkah dan sekitarnya.
وَكَذَٲلِكَ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ قُرۡءَانًا عَرَبِيًّ۬ا لِّتُنذِرَ أُمَّ ٱلۡقُرَىٰ وَمَنۡ حَوۡلَهَا
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al Quran dalam bahasa Arab, supaya kamu memberi peringatan kepada warga kota dan orang-orang di sekitarnya. (Asy Syuro : 7)
Dengan terjemahan seadanya tanpa direka-reka, jelas sekali bahwa Rosulullah Muhammad ditugaskan untuk menyeru penduduk kota Mekkah dan orang-orang di sekelilingnya (dengan “Al Quro” yang ism ma’rifah, menunjukkan kota dimana beliau tinggal) tanpa menyebut nama kota, ayat di atas bersifat universal berlaku untuk setiap Rosul, kapan dan dimanapun mereka, tetapi Kitabnya tetap Al Quran yang berbahasa Arab, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu.
Tetapi dalam terjemahan yang dibuat para Ulama, frase “man haulaha” yang berarti “orang-orang di sekitarnya” itu, diubah terjemahnya menjadi “penduduk negeri-negeri di sekelilingnya”. Mungkin agar berarti “manusia sedunia”. Tidakkah disadari bahwa itu adalah mengubah-ubah (memanipulasi) Kalamullah, hanya untuk melindungi paradigma atau doktrin yang mereka buat sendiri?
Sesungguhnya apa yang dijelaskan pada ayat di atas, persis sesuai benar dengan apa yang terjadi sebagai faktanya. Yaitu setelah meng-Islamkan penduduk Mekah dan sekitarnya (Madinah), beliau wafat. Misinya telah selesai dan Allah telah meridhoinya.
Allah Maha Tahu bahwa manusia itu berkecenderungan kuat pada perselisihan dan permusuhan, sedangkan itu akan melemahkan dan menghambat kemajuan manusia itu sendiri. Allah menetapkan dalam sistem (fithrah)-Nya bahwa untuk meredam perpecahan dan perselisihan itu dengan dimunculkannya Nabi-nabi dan Rosul.
كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةً۬ وَٲحِدَةً۬ فَبَعَثَ ٱللَّهُ ٱلنَّبِيِّـۧنَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَ ٱلنَّاسِ فِيمَا ٱخۡتَلَفُواْ فِيهِۚ
Manusia itu adalah umat yang satu. Lalu Allah memunculkan Nab-nabi, sebagai pemberi motivasi dan peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Al Kitab dengan (yang membawa) kebenaran untuk memberi keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. (Al Baqoroh : 213)
وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ ۥ وَلَا تَنَـٰزَعُواْ فَتَفۡشَلُواْ وَتَذۡهَبَ رِيحُكُمۡۖ
Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi lemah dan hilang kekuatanmu. (Al Anfal : 46)
Nabi dan Rosullah yang “dipasang” Allah sebagai “instrumen” peredam dan pengendali perselisihan. Tapi kemudian para Ulama membuat kesepakatan bahwa tidak akan ada lagi Nabi dan Rosul. Akibatnya perselisihan dan perpecahan dikalangan kaum Muslimin semakin marak tak bisa diatasi. Padahal Allah sangat membenci perpecahan dan perselisihan itu dan mengancamnya dengan adzab yang besar.
وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَٱخۡتَلَفُواْ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡبَيِّنَـٰتُۚ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ لَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٌ۬
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang terpecah belah dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka Itulah orang-orang yang mendapat adzab yang besar. (Ali Imron : 105)
Di beberapa ayat Allah menggugat orang-orang terdahulu (Bani Israil) sebagai mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh Nabi-nabi (dengan selalu menggunakan isim jama’, Nabi-nabi). Tapi tidak ada satupun contoh kasus yang konkrit yang Allah kisahkan, tentang siapa Nabi yang dibunuh itu diantaranya.
Ini mengisyaratkan bahwa bukannyan seorang Nabi dibunuh secara fisik, melainkan “instrumen” kenabian dalam sistem dienullah itu dimatikan.
Ibarat ruangan yang panas dan banyak orang lalu dipasang sistem pendingin udara (AC), tapi kemudian ac itu dimatikan, maka tak pelak lagi, gerah, panas dan pengap tak terhindarkan.
4. Setiap Ummat Dipimpin Seorang Rosul
وَلِڪُلِّ أُمَّةٍ۬ رَّسُولٌ۬ۖ فَإِذَا جَآءَ رَسُولُهُمۡ قُضِىَ بَيۡنَهُم بِٱلۡقِسۡطِ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ
Tiap-tiap umat mempunyai Rasul; maka apabila telah datang Rasul mereka, diputuskanlah (perkara) diantara mereka dengan adil dan mereka tidak didholimi. (Yunus : 47)
Rosul yang dikatakan di atas adalah Rosul yang benar-benar datang (hadir) dan memimpin mereka dengan adil. Bukan sekedar sebuah nama dari seseorang yang telah gaib dan diyakini sebagai Rosul, kemudian mereka mencari tahu tentang Rosul yang sudah gaib itu.
وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِى ڪُلِّ أُمَّةٍ۬ رَّسُولاً أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّـٰغُوتَۖ فَمِنۡهُم مَّنۡ هَدَى ٱللَّهُ وَمِنۡهُم مَّنۡ حَقَّتۡ عَلَيۡهِ ٱلضَّلَـٰلَةُۚ فَسِيرُواْ فِى ٱلۡأَرۡضِ فَٱنظُرُواْ كَيۡفَ كَانَ عَـٰقِبَةُ ٱلۡمُكَذِّبِينَ
Dan sungguh Kami bangkitkan (munculkan) di tiap-tiap umat itu seorang Rosul (untuk menyerukan): "Mengabdilah (menyerah dan tunduk) kepada Allah (saja), dan jauhilah “Thaghut" (tandingan Allah yang memalingkan manusia dari jalan-Nya), Maka di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang memalsukan. (An Nahl : 36)
Ayat diatas menggambarkan bahwa kondisi mapan yang ada pada setiap ummat, semula berada dalam kesesatan dibawah dekapan “thoghut”, kemudian dimunculkan rosul di tengah mereka, maka sebagian mereka ada yang berhasil lepas dari thoghut itu dan masuk jaringan (instalasi) cahaya petunjuk, dan sebagian lagi telah lengket dalam kesesatan.
Sungguh berlawanan dengan apa yang diopinikan di kalangan kaum muslimin, bahwa yang telah dan selalu mapan sampai hari kiamat (“khuldi”) itulah kebenaran di bawah petunjuk Allah, kemudian muncul thogut dan membawa sebagian mereka ke dalam “aliran sesat”. Padahal “Syajarotul Khuldi” (pohon yang abadi) itu adalah fiksi atau “pohon tiruan” kreasi Iblis (mukadzdzibiin).
Petunjuk pada ayat tersebut di atas (An Nahl : 36) sinkron benar (diperjelas pula) dengan Ali Imron : 164 sebagai berikut:
لَقَدۡ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذۡ بَعَثَ فِيہِمۡ رَسُولاً۬ مِّنۡ أَنفُسِهِمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡہِمۡ ءَايَـٰتِهِۦ وَيُزَڪِّيہِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ وَٱلۡحِڪۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِى ضَلَـٰلٍ۬ مُّبِينٍ
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah memunculkan di tengah-tengah mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (pemunculan Rosul) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imron : 164)
Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang beriman (bukan orang-orang kafir penyembah berhala). Tetapi sebelum pemunculan dan berperannya Rosul, mereka (orang-orang yang beriman tersebut) benar-benar dalam kesesatan yang nyata. Orang-orang beriman yang salah jalan.
5. Tidak Ada Ummat Yang Eksis Terus Sampai Hari Kiamat
Setiap ummat pasti akan menemui ajalnya (berakhir eksistensinya) dan bila ajalnya tiba, tidak satupun kekuatan yang menahan atau menangguhkannya.
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ۬ۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمۡ لَا يَسۡتَأۡخِرُونَ سَاعَةً۬ۖ وَلَا يَسۡتَقۡدِمُونَ
Tiap-tiap ummat mempunyai ajal (eksistensinya berakhir). Maka apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (Al A’rof : 34, Yunus : 49)
Tidak ada ummat yang eksis terus sampai Hari Kiamat, dan setiap ummat ada Rosulnya. Ini berarti bahwa Ummat yang terakhir eksis sudah menemui ajalnya dan belum muncul ummat penggantinya.
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ۬ يُحِبُّہُمۡ وَيُحِبُّونَهُ
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang irtad (membelot) dari din-nya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum (pengganti/penerus) yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya..., (Al Maidah : 54)
Orang-orang mukmin disebut irtad (membelot) dari Din mereka, jika mereka mulai melenceng dan keluar dari sistem hidup “Samawi” yaitu Dienullah, Dienul Haq. Maka ummat yang demikian dapat dikatakan ajalnya telah tiba, suatu proses ke arah kegelapan. Ini berarti tidak ada upaya apapun yang bisa dilakukan untuk menahan atau memperbaikinya, seperti halnya matahari yang akan terbenam tidak ada satu kekuatanpun (selain Allah) yang bisa menahan atau mempercepatnya (tidak ada yang bisa menangkal ajal).
Yang mungkin diharapkan terjadi hanyalah: kelak (“saufa” berarti kelak yang mungkin akan lama sekali) Allah menghadirkan ummat yang baru. Munculnya suatu Ummat tentunya seiring dengan dengan muncul (dibangkitan) seorang Rosul.
Allah menegaskan kemungkinan munculnya Rosul kapanpun sepanjang masa. Ketika suatu ummat sudah dianggap irtad dan sampai pada ajalnya, sebagaimana Kalam-Nya sebagai berikut:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ۬ۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمۡ لَا يَسۡتَأۡخِرُونَ سَاعَةً۬ۖ وَلَا يَسۡتَقۡدِمُونَ (٣٤) يَـٰبَنِىٓ ءَادَمَ إِمَّا يَأۡتِيَنَّكُمۡ رُسُلٌ۬ مِّنكُمۡ يَقُصُّونَ عَلَيۡكُمۡ ءَايَـٰتِىۙ فَمَنِ ٱتَّقَىٰ وَأَصۡلَحَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡہِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ
Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Maka apabila telah tiba ajalnya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.
Hai anak-anak Adam, jika (suatu saat) datang kepadamu Rasul-rasul dari (kalangan) kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa yang bertakwa dan melakukan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Al A’rof : 34-35)
Jelaslah bahwa yang bisa diharapkan hanyalah apa yang mungkin terjadi berdasarkan Sunnatullah, yakni Allah berpesan kepada manusia (di era Al Quran ini) bahwa jika datang rosul-rosul (bisa lebih dari satu) dari kalangan mereka sendiri, hendaknya mereka bertaqwa (ikuti dan taati Rosul itu) dan lakukanlah perbaikan secara kaaffah (reformasi total).
Jika benar Allah menetapkan bahwa Muhammad adalah Rosul terakhir, bagaimana mungkin dalam Al Quran (yang notabene diperuntukkan bagi manusia pada era dan pasca Muhammad) ada pesan Allah seperti di atas?
Dengan demikian nyata pulalah bahwa doktrin yang mengatakan bahwa tidak akan ada lagi Rosul setelah Muhammad, hanyalah rekaan manusia dengan menyembunyikan ayat-ayat Allah, atau bahkan menjegal informasi dari Allah.
Lebih dari itu, dalam Al Quran ini termuat juga seruan dan perintah kepada sejumlah Rosul (dengan ism jamak).
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلرُّسُلُ كُلُواْ مِنَ ٱلطَّيِّبَـٰتِ وَٱعۡمَلُواْ صَـٰلِحًاۖ إِنِّى بِمَا تَعۡمَلُونَ عَلِيمٌ۬ (٥١) وَإِنَّ هَـٰذِهِۦۤ أُمَّتُكُمۡ أُمَّةً۬ وَٲحِدَةً۬ وَأَنَا۟ رَبُّڪُمۡ فَٱتَّقُونِ
Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan bekerjalah dengan shaleh (bekerjalah secara professional) sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dan sesungguhnya ini adalah ummat kalian, ummat yang satu, dan aku adalah Robbmu, maka bertakwalah kepada-Ku. (Al Mu’minun : 51-52)
Semoga saja tidak ada orang yang menantang murka Allah dengan tidak menggunakan akalnya, dengan mengatakan bahwa Rosul-rosul yang dimaksud adalah Rosul-rosul sebelum Muhammad yang memang banyak. Ketika Al Quran ini turun mereka sudah wafat semua, bagaimana mungkin Allah menyuruh mereka makan dan bekerja?
Lebih jauh diterangkan pada ayat di atas bahwa walaupun Rosul-rosul tersebut hidup masing-masing terpisahkan oleh ruang dan waktu, lain tempat lain zaman, dan mereka mempunyai ummat masing-masing, dengan manhaj dan syariat berbeda-beda, namun Allah mengakui bahwa mereka adalah ummat yang satu (Ummatan Wahidah) Ummat Robbani, karena semua sama dibangun dengan berpedoman ayat-ayat Allah, dan Allah-lah satu-satunya Robb mereka.
Terjawablah issu 73 firqoh yang semua ke neraka kecuali “yang satu” (Al Wahidah), itulah dia Ummatan Wahidah ummat-ummat yang masing-masing dipimpin oleh seorang Rosul, kapan dan dimanapun mereka eksis di bumi ini.
7. Pemahaman tentang sistem kesaksian yang tidak masuk akal dan terbalik 180 derajat
Diajarkan kepada orang-orang sebuah doktrin: “Jika ingin jadi Ummat Muhammad (Muslim), maka harus mengakui (menyaksikan) bahwa Muhammad itu Rosulullah”.
Kok bisa jungkir terbalik begitu?! Jadi, (misalnya): Kalau ingin jadi warga Jakarta, harus mengakui bahwa Fauzi Bowo itu Gubernur Jakarta … (?..!..?)…. Terbalik itu!: “Kalau kamu ingin jadi warga Jakarta harus diakui oleh Gubernur Jakarta bahwa kamu itu warganya. Pengakuan tersebut dibuktikan (disaksikan) dengan KTP! Begitu...!!
وَجَـٰهِدُواْ فِى ٱللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِۦۚ هُوَ ٱجۡتَبَٮٰكُمۡ وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِى ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٍ۬ۚ مِّلَّةَ أَبِيكُمۡ إِبۡرَٲهِيمَۚ هُوَ سَمَّٮٰكُمُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ مِن قَبۡلُ وَفِى هَـٰذَا لِيَكُونَ ٱلرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيۡكُمۡ وَتَكُونُواْ شُہَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِۚ
Dan berjihadlah kamu di (pihak) Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) millah orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) di (era Alquran) ini, agar Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia,... (Al Hajj : 78)
Jelas sekali bahwa Rosul-lah yang menjadi saki atas kemusliman manusia, bukan sebaliknya.
فَلَمَّآ أَحَسَّ عِيسَىٰ مِنۡہُمُ ٱلۡكُفۡرَ قَالَ مَنۡ أَنصَارِىٓ إِلَى ٱللَّهِۖ قَالَ ٱلۡحَوَارِيُّونَ نَحۡنُ أَنصَارُ ٱللَّهِ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَٱشۡهَدۡ بِأَنَّا مُسۡلِمُونَ
Maka tatkala Isa menyadari kekufuran mereka, berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku menuju (ridho) Allah?" Para Hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kamilah penolong-penolong (pejuang) Allah, Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya Kami adalah Muslimin. (Ali Imran : 52)
Ketika mereka menyambut seruan Rosul (bertaslim) maka pernyataan mereka itu adalah: “saksikanlah bahwa kami seorang Muslim” bukan sebaliknya: “Kami menyaksikan bahwa engkau itu Rosul”.
Diantara tugas pokok seorang Rosul adalah menjadi saksi (melegalisasi) atas kemusliman dan ketakwaan pengikutnya. Lalu Allah mengingatkan bahwa adanya kesaksian seorang Rosul itu akan dipertanyakan Allah pada Hari Akhir kelak.
وَيَوۡمَ نَبۡعَثُ فِى كُلِّ أُمَّةٍ۬ شَهِيدًا عَلَيۡهِم مِّنۡ أَنفُسِہِمۡۖ وَجِئۡنَا بِكَ شَہِيدًا عَلَىٰ هَـٰٓؤُلَآءِۚ وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ تِبۡيَـٰنً۬ا لِّكُلِّ شَىۡءٍ۬ وَهُدً۬ى وَرَحۡمَةً۬ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ
(dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari (kalangan) mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas semua (saksi-saksi) itu. Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang Muslim. (An Nahl : 89)
(Catatan: Pada terjemahan-terjemahan Al Quran kata “muslimin” selalu diterjemahkan dengan “orang-orang yang berserah diri”. Padahal Allah telah menjadikan kata “Muslimin” itu sebagai nama bagi pengikut Din-Nya (Al Hajj : 78), maka sebuah nama itu dimana-mana juga tidak diterjemahkan.)
فَكَيۡفَ إِذَا جِئۡنَا مِن كُلِّ أُمَّةِۭ بِشَهِيدٍ۬ وَجِئۡنَا بِكَ عَلَىٰ هَـٰٓؤُلَآءِ شَہِيدً۬ا
Maka bagaimana (nanti) apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari setiap umat dan kami datangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas semua (saksi-saksi) itu? (An Nisa : 41)
Setiap Ummat disaksikan (kebenarannya sebagai Muslimin) oleh Rosulnya masing-masing. Kemudian Muhammad sebagai saksi atas kebenaran semua saksi-saksi tadi, karena Muhammadlah yang menerima Al Quran yang juga sebagai standar (penguji) kebenaran atas semua Kitab yang Allah turunkan.
Demikian pula Rosul-rosul yang Allah informasikan kepada bani Adam akan kemungkinan kedatangan mereka (Al A’rof : 35), akan ditanyakan kepada manusia terkait dengan kesaksian Rosul-rosul tersebut.
يَـٰمَعۡشَرَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِ أَلَمۡ يَأۡتِكُمۡ رُسُلٌ۬ مِّنكُمۡ يَقُصُّونَ عَلَيۡڪُمۡ ءَايَـٰتِى وَيُنذِرُونَكُمۡ لِقَآءَ يَوۡمِكُمۡ هَـٰذَاۚ قَالُواْ شَہِدۡنَا عَلَىٰٓ أَنفُسِنَاۖ وَغَرَّتۡهُمُ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا وَشَہِدُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِہِمۡ أَنَّهُمۡ كَانُواْ ڪَـٰفِرِينَ
Hai segenap jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu Rasul-rasul dari kalanganmu sendiri, yang mengisahkan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu akan pertemuanmu dengan hari ini? mereka berkata: "Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri", kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir. (Al An’am : 130)
Tidak adanya kesaksian seorang Rosul, Allah memandangnya sebagai bukti kekafiran manusia. Dan tidak mungkin Rosul yang sudah wafat masih berfungsi sebagai saksi.
وَكُنتُ عَلَيۡہِمۡ شَہِيدً۬ا مَّا دُمۡتُ فِيہِمۡۖ فَلَمَّا تَوَفَّيۡتَنِى كُنتَ أَنتَ ٱلرَّقِيبَ عَلَيۡہِمۡۚ وَأَنتَ عَلَىٰ كُلِّ شَىۡءٍ۬ شَہِيدٌ
Dan aku (Rosul) menjadi saksi atas mereka selama aku hidup diantara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah pengawas atas mereka. Dan Engkau atas segala sesuatu Maha Menyaksikan. (Al Maidah : 117)
Ketika seorang Rosul wafat, segala urusannya kembali kepada Allah. Ihwal perjalan Risalah-Nya di bumi sepanjang zaman, berlaku menurut ketetapannya (Sunnatullah) yang tidak pernah berganti atau berubah.
سُنَّةَ مَن قَدۡ أَرۡسَلۡنَا قَبۡلَكَ مِن رُّسُلِنَاۖ وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحۡوِيلاً
Suatu ketetapan bagi orang yang telah kami lepas ber-risalah (kami utus) sebelum kamu dari Rosul-rosul Kami, dan tidak akan kamu dapati bagi ketetapan Kami suatu perubahanpun. ( Al Isro : 77 )
8. Yang sah ditaati (sebagai mentaati Allah) hanya Rosul saja, bukan yang lain.
Adalah selayaknya bagi kedudukan Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung, maka segala urusan manusia sebagai hamba dengan Allah sebaga Robb-Nya, hanya dilakukan melalui Rosul-Nya, satu-satunya yang mendapat mandat (izin) untuk itu.
Baik dalam menjalankan misi (Amanah-Nya), mentaati perintahnya, minta keputusan atas perkara yang terjadi, bahkan memohonkan ampunan atas kedholiman yang dilakuan.
Urusan langsung kepada Allah hanya dalam berdoa dan amalan ritual, itupun hanya dalam bentuk dan tata cara yang dibakukan Rosul mereka.
مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرۡسَلۡنَـٰكَ عَلَيۡهِمۡ حَفِيظً۬ا
Barangsiapa yang mentaati Rasul, maka benar-benar ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari Rosul), maka Kami tidak mengutusmu untuk mengawasi mereka. (An Nisa : 80 )
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ وَلَوۡ أَنَّهُمۡ إِذ ظَّلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ جَآءُوكَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ ٱللَّهَ وَٱسۡتَغۡفَرَ لَهُمُ ٱلرَّسُولُ لَوَجَدُواْ ٱللَّهَ تَوَّابً۬ا رَّحِيمً۬ا (٦٤) فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِىٓ أَنفُسِہِمۡ حَرَجً۬ا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمً۬ا
Dan tidaklah Kami mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya kalau saja ketika mereka berbuat dholim atas dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Maka demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap apa yang kamu putuskan, dan mereka tunduk sepenuhnya. (An Nisa : 64-65)
Dalam ketiadaan Rosul yang eksis, atau Rosul yang ada malah didustakan dan dianggap sesat, maka yang mereka ikuti dan taati, dijadikan panutan, dimintai fatwa dan sebagainya adalah mereka yang dalam tatanan sosial menempati posisi struktural sebagai pemimpin, atau figur-figur kharismatik atau para penyandang nama besar, baik karena ilmunya, hartanya atau status sosialnya.
Tapi Allah mengingatkan bahwa jika yang diikuti dan ditaati bukan seorang Rosul melainkan pemimpin-pemimpin dan pembesar seperti tersebut di atas, itu akan menuai adzab neraka yang amat menyakitkan di Hari Akhir nanti. Karena bentuk kepanutanan dan ketaatan seperti di atas bukan wujud Dienullah (Dienul Islam).
يَوۡمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمۡ فِى ٱلنَّارِ يَقُولُونَ يَـٰلَيۡتَنَآ أَطَعۡنَا ٱللَّهَ وَأَطَعۡنَا ٱلرَّسُولَا۟ (٦٦) وَقَالُواْ رَبَّنَآ إِنَّآ أَطَعۡنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَآءَنَا فَأَضَلُّونَا ٱلسَّبِيلَا۟ (٦٧) رَبَّنَآ ءَاتِہِمۡ ضِعۡفَيۡنِ مِنَ ٱلۡعَذَابِ وَٱلۡعَنۡہُمۡ لَعۡنً۬ا كَبِيرً۬ا
- Pada hari ketika diri-diri mereka dibontang-banting dalam neraka, mereka berkata: "Aduhai…! Andaikan saja kami taat kepada Allah dan taat kepada Rasul…".
- Dan mereka berkata: "Ya Tuhan Kami, sesungguhnya kami mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, ternyata mereka membuat kami tersesat jalan.
- Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". (Al Ahzab : 66-68)
كَادُ تَمَيَّزُ مِنَ ٱلۡغَيۡظِۖ كُلَّمَآ أُلۡقِىَ فِيہَا فَوۡجٌ۬ سَأَلَهُمۡ خَزَنَتُہَآ أَلَمۡ يَأۡتِكُمۡ نَذِيرٌ۬ (٨) قَالُواْ بَلَىٰ قَدۡ جَآءَنَا نَذِيرٌ۬ فَكَذَّبۡنَا وَقُلۡنَا مَا نَزَّلَ ٱللَّهُ مِن شَىۡءٍ إِنۡ أَنتُمۡ إِلَّا فِى ضَلَـٰلٍ۬ كَبِيرٍ۬ (٩) وَقَالُواْ لَوۡ كُنَّا نَسۡمَعُ أَوۡ نَعۡقِلُ مَا كُنَّا فِىٓ أَصۡحَـٰبِ ٱلسَّعِيرِ (١٠) فَٱعۡتَرَفُواْ بِذَنۢبِہِمۡ فَسُحۡقً۬ا لِّأَصۡحَـٰبِ ٱلسَّعِيرِ
- Hampir saja (neraka) itu meledak saking marahnya. Setiap kali dilemparkan ke dalamnya satu rombongan (manusia), bertanya kepada mereka para penjaga (neraka itu): "Apakah belum pernah datang kepada kamu seorang pemberi peringatan?"
- Mereka menjawab: "Benar ada", Sesungguhnya telah datang kepada Kami seorang pemberi peringatan, lalu kami mendustakan(nya) dan kami katakan: "Allah tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah dalam kesesatan yang besar".
- Dan mereka berkata: "Kalau saja kami mendengar atau menggunakan akal, tentulah kami tidak menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala".
- Mereka menyadari kesalahan mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala. (Al Mulk : 8-11)
رُّسُلاً۬ مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةُۢ بَعۡدَ ٱلرُّسُلِۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمً۬ا
Rasul-rasul sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada lagi hujjah (dalil/argumentasi) bagi manusia terhadap (dalam bertanggung jawab kepada) Allah, sesudah (selain) Rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa (Maha Bermartabat) lagi Maha Bijaksana. (An Nisa : 165)
Manusia tidak akan diterima pertanggungjawabannya kepada Allah atas segala langkah dan perbuatannya dengan alasan (hujjah) lain, seperti: “Karena menurut orang banyak ...”, “Karena menurut Bapak-bapak kami … “, Karena menurut pendapat kami …”, karena menurut apa yang saya baca …”, dan sebagainya dan sebagainya.
Hanya satu hujjah yang diterima Allah yaitu: “Kami melakukan semua itu karena kami mengikuti, mendengar, mentaati dan mencontoh Rosul kami”. Itulah hujjah yang benar dan legal. Kemudian Rosul mereka akan menjadi saksi di hadapan Allah atas kebenaran pengakuan mereka itu.
Hal yang demikian itu sangat logis sekali, karena Allah tidak mengakui permah menyampaikan “Kalam” kepada seorang manusiapun, baik yang berupa “amar dan nahi” (perintah dan larangan) maupun yang berupa “basyir dan nadzir” (kabar gembira dan peringatan), melainkan dengan tiga cara yaitu: (1) Wahyu, (2) kontak personal dari “balik hijab” , atau (3) melepas seorang Rosul.
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ ٱللَّهُ إِلَّا وَحۡيًا أَوۡ مِن وَرَآىِٕ حِجَابٍ أَوۡ يُرۡسِلَ رَسُولاً۬ فَيُوحِىَ بِإِذۡنِهِۦ مَا يَشَآءُۚ إِنَّهُ ۥ عَلِىٌّ حَڪِيمٌ۬
Dan tidak pernah terjadi bagi seorang manusiapun bahwa Allah berbicara kepadanya kecuali secara wahyu atau dari belakang hijab (tabir) atau dengan melepas seorang Rosul lalu diwahyukan kepadanya (Rosul tersebut) dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (Asy Syuro : 51)
Memang itulah cara yang paling layak, elegan dan bijaksana bagi Dzat Yang Maha Suci dan Maha Tinggi.
Dengan demikian, bagaimana mungkin mengemban misi/amanah Allah (itulah esensi beribadah) bisa berjalan tanpa eksistensi seorang Rosul-Nya.
10. Rosul masa lalu adalah perkara gaib dan tidak ada yang bisa mengetahuinya kecuali Allah.
Berdasarkan keterangan dari Al Quran, antara lain: An Naml : 20, Ali Imron : 44, Yusuf : 102, Hud : 49 dan Al Kahfi : 22) yang disebut perkara gaib itu adalah: “segala sesuatu yang berada diluar jangkauan penginderaan karena berada atau terjadi di tempat lain atau di lain waktu” (Baca kembali tulisan berjudul : 1000 Tahun Dalam Kegelapan Dan Kesesatan)
10. Rosul masa lalu adalah perkara gaib dan tidak ada yang bisa mengetahuinya kecuali Allah.
Berdasarkan keterangan dari Al Quran, antara lain: An Naml : 20, Ali Imron : 44, Yusuf : 102, Hud : 49 dan Al Kahfi : 22) yang disebut perkara gaib itu adalah: “segala sesuatu yang berada diluar jangkauan penginderaan karena berada atau terjadi di tempat lain atau di lain waktu” (Baca kembali tulisan berjudul : 1000 Tahun Dalam Kegelapan Dan Kesesatan)
Dengan demikian maka kehidupan Rosulullah Muhammad a.s. dan orang-orang yang bersamanya adalah perkara gaib bagi kita semua yang hidup zaman ini.
Sedangkan tentang perkara gaib Allah menegaskan:
وَعِندَهُ ۥ مَفَاتِحُ ٱلۡغَيۡبِ لَا يَعۡلَمُهَآ إِلَّا هُوَۚ
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. (Al An ‘am : 59)
قُل لَّا يَعۡلَمُ مَن فِى ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ ٱلۡغَيۡبَ إِلَّا ٱللَّهُۚ
Katakanlah: "tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah". (An Naml : 65)
Lebih jauh (pada ayat-ayat yang disebutkan di atas) Allah menggariskan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
- Manusia hanya bisa mengetahui hal yang gaib jika Allah memberitahukannya dalam Al Quran.
- Mencoba menyatakan itu dan ini tentang perkara yang gaib, hanyalah tebakan atau dugaan, yang tidak berguna untuk dipandang sebagai kebenaran
- Dilarang meperdebatkan hal yang gaib. Perdebatan hanya boleh dalam hal yang dhohir saja.
- Jangan meminta pendapat (fatwa) kepada seorangpun tentang hal yang gaib, karena tidak ada yang mengetahuinya selain Allah.
Jelas itu bukan dari Allah. Subhanallahi ‘ammaa yashifuun … Konsep Robbani itu adalah konsep yang tanpa cacat. Dalam apapun yang benar dari Allah, tidak ada sesuatupun yang tidak sinkron, apalagi berlawanan.
11. Berlawanan dengan adanya “Perjanjian Yang Kokoh” (“Mietsaaqon Gholiidzho”) antara Allah dan Para Nabi
11. Berlawanan dengan adanya “Perjanjian Yang Kokoh” (“Mietsaaqon Gholiidzho”) antara Allah dan Para Nabi
وَإِذۡ أَخَذَ ٱللَّهُ مِيثَـٰقَ ٱلنَّبِيِّـۧنَ لَمَآ ءَاتَيۡتُڪُم مِّن ڪِتَـٰبٍ۬ وَحِكۡمَةٍ۬ ثُمَّ جَآءَڪُمۡ رَسُولٌ۬ مُّصَدِّقٌ۬ لِّمَا مَعَكُمۡ لَتُؤۡمِنُنَّ بِهِۦ وَلَتَنصُرُنَّهُ ۥۚ قَالَ ءَأَقۡرَرۡتُمۡ وَأَخَذۡتُمۡ عَلَىٰ ذَٲلِكُمۡ إِصۡرِىۖ قَالُوٓاْ أَقۡرَرۡنَاۚ قَالَ فَٱشۡہَدُواْ وَأَنَا۟ مَعَكُم مِّنَ ٱلشَّـٰهِدِينَ
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil Perjanjian dari Para nabi: "Sungguh, apa saja (bagian manapun) yang aku berikan kepadamu dari Kitab dan Hikmah kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenari (tidak menyalahi) apa yang ada padamu, sungguh kamu akan benar-benar beriman kepadanya dan membelanya". Allah berfirman: "Maukah kamu berikrar dan menerima hal itu sebagai janji kalian kepada-Ku?" mereka menjawab: "Kami berikrar". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah, dan aku menjadi saksi (pula) bersama kamu". (Ali Imron : 81)
Yang dimaksud “Kitab” dalam ayat di atas tentunya Kitabullah (yang didatangkan Allah kepada para Nabi). Sedangkan Hikmah adalah pelajaran (Ilmu/Kebenaran) yang didapat dari hasil menganalisa (mentafakkuri) apa yang ada dan terjadi (fenomena). Termasuk dalam cakupan “hikmah” adalah segala kebenaran dalam kemasan apapun. Apakah itu Ilmu Pengetahuan dalam disiplin ilmu apapun, sains, filsafat dan sebagainya, sepanjang itu adalah kebenaran yang terbuktikan dengan fakta-faktanya secara pasti.
Adapun yang namanya “kepercayaan”, anutan, doktrin, dongeng, opini, dogma dan lain-lain, apalagi mistik dan tahayul, sama sekali bukan bagian dari “Al Hikmah”.
Esensi dari perjanjian Para Nabi di atas adalah, siapa saja yang mendapat bagian mana saja dari Kitab dan atau Hikmah, gunakanlah untuk menguji kebenaran sebuah risalah (ajaran) yang diklaim sebagai dari Allah (pembawanya adalah Rosul). Dengan catatan (janji) bahwa jika ternyata apa yang dibawakan dan disampaikan Rosul itu tidak menyalahi kebenaran, Nabi sekalipun wajib mengimani dan membela Rosul tersebut. Apalagi yang namanya ulama, ilmuwan, cendikiawan dan orang kebanyakan lainnya.
Mungkin banyak orang yang dalam pikirannya terlintas: “Tentunya Nabi-nabi yang dimaksud itu adalah Nabi-nabi yang lalu sebelum Nabi Muhammad. Karena sejak Muhammad jadi Nabi dan selamanya tidak akan ada Rosul lagi”.
Kiranya itu adalah contoh sebuah pemikiran atau opini yang tidak berdasar kebenaran. Makanya Allah meng-“cut” pikiran tersebut:
وَإِذۡ أَخَذۡنَا مِنَ ٱلنَّبِيِّـۧنَ مِيثَـٰقَهُمۡ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ۬ وَإِبۡرَٲهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَى ٱبۡنِ مَرۡيَمَۖ وَأَخَذۡنَا مِنۡهُم مِّيثَـٰقًا غَلِيظً۬ا
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil Perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh. (Al Ahzab : 7)
Tentunya “kamu sendiri” yang dimaksud dalam Al Quran adalah Muhammad. Jelaslah Muhammad pun dilibatkan Allah dalam perjanjian dengan Para Nabi tersebut.
Sekarang pertanyaannya adalah: “Siapa yang mengatakan bahwa setelah Muhammad tidak akan ada Rosul lagi? Apa artinya beliau dilibatkan dalam Perjanjian Yang Kokoh tadi?”
12. Ayat Al Qur'an diubah-ubah arti (terjemahnya) untuk mencari-cari dalil dan mempertahankan doktrin buatan manusia itu
12. Ayat Al Qur'an diubah-ubah arti (terjemahnya) untuk mencari-cari dalil dan mempertahankan doktrin buatan manusia itu
Ayat Al Quran yang dianggap dalil (hujjah) atas doktrin mereka itu adalah:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَـٰكَ إِلَّا ڪَآفَّةً۬ لِّلنَّاسِ
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya.(?) (Saba : 28)
Terjemahan ayat seperti di atas itu sungguh diputar balik. Pengertian yang sebenarnya dari tersebut adalah, bahwa yang bersifat kaaffah (menyeluruh) itu risalahnya bukan manusianya. Karena kata “kaaffah” itu menerangkan kata sebelumnya yakni “Arsala” , bukan menerangkan kata sesudah yaitu “Li’n naas” yang artinya bagi manusia (bukan kepada manusia).
Menerjemahkan seperti itu sama nilainya dengan (berarti) mengubah Kalamullah tersebut menjadi:
وما ارسلناك الا الى الناس كافة
Padahal ayat tersebut struktur kalimatnya paralel benar dengan:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَـٰكَ إِلَّا رَحۡمَةً۬ لِّلۡعَـٰلَمِينَ
Dan Tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan (sebagai) rahmat bagi seluruh alam. (Al Anbiya : 107)
Yang menjadi Rahmat bagi seluruh alam itu tentu bukan Rosul sebagai manusianya, melainkan risalah yang dibawanya yang dikemas dalam Al Quran itu. Maka agar Al Quran berefek sebagai rahmat bagi seluruh alam, menembus ruang dan waktu (sepanjang zaman). Maka pengemban risalahnyapun (Rosul) harus ada sepanjang zaman. Dan begitulah konsep dari Allah yang sebenarnya. Al Quran itu energi (Ruh), Rosul itu lampunya (Syirojan Muniero). Walaupun energinya besar dan hebat, tapi kalau tidak ada lampu mana ada cahaya?
Jika tidak diputar-balik, ayat di atas itu (Saba : 28) terjemahnya adalah:
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan (bersifat) kaaffah (menyeluruh) bagi manusia.
Pengertiannya adalah bahwa risalah yang dibawa Rosul itu tidak hanya menyangkut aspek-aspek tertentu saja dalam kehidupan manusia, melainkan mencakup seluruh aspek kehidupan mereka.
Di bagian lain dalam Al Quran, Allah menegaskan bahwa Al Quran itu akan menjadi syifa (solusi) dan Rahmat bagi orang-orang yang beriman, dengan catatan bahwa mereka tidak berbuat dholim. Karena jika Al Quran berada di tangan orang yang berbuat dholim, malah akan menjadi laknat yang hanya akan menambah dan menambah kerugian.
وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ۬ وَرَحۡمَةٌ۬ لِّلۡمُؤۡمِنِينَۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّـٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارً۬ا
Dan Kami turunkan dari Al Quran sesuatu yang menjadi penawar (solusi) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Al Isro : 82)
Sedangkan kedholiman yang paling besar adalah “mengada-adakan kebohongan atas Allah”.
فَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّنِ ٱفۡتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبً۬
Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan atas Allah? (Al Kahfi : 15)
Maka tidaklah heran jika Kaum Muslimin yang “ber-Quran” di bumi ini, semakin hari semakin ketinggalan (terbelakang), terpuruk, tertindas, terhinakan dan sebagainya.
Ada lagi yang lain. Dengan mengubah sedikit saja, pengertiannya jadi terputar-balik.
هُوَ ٱلَّذِى بَعَثَ فِى ٱلۡأُمِّيِّـۧنَ رَسُولاً۬ مِّنۡہُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡہِمۡ ءَايَـٰتِهِۦ وَيُزَكِّيہِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِى ضَلَـٰلٍ۬ مُّبِينٍ۬ (٢) وَءَاخَرِينَ مِنۡہُمۡ لَمَّا يَلۡحَقُواْ بِہِمۡۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
- Dia-lah yang mengutus kepada(?) kaum yang ummiy (buta huruf) seorang Rasul dari (kalangan) mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
- Dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al Jumu'ah : 2-3)
Dengan demikian terkesan pengertian bahwa Muhammad itu diutus juga kepada kaum di manapun dan kapanpun yang belum sempat terhubung (nyambung) dengan mereka. Walaupun menabrak logika (bagaimana mungkin seseorang diutus kepada kaum yang tidak pernah nyambung dengan mereka), tetapi karena dibuat “begitu kata Al Quran”, maka didoktrinkan saja sebagai dogma.
Terjemahan yang benar dan jujur dari ayat diatas adalah :
- Dia-lah yang membangkitkan di (kalangan) kaum yang ummiy (buta huruf) seorang Rasul dari (kalangan) mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
- Dan (juga) membangkitkan di kalangan kaum yang ummiy (*) lainnya yang belum berhubungan dengan mereka. dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Jika terjemahannya benar dan lurus (tidak neko-neko), maka pengertian yang diperoleh dari keterangan ayat di atas adalah:
“Apabila di lain tempat atau zaman ada lagi kaum yang ummiy, maka dikalangan mereka pun Allah membangkitkan Rosul”
Dengan demikian, benar-benar sinkron (mushoddiq) antara nash (ayat) Al Quran, logika akal sehat dan fakta/realita. Jika fakta (kenyataannya) tidak pernah muncul (dimunculkan) Rosul lagi sesudah Muhammad, karena memang sangat sulit (belum) dijumpai lagi kaum yang ummiy di zaman yang semakin modern ini.
Siapapun yang jujur dan objektif tidak akan membantah adanya pengubahan yang dilakukkan dalam penerjemahan ayat diatas, berikut implikasinya.
Tentang pengertian “Ummiy” lebih jauh, bisa dibaca pada bahasan berjudul: “Hakikat Nubuwwah dan Risalah (“Kenabian dan Kerasulan)”.
13. Rosulullah Muhammad disifati melebihi (mengalahkan) Allah ?!?
Untuk memalingkan petunjuk Al Quran, agar doktrin bisa dipertahankan, bukan saja dengan mengubah-ubah makna ayat, tetapi bila perlu atau terpaksa, Rosulullah Muhammad diberi sifat melebihi (bahkan “mengalahkan”) Allah.
13. Rosulullah Muhammad disifati melebihi (mengalahkan) Allah ?!?
Untuk memalingkan petunjuk Al Quran, agar doktrin bisa dipertahankan, bukan saja dengan mengubah-ubah makna ayat, tetapi bila perlu atau terpaksa, Rosulullah Muhammad diberi sifat melebihi (bahkan “mengalahkan”) Allah.
قُلۡ يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنِّى رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيۡڪُمۡ جَمِيعًا
Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah Rosul Allah kepada kamu semua”. (Al A’rof : 158)
Ayat diatas dijadikan dalil bahwa Rosulullah Muhammad diutus kepada seluruh ummat manusia sepanjang zaman.
Yang mengatakan: “Hai manusia…” dan “kamu semua” itu Rosul, seorang manusia biasa, Allah menyuruhnya mengatakan itu. Lantas mungkinkah sapaan seorang Rosul yang manusia biasa itu menjangkau juga manusia yang belum lahir, bahkan baru akan lahir puluhan abad kemudian? Sehingga perkataan Rosul tadi tertuju kepada segenap manusia kapan dan dimanapun mereka ada?
Kemudian ketika Rosul menyebut “kamu semua”, apakah orang yang baru lahir beberapa abad kemudian seperti kita yang baru muncul 15 abad kemudian merasa tersapa juga dengan sapaan itu?
Muhammad Rosulullah hanya manusia biasa, sama seperti manusia lainnya. Ketika beliau berbicara dan menyapa: “hai manusia” … dan “kamu semua” tentu yang dituju adalah mereka yang menjadi lawan bicaranya (Al Mukhotob). Yang tidak hadir dihadapannya juga tidak tercakup, meskipun mereka hadir sezaman.
Hanya Allah yang sifatnya universal, tidak terbatasi ruang dan waktu.
Tetapi malah sebaliknya, justru Allah yang mereka sifatkan terbatas, ketika Kalam-Nya merugikan doktrin dan kesepakatan mereka.
أَكَانَ لِلنَّاسِ عَجَبًا أَنۡ أَوۡحَيۡنَآ إِلَىٰ رَجُلٍ۬ مِّنۡہُمۡ أَنۡ أَنذِرِ ٱلنَّاسَ
Pantaskah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka: "Berilah peringatan kepada manusia … (Yunus : 2)
Karena Kalam Allah di atas akan merugikan doktrin yang mereka sepakati bahwa tidak ada lagi yang mendapat wahyu setelah Nabi Muhammad, maka difatwakanlah bahwa yang dimaksud “manusia” pada Kalam Allah tersebut adalah manusia yang hidup pada zaman Rosulullah Muhammad, tidak mencakup manusia-manusia sesudahnya. Padahal yang menjadi “mutakallim” (pembicara) pada Kalam tersebut adalah Allah sendiri, bukan menyuruh Rosul mengatakannya. Tapi cakupannya malah dibuat terbatas sekali.
Demikian pula ketika Allah mengatakan “kamu”
وَكَيۡفَ تَكۡفُرُونَ وَأَنتُمۡ تُتۡلَىٰ عَلَيۡكُمۡ ءَايَـٰتُ ٱللَّهِ وَفِيڪُمۡ رَسُولُهُ
Bagaimanakah kamu bisa kafir, Padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? (Ali Imron : 101)
Mereka katakan bahwa “kamu” yang dimaksud adalah para Sahabat Nabi saja yang ditengah-tengah mereka ada Rosul.
Benar-benar Allah dibatasi sekali, sedangkan Muhammad Rosulullah dianggap universal, tidak terbatas ruang dan waktu. Subhanallah … Allah itu Dzat yang Maha Sempurna dan bersifat universal. Tidak ada sesuatupun yang membatasinya. Setiap Kalam-Nya berlaku kapan dan dimanapun dan tetap eksis dalam kesempurnaannya, tidak berubah dan menurun kadarnya.
Tetapi mereka malah tidak berhenti sampai di situ, karena ada lagi perilaku bodoh yang lebih nekat.
Ketika mendengar salah satu Kalamullah yang dibacakan berikut:
ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ مَثَلُ نُورِهِۦ كَمِشۡكَوٰةٍ۬ فِيہَا مِصۡبَاحٌۖ
Allah adalah (energi) cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah misykat (lubang pada dinding atau plafon rumah) yang di dalamnya ada lampu … (An Nur : 35)
Ketika Allah menyatakan bahwa Allah adalah cahaya dengan perumpamaan seperti misykat yang ada lampunya, maka para ulama “bertolak pinggang” seraya mengunggulkan Muhammad. Seseorang membuat dan merilis sya’ir tentang Muhammad yang dinikmati dan dihayati banyak orang sampai sekarang:
انت شمس انت بدر انت نور فوق النور
Engkau (ibarat) matahari, engkau (ibarat) bulan purnama, engkau cahaya di atas cahaya.
Tidak tahukah mereka, bahwa Rosulullah itu akan digugat oleh Allah dan dipertanyakan kepada beliau tentang perilaku manusia yang mengaku sebagai pengikut dan ummatnya? Sebagaimana Allah mengingatkan kepada beliau bahwa kepada Nabi Isa a.s Allah mempertanyakan perilaku manusia yang mangaku pengikutnya, tapi malah mempertuhan dan memuja Nabi Isa dan Ibunya, menandingi Allah.
وَإِذۡ قَالَ ٱللَّهُ يَـٰعِيسَى ٱبۡنَ مَرۡيَمَ ءَأَنتَ قُلۡتَ لِلنَّاسِ ٱتَّخِذُونِى وَأُمِّىَ إِلَـٰهَيۡنِ مِن دُونِ ٱللَّهِۖ
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putra Maryam, Adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua Tuhan selain Allah ?!".
Dapatkah dibayangkan betapa keprihatinan dan kemarahan Rosulullah jika mengetahui bahwa mereka yang mengaku sebagai ummatnya dan mengaku mencintainya, ternyata mereka malah melakukan fitnah yang memojokkan dan mempermalukan beliau di hadapan Allah?
Masih adakah celah barang sedikit untuk masuknya cahaya ke dalam hati dan menyadarkan manusia akan hal ini? Wallahu a’lam.
14. Kesempurnaan Al Quran tercacatkan
Al Quran itu sempurna, eksis lestari dalam kesempurnaannya, dan tetap up to date. Tidak ada sebagian kecilpun dari Al Quran yang akan berubah apalagi basi atau kadaluarsa. Tetapi dengan tidak adanya lagi Nabi dan Rosul, maka segala perintah, seruan atau sapaan kepada Nabi dan Rosul sudah tidak up to date lagi, sudah bukan perintah lagi melainkan tinggal sebagai “arsip” atau “dokumen kenangan” bahwa dulu Allah pernah memerintah. Ini berlawanan dengan sifat kesempurnaan dan keterpeliharaan Al Quran sebagaimana yang Allah tegaskan.
15. Komplikasi yang terjadi “disiasati” dengan mengubah-ubah Al Quran
Doktrin tentang Kerosulan Muhammad itu menimbulkan banyak sekali ikhtilaf (tidak sinkron) dan kontradiksi yang semakin kompleks. Untuk menyiasatinya agar kesepakatan ulama tersebut di atas tetap dianut orang, selain beberapa ayat yang disebutkan di atas, masih banyak lagi ayat-ayat Al Quran yang diubah-ubah atau direka-reka penerjemahannya. Ini adalah pelanggaran amat berat, kedholiman yang amat besar, yang sama nilainya dengan merubah atau memalsukan Al Quran itu sendiri, karena Al Quran itu dipahami dan dipedomani orang dari terjemahnya.
14. Kesempurnaan Al Quran tercacatkan
Al Quran itu sempurna, eksis lestari dalam kesempurnaannya, dan tetap up to date. Tidak ada sebagian kecilpun dari Al Quran yang akan berubah apalagi basi atau kadaluarsa. Tetapi dengan tidak adanya lagi Nabi dan Rosul, maka segala perintah, seruan atau sapaan kepada Nabi dan Rosul sudah tidak up to date lagi, sudah bukan perintah lagi melainkan tinggal sebagai “arsip” atau “dokumen kenangan” bahwa dulu Allah pernah memerintah. Ini berlawanan dengan sifat kesempurnaan dan keterpeliharaan Al Quran sebagaimana yang Allah tegaskan.
15. Komplikasi yang terjadi “disiasati” dengan mengubah-ubah Al Quran
Doktrin tentang Kerosulan Muhammad itu menimbulkan banyak sekali ikhtilaf (tidak sinkron) dan kontradiksi yang semakin kompleks. Untuk menyiasatinya agar kesepakatan ulama tersebut di atas tetap dianut orang, selain beberapa ayat yang disebutkan di atas, masih banyak lagi ayat-ayat Al Quran yang diubah-ubah atau direka-reka penerjemahannya. Ini adalah pelanggaran amat berat, kedholiman yang amat besar, yang sama nilainya dengan merubah atau memalsukan Al Quran itu sendiri, karena Al Quran itu dipahami dan dipedomani orang dari terjemahnya.
Demikianlah, begitu multi kompleksnya kontradiksi yang timbul gara-gara doktrin yang diada-adakan manusia tentang Kerosulan Muhammad. Ini baru pada tataran konsep dasar. Dan akan ternyata lebih parah lagi dalam tataran implementasinya. Pada tatanan struktural “Ummatan Wahidah”, “Ummatan Wasatho” jadi kacau, pada tataran hukum dan perundang-undangan pun semrawut, pada tataran kultural, etika dan keberadaban jadi angker, blaratan, kusam dan kumuh.
Doktrin tersebut benar-benar merupakan tembok besar yang telah begitu efektif selama lebih dari satu milenium, mengungkung pengamatan, perasaan dan penalaran para penganutnya seperti hewan ternak yang dikandangi, bahkan lebih sesat lagi.
Lenyaplah sudah terbenam dalam kegelapan, pesona Dienul Islam sebagai Rohmatan Lil Alamin yang Suci, Mulia dan Menakjubkan, (bernuansa Tasbih, Tahmid dan Takbir).
Di atas telah dijelaskan bahwa dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar dari doktrin bahwa Muhammad adalah Nabi dan Rosul terakhir sampai Hari Kiamat, ternyata ayat-ayat Al Quran yang dimodifikasi dan diputar-balik. Tapi masih ada satu ayat lagi, yaitu:
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ۬ مِّن رِّجَالِكُمۡ وَلَـٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّـۧنَۗ
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. (Al Ahzab:40)
Memang terjemahan ayat di atas tidak diotak-atik seperti dalil-dalil yang terdahulu. Tetapi frase “Khotama`n Nabiyyin (penutup Nabi-nabi) tidak secara qoth’i (tegas dan jelas) menyatakan bahwa Muhammad itu Nabi terakhir. Kalau saja kalimat di ayat tersebut berbunyi “Nabiyyul Akhir” atau “La Nabiyya Ba’dahu Abadan”, itu baru qoth’i, tegas dan jelas. Tapi kalimat yang demikian itu hanya ada pada wacana dan pidato para ustadz atau kyai.
Secara arti kata memang bisa juga diartikan demikian, tetapi bukan kemestian atau mutlak artinya begitu. Bahkan karena terbukti bahwa ketika diartikan demikian ternyata mengakibatkan kontradiksi yang amat banyak, jelas itu bukan dari Allah. Dengan kata lain, bukan begitu yang Allah maksud.
Kata “Khatam” juga ada diadopsi ke dalam bahasa kita sehari-hari. Ketika seseorang selesai membaca Al Quran 30 Juz, maka dikatakan dia sudah khatam Al Quran. Tetapi tidak berarti tidak ada lagi yang akan membaca Al Quran. Begitu pula ketika seseorang belajar di pesantren dan telah menyelesaikan seluruh program pelajarannya, dikatakan ia sudah khatam mesantren. Tetapi akan banyak lagi orang mesantren di situ.
Para Nabi sebelum Rosulullah Muhammad, sampai mereka wafat “kurikulum” kenabian belum tamat. Allah masih menyimpan bagian dari “agenda” kenabian yang belum tersampaikan kepada manusia. Nah, ketika Rosulullah Muhammad eksis sebagai Nabi dan Rosul, agenda tersebut tuntas tersampaikan kepada beliau dengan sempurna (Tamat).
Agenda kenabian dan Risalah tersebut seluruhnya terkemas dalam Al Quran yang Allah jaga dan lestarikan. Pastinya Rosulullah tidak akan sempat membongkar, mengimplementasikan dan menggelar seluruh muatan Risalah dalam Al Quran yang diperuntukkan bagi seluruh alam, sepanjang zaman. Bahkan mungkin belum tertuntaskan seluruhnya sampai Hari Kiamat, Wallahu A’lam.
Maka untuk melanjutkan pengimplementasian dan penggelaran Risalah Al Quran, adalah suatu keniscayaan bahwa Allah akan terus membangkitkan lagi Nabi dan Rosul, karena begitulah ketetapan Sunnatullah yang tidak akan pernah berubah.
Untuk itu, diperlukan petunjuk yang pasti tentang garis perjalanan Risalah Para Nabi (itulah Shirotol Mustaqiem) suatu garis yang lurus secara eksak (mutlak). Garis lurus adalah garis yang menghubungan dua titik secara lurus seperti bentangan benang halus. Untuk itu Allah menetapkan dua titik dari bentangan garis lurus perjalanan Para Nabi.
Dua titik tersebut adalah: Ibrahim sebagai “IMAM” (titik pangkal), serta mencanangkan “Millah Ibrahim” (misi dan cita-cita perjuangan Nabi Ibrahim) untuk diikuti dan dilanjutkan semua Nabi sesudahnya, termasuk Rosulullah Muhammad. Kemudian sebuah keniscayaan bahwa Allah menetapkan Muhammad sebagai (KHOTAM) titik ujung dari garis lurus perjalanan Nabi-nabi itu.
Oleh sebab itu siapapun yang ingin menemukan Shirothol Mustaqim dan menempuhnya, mutlak harus menemukan benang merah yang menghubungkan Ibrahim sebagai Imam dan Muhammad sebagai Khotam, sebuah garis lurus yang bermuatan Millah Ibrahim. Semua Nabi berjalan pada garis itu dan mengemban misi yang sama. Mereka itu Ummatan Wahidah. Jika garis lurus itu telah ditemukan, maka tarikan perpanjangannya sampai seberapa jauh pun, akan tetap lurus. Tinggal pahami dengan baik Millah Ibrahim, kemudian hidupkan kembali dan lanjutkan misinya di garis lurus Shirothol Mustaqim itu.
Ironisnya, Millah Ibrahim yang menempati posisi mendasar pada konsep Dienul Islam, sama sekali tidak pernah muncul dalam wacana dan kajian keislaman di manapun. Dan juga sebutan “Khotaman Nabiyyin”, malah dijadikan dalil untuk membangun paradigma fiktif dan ilegal, sedikitpun tidak menyentuh esensi petunjuk Allah dari sebutan itu.
Bahkan harus diakui dengan jujur bahawa yang dijadikan “titik pangkal” dalam menempuh perjalanan Ibadah oleh Kaum Muslimin sekarang, jangankan menarik garis dari Ibrahim, dari Muhammad pun tidak. Yang dijadikan titik pangkal oleh semuanya adalah para “Imam Madzhab”, para “Ulama Salaf” atau tokoh-tokoh “Abaa`anaa” lainnya. Walaupun mereka menyebutnya itu semua dari Muhammad, itu hanya label. Sedangkan yang mereka percayai dan ikuti adalah tokoh-tokoh panutan masing-masing. Jauh kemnungkinannya bahwa garis yang mereka tempuh itu adalah “Sierotul Anbiya” (perjalanan hidup Para Nabi).
Dengan demikian, hanya Jemaat Ahmadiyah sajakah yang dipandang tidak layak (berhak) menyandang nama Islam?
Yang tidak akan terjadi (sebagai kebenaran) adalah munculnya seseorang yaag mengaku menerima dari Allah, Wahyu Al Kitab baru sebagai pengganti atau penambah Al Quran. Jika ada yang demikian pastilah sebuah kebohongan, karena Al Quran sudah tamat dan sempurna.
Sebaliknya, tidak ada yang bisa diakui sebagai benar dan legal di sisi Allah untuk mengajarkan, mengimplementasikan dan menggelar Al Quran, kecuali seorang Nabi dan atau Rosul, hanya mereka yang mendapat izin Allah (mandat) untuk itu.
Tapi perlu diingat bahwa sebutan “Nabi” itu adalah sebutan yang Allah gunakan pada orang-orang yang hanya Allah sendiri yang menilai dan menentukan kelayakannya, tidak seperti halnya sebutan “Rosul”. Maka tidak seorangpun yang patut menyebut dirinya Nabi, dan tidak seorang Nabi pun yang melakukan demikian.
Tetapi jika konsep Al Quran itu akan diimplementasikan dan digelar, tidak bisa dihindari akan adanya posisi-posisi yang menurut petunjuk Al Quran adalah posisi Nabi, dan Al Quran harus tetap diimplementasikan dan digelar setepat mungkin sesuai petunjuk-Nya tanda boleh diubah-ubah.
Sebenarnya tidak ada kesulitan (kesempitan) apapun untuk menerima dan membenarkan suatu kebenaran dan menggelarnya, karena segalanya terbukti nyata, kecuali karena belenggu hawahu, kebencian, kedengkian, pengabdian kepada thoghut, atau hal-hal duniawi lainnya.
وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِى ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٍ۬ۚ
Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Al Hajj : 78)
وَمَا ٱخۡتَلَفَ فِيهِ إِلَّا ٱلَّذِينَ أُوتُوهُ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡبَيِّنَـٰتُ بَغۡيَۢا بَيۡنَهُمۡۖ
Tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab tersebut, setelah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata, tetapi ada baghyan (kebencian dan persaingan) antara mereka sendiri. (Al Baqoroh : 213)
Jadi bukan karena Qurannya yang tidak jelas atau sulit dipahami, melainkan karena kebencian, gengsi, ambisi dan sebagainya.
PENUTUP
Dengan senantiasa mohon perlindungan Allah dari pandangan dan pikiran sesat, tulisan ini disusun dengan harapan bisa menyibak tabir kegelapan yang selama berabad-abad membuat manusia berselimut (muddatstsir) didalamnya. Dan yang pada dasarnya tiada lain adalah mencari kepastian bahwa yang ditempuh ini benar-benar jalan menuju keselamatan dari adzab yang pedih di Hari Akhir.
Selanjutnya untuk mencukupkan kepahaman dan kejelasan tentang konsep dasar Islam yang Haq, masih diperlukan kajian lebih lanjut. Untuk itu silakan baca pembahasan yang berjudul: “Menyingkap Hakikat Wahyu dan Al Kitab” dan “Menyingkap Hakikat Nubuwwah dan Risalah (Kenabian dan Kerosulan)”.
ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكَۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡمُمۡتَرِينَ
Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali kamu termasuk orang yang ragu