Dalam kehidupan sehari-hari, kita banyak melihat berbagai piranti yang dijalankan menurut sistem yang telah dipolakan atau dikonsep ...
Dalam kehidupan sehari-hari, kita banyak melihat berbagai piranti yang dijalankan menurut sistem yang telah dipolakan atau dikonsep sedemikian rupa, apakah itu berupa berbagai peralatan yang digunakan manusia dalam bekerja dan beraktivitas, atau berupa mekanisme kegiatan yang terpolakan dengan sistem dan konsep tertentu.
Pada yang demikian itu sering pula dijumpai keadaan yang kita sebut rusak atau error. Hal ini bisa terjadi manakala terdapat unsur-unsur pada piranti tersebut yang menyalahi konsepnya. Bisa karena kondisinya yang berubah (menjadi rusak), salah kedudukan atau posisi, ukuran atau takaran yang tidak sesuai, kinerjanya menyimpang dan masih banyak lagi.
Ketika kerusakan itu terjadi, orang tidak lantas menyalahkan konsepnya. Karena hal itu disebabkan bahwa berbagai unsur yang terhimpun dan terlibat dalam piranti tersebut, tidak mungkin luput dari kelemahan, dan suatu saat pasti rusak.
Demikian pula alam semesta yang Allah ciptakan dan Allah gelar, putaran roda kehidupan manusia di bumi ini, juga berdasarkan konsep yang baku, definitif dan sempurna tidak pernah berubah. Konsep tersebut Allah istilahkan dengan “KALIMAH”. “Kalimatullah”, “Kalimah Thoyyibah”. Berpuluh kata “kalimah” Allah gunakan dalam Al Quran, semua berkonotasi: konsep, ilmu, gagasan atau ide. Bukan berarti “kalimat” dalam bahasa Indonesia yang artinya susunan kata-kata yang berpola.
Alam semesta ciptaan Allah ini pun akan rusak. Dan yang lebih dulu rusak, eror dan kotor, adalah nuansa kehidupan (budaya dan peradaban) manusia. Semakin hari semakin jauh menyimpang dari Konsep Allah, “Kalimah Thoyyibah” (konsep yang baik bermutu), “Kalimatullahi Hiyal Ulya” (Konsep Allah itulah yang tinggi).
Unsur-unsur atau kekuatan yang membuat terjadinya kerusakan (eror) pada kehidupan manusia itulah yang Allah sebut Syetan, yang harus selalu diwaspadai dan dimusuhi. Begitu sering dan intensifnya Allah mengingatkan manusia akan bahaya syetan ini. Karena syetanlah penyebab rusaknya tatanan dan tampilan kehidupan manusia secara komunal. Sekaligus merusak individu-individu manusia, dan menyebabkan mereka tidak layak untuk menghuni surga, maka terafkirlah ia ke neraka.
Namun bagaimana mungkin kita mewaspadai apalagi melawan syetan, kalau kita tidak tahu sama sekali syetan itu apa dan seperti apa, serta bagaimana jurus dan strategi yang dijalankannya. Jangan-jangan malah kita sedang berpelukan mesra dengannya. Karena yang banyak terwacanakan di masyarakat manusia tentang syetan, hanya sebatas mitos dan khayalan. Bahkan di kalangan para kiyai dan santri sekalipun.
Padahal yang mengintroduksi termina “syetan” itu kan Allah, dengan peringatannya dalam Al Quran. Mengapa tidak coba kita bertanya pada Allah. Tentunya lewat Ayat-ayat Allah dan Kalam-Nya. (Men-download dari situs-situs Robbani).
Data entry yang bisa kita peroleh dari Alquran tentang keberadaan syetan ini sebagai berikut:
- Syetan itu “musuh yang nyata” bagi manusia.
- Syetan itu dari kalangan jin dan manusia.
- Syetan itu akan terus eksis sampai Hari Kiamat
- Syetan itu “Ar Rojiem”.
Sayangnya, yang terakhir itu (Ar Rojiem), entah kenapa orang-orang menerjemahkannya dengan frase: “yang terkutuk”. Padahal secara sintaksis, “yang terkutuk” itu sebutan untuk suatu objek penderita (yang terkena kutukan). Sedangkan shighot “Ar Rojiem” itu suatu mubalaghoh isim fa’il. Yaitu kata yang menunjukkan pelaku sesuatu (subjek) yang melakukannya secara kontinyu dan intensif. Sebentuk persis dengan kata Ar Rohiem, yang artinya: Yang Maha Pengasih, bukan “yang terkasih”.
“Yang terkutuk” itu hanya ungkapan sumpah serapah yang emosional dan berbau mistik. Sedangkan Ar Rojiem (yang terdapat pada dzikir isti’adzah –ta’awwudz–), itu suatu peringatan dini (early warning), yang bersifat strategis intellegensif, operasional.
Penerjemahan (putisasi) dzikir isti’adzah yang sering dilantunkan para Remaja Mesjid itu, sungguh telah memandulkan peringatan dini yang dikandungnya. Baru saja start, syetan sudah menang seribu langkah.
Kata ar-rojiem itu isim fa’il (menunjukkan pelaku) dari “rojama”, yang arti asalnya “melempari dengan batu”. Jadi bukan “yang dilempari batu” lalu disebut “terkutuk”. Karena yang harus diwaspadai dan berbahaya itu yang melempar batu, bukan yang dilempar. Apalagi dikutuk, tak berdaya. Kemudian dari kata “melempari dengan batu” itu wawasan kita mesti berkembang kepada pengertian mencelakai, membantai, membinasakan dan seterusnya. Yang berbuat demikianlah yang harus sangat diwaspadai.
Syetan itu akan selalu eksis di muka bumi sampai Hari Kiamat. Maka dikatakan orang bahwa syetan itu makhluk yang tak pernah mati, sedangkan mereka tetap dan terus beranak dan berkembang biak. Maka pastilah bumi ini telah sangat penuh dengan syetan.
Penuturan di atas haruslah dipandang sebagai penuturan simbolis atau kiasan, karena syetan itu dari kalangan jin dan kalangan manusia, lalu mana ada manusia yang tak pernah mati. Tapi bisa kita cermati bahwa dari seseorang manusia, bisa terlahir sesuatu yang dapat hidup terus dan berkembang biak, walaupun orang yang bersangkutan telah mati. Itulah dia, pemikiran, konsep, gagasan (ide), dan budaya sebagai wujudnya.
Carl Marks, Adam Smith, Aristoteles, Sidharta Gautama, Imam Syafii, Muhammad Rosulullah dan lain-lain lagi, dan ummat-ummat di masa lalu, mereka semua telah lama tiada, tapi pemikiran, ide dan gagasan-gagasan mereka masih hidup dalam pikiran-pikiran manusia dan banyak dianut orang sampai sekarang serta kultur dan budaya yang mereka wariskan, itupun berlanjut dan berkembang terus.
Jika seseorang atau sekelompok orang melahirkan pemikiran dan gagasan yang menyalahi kebenaran atau keliru, apalagi jahat dan buruk, kemudian diantara mereka pula ada yang memunculkan tradisi atau budaya yang mungkar, melanggar kesucian, ketinggian dan kebesaran konsep Kalimah Thoyyibah, Kalimatullahi Hiyal Ulya, itulah “sunnatan sayyi`ah” (rintisan yang buruk). Akan terus eksis dan berkembang, bercabang beranting dalam kehidupan manusia, seperti kanker ganas membuat eror dan rusaknya (fasad) pada peradaban manusia.
Yang demikian itulah makna yang terkandung dalam termina “Syetan”. Yaitu produk jiwa manusia berupa pemikiran, gagasan dan perilaku (budaya) yang menyalahi dan menjauh dari kebenaran, yang merupakan efek dari sifat bawaan mereka: “Dholuuman-jahuula”. Sesuai dengan makna harfiyah (etimologis), dimana kata “Syaithan” itu berasal dari kata dasar “Syathona” yang artinya menyalahi, menjauh dari kebenaran.
Biang keladi pemunculan produk sayyi`ah (syetan) ini, tiada lain dialah Iblis dari kalangan jin, pada awal penetapan manusia (Adam) sebagai Kholifah di bumi. Produk syaithani yang ia luncurkan itu adalah:
Pertama, ia menampilkan sikap durhaka, yakni membangkang, menyalahi perintah Allah.
وَإِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلَـٰٓٮِٕكَةِ ٱسۡجُدُواْ لِأَدَمَ فَسَجَدُوٓاْ إِلَّآ إِبۡلِيسَ كَانَ مِنَ ٱلۡجِنِّ فَفَسَقَ عَنۡ أَمۡرِ رَبِّهِۦۤۗ
“Dan ingatlah ketika kami katakan kepada para Malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam!” Maka merekapun bersujud. Kecuali Iblis. Ia dari kalangan jin, lalu menyimpang dari perintah Robb-nya”. (Al Kahfi : 50)
Kedua, Iblis menampilkan kesombongan, membanggakan asal usul, dan merendahkan Adam karena asal usulnya.
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسۡجُدَ إِذۡ أَمَرۡتُكَۖ قَالَ أَنَا۟ خَيۡرٌ۬ مِّنۡهُ خَلَقۡتَنِى مِن نَّارٍ۬ وَخَلَقۡتَهُ ۥ مِن طِينٍ۬
“Allah berkata: “Apa yang mencegahmu untuk bersujud ketika Aku perintah! Iblis menjawab: “Aku lebih baik dari dia, aku Engkau ciptakan dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah” (Al A’rof : 12)
Ketiga, Iblis menyimpan dendam dan kebencian karena merasa terlangkahi dalam menempati posisi terhormat, malah ia terkena laknat, lalu melampiaskan dendamnya itu dengan permusuhan dan berusaha keras mencelakakan Adam dan seluruh keturunanya.
قَالَ فَبِمَآ أَغۡوَيۡتَنِى لَأَقۡعُدَنَّ لَهُمۡ صِرَٲطَكَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ (١٦) ثُمَّ لَأَتِيَنَّهُم مِّنۢ بَيۡنِ أَيۡدِيہِمۡ وَمِنۡ خَلۡفِهِمۡ وَعَنۡ أَيۡمَـٰنِہِمۡ وَعَن شَمَآٮِٕلِهِمۡۖ وَلَا تَجِدُ أَكۡثَرَهُمۡ شَـٰكِرِينَ
“Iblis berkata: Lalu karena Engkau telah pastikan aku sesat, sungguh aku akan merintangi mereka akan jalan-Mu yang lurus, kemudian akan aku serbu mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan kiri mereka. Dan tidak akan Engkau dapati kebanyakan mereka sebagai orang yang bersyukur”. (Al A’rof : 16-17)
Kalimat akhir pada ayat di atas mengisyaratkan bahwa sedikit sekali manusia yang akan bermuara (di Hari Akhir) pada kehidupan bahagia yang membuat mereka bersyukur. Kebanyakan mereka akan merintih pilu.
Keempat, Iblis tampil sok pintar dan sok tahu, menerangkan latar belakang dari sebuah larangan Allah yang bukan haknya. Terlepas dari kemungkinan salah atau benar keterangannya itu, siapapun tidak berhak untuk mencari tahu (apalagi menerangkan) latar belakang (penyebab) dari apapun yang Allah lakukan. Karena Allah itu penyebab awal dari segala yang terjadi. Apalagi jika ternyata keterangan itu salah atau bohong.
وَقَالَ مَا نَہَٮٰكُمَا رَبُّكُمَا عَنۡ هَـٰذِهِ ٱلشَّجَرَةِ إِلَّآ أَن تَكُونَا مَلَكَيۡنِ أَوۡ تَكُونَا مِنَ ٱلۡخَـٰلِدِينَ
“Dan Iblis berkata: “Tidaklah Robb kalian melarang kalian dari pohon ini, kecuali agar kalian tidak menjadi Malaikat atau kalian berdua tidak menjadi kekal (di Surga)”. (Al A`rof : 20)
Dengan keterangan yang sok tahu dan bukan haknya itu, Iblis menumbuhkan pada diri Adam, kekhawatiran akan terlepas dari posisi yang sedang dinikmatinya (Surga), dan tidak bisa meraih posisi yang dianggapnya lebih tinggi lagi (Malaikat).
Kelima, Iblis menipu Adam dan berusaha membuatnya tergiur oleh fiksi (kepalsuan) yang dikarangnya.
فَوَسۡوَسَ إِلَيۡهِ ٱلشَّيۡطَـٰنُ قَالَ يَـٰٓـَٔادَمُ هَلۡ أَدُلُّكَ عَلَىٰ شَجَرَةِ ٱلۡخُلۡدِ وَمُلۡكٍ۬ لَّا يَبۡلَىٰ
“Lalu syetan membisikkan kepadanya dengan berkata: “Hai Adam maukah aku tunjukkan kamu pada sebuah “pohon abadi” dan kekuasaan yang tak tergoyahkan ?” (Thoha : 120)
Itulah tipuan Iblis, mana ada “Pohon Abadi”? Dan kekuasaan siapa yang ditawarkan? Dan demikianlah kelima varietas benih syaithani yang dimunculkan Iblis, kemudian hidup dan berkembang biak terus menerus menjadi ribuan bahkan jutaan varietas dalam diri dan kehidupan manusia, sepanjang zaman sampai Hari Kiamat.
Benih-benih syaithani inilah yang sejak dini Allah peringatkan manusia untuk selalu mewaspadainya. Karena sifat bawaan manusia berupa kedholiman dan kebodohan (dholuuman-jahuula) adalah “unsur hara” yang sangat menumbuh suburkan benih-benih tersebut.
Jadi istilah “syaithan” itu sama sekali bukan teracu kepada satu sosok makhluk halus yang gentayangan menggoda manusia secara rahasia dan sewaktu-waktu suka menampakkan diri. Tapi justru dalam pikiran kebanyakan orang, syetan itu adalah sosok makhluk halus seperti demikian itu. Yang sebenarnya hanya hasil khayalan sebagian orang yang iseng, atau memang ia mencari keuntungan dengan cara demikian itu.
Akibatnya, sosok khayalan yang fiktif (sebenarnya tidak ada) itulah yang banyak diwaspadai orang sebagai mewaspadai syetan. Sementara tanpa mereka sadari, justru mereka berpelukan mesra dan bersahabat dengan syetan yang sebenarnya.
Di pihak lain, jika seseorang atau sekelompok orang melahirkan pemikiran dan ide yang baik dan benar, kemudian mereka memunculkan budaya atau tradisi ma’ruf dan maju (“Sunnatan Hasanah”), itulah yang dicari. Yang punya kontribusi positif dalam mewujudnya Konsep Robbani, yakni Kalimah Thoyyibah, Kalimatullahi Hiyal Ulya. membangun peradaban manusia. Mewujudkan peran kekholifahan manusia di muka bumi.
Telah banyak manusia-manusia sholeh tampil dan berkiprah di bumi dari generasi ke generasi. Gagasan dan pemikiran mereka telah melahirkan dan mewariskan budaya dan peradaban yang menjadi landasan bagi pengembangan seterusnya oleh generasi penerusnya, sampai ketinggian peradaban yang belum bisa terukur sampai dimana puncaknya nanti. Mereka telah meninggalkan nama yang harum terpuji, tetap dikenang generasi sesudahnya, bahkan tak jarang pula yang selalu menyebut-nyebut namanya.
Sebagian mereka terabadikan namanya dalam Al Quran, yaitu para Nabi dan Rosul serta orang-orang sholeh lainnya. Sebagian lagi terabadikan dalam catatan sejarah yang dibuat orang-orang sesudahnya, atau ada pula yang hanya terabadikan dalam hati segolongan orang yang mengenal dan menghormatinya. Bahkan ada pula yang telah dilupakan atau tak sempat dikenal orang sama sekali. Namun Allah tak pernah melupakan atau mengabaikan mereka. Mereka akan mendapatkan pahala yang terhormat dan mulia dari sisi-Nya.
Tetapi mesti selalu diingat dan tidak boleh pernah lengah, bahwa Allah-lah satu-satunya Yang Maha Suci, maha Tinggi (Subhanahu Wa Ta’ala). Tidak ada satupun yang menyetarainya. Seberapapun hebatnya manusia, ia itu tetap makhluk Allah yang fana. Maka apa saja yang terlahir dan dihasilkan manusia sebagai produk dari ide dan pemikiran mereka, itupun hal yang fana juga, pada saatnya akan usang dan rusak. Ini bukanlah hal yang buruk atau tercela, melainkan sudah merupakan kaidah yang pasti (Qadar/Sunntullah), yang tidak bisa dipungkiri apalagi dilawan.
Ketika keusangan itu terjadi, mereka tidak tersalahkan sedikitpun, dan nilai prestasi mereka, tidak terkurangi sedikitpun karenanya. Di lain pihak, orang-orang yang hidup sesudah mereka, dan kita yang sedang eksis hari ini, tidak berhak untuk mengecilkan atau merendahkan mereka hanya karena karya mereka telah dianggap kadaluarsa, tak tergunakan lagi. Karena bagaimanapun, apa yang kita nikmati dan bisa lakukan hari ini adalah bermodalkan dan berlandasan hasil karya yang mereka wariskan.
Kalaupun suatu saat sesorang atau sekelompok orang menemukan dan menggunakan pemikiran dan konsep baru yang “kiwari” (sesuai tuntutan kondisi kini dan di sini”, kemudian mereka tidak lagi menggunakan apa yang diwariskan pendahulunya, sama sekali tidak bisa dipandang sebagai pelecehan apalagi pengingkaran atas prestasi dan kesholehan pendahulunya itu.
تِلۡكَ أُمَّةٌ۬ قَدۡ خَلَتۡۖ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَلَكُم مَّا كَسَبۡتُمۡۖ وَلَا تُسۡـَٔلُونَ عَمَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
“Itu adalah ummat yang telah berlalu, bagi mereka apa-apa yang mereka ushakan dan bagi kamu apa-apa yang kamu usahakan. Dan kamu tidak akan ditanya tentang apa yang mereka kerjakan”. (Al Baqoroh : 134 & 141)
Mereka telah membuktikan prestasinya berupa ide, gagasan pemikiran, konsep serta budaya dan peradaban yang mereka bangun. Kita yang hidup sekarang inipun dituntut pula untuk berprestasi seperti mereka atau lebih baik lagi. Mengembangkan ide, gagasan, pemikiran konsep dan membangun peradaban ini selanjutnya. Tentunya pada jalan yang sama dan tetap lurus, yakni semuanya berupa respon terhadap ayat-ayat Allah yakni segala fenomena yang Allah datangkan kepada kita, kemudian dijabarkan dan digelar dalam jalur dan rambu-rambu Amanah dan Risalahnya, untuk (agar layak) dipersembahkan kepada Allah.
لِكُلٍّ۬ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةً۬ وَمِنۡهَاجً۬اۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَڪُمۡ أُمَّةً۬ وَٲحِدَةً۬ وَلَـٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِى مَآ ءَاتَٮٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٲتِۚ
“Untuk tiap-tiap ummat diantara kamu kami jadikan syari’at dan manhaj (peraturan dan strtegi/metode) masing-masing. Kalau Allah menghendaki, pasti Ia jadikan saja kamu ummat yang satu. Tetapi justru untuk menguji kamu dalam hal apa yang Dia datangkan kepadamu. Maka berlombalah meraih kemajuan...”. (Al Maidah : 48)
Namun begitulah manusia, mereka sering lengah, lupa, malas berpikir, dan lagi-lagi membuat kesalahan. Apa yang ditampilkan ummat masa lalu, yakni Rosul dan pengikut-pengikutnya, pemikiran dan ide mereka dalam merespon fenomena yang Allah hadirkan dan sodorkan, serta perilaku budaya yang terrefleksikan dari itu, mereka setarakan dengan Konsep Kalimatullah, sebagai konsep yang sempurna dan abadi.
Bahkan lebih dari itu, justru produk dan prestasi mereka itulah yang dipandang dan diperlakukan sebagai Kalimatullah. Sedangkan Konsep Kalimatullah yang sebenarnya, yang Allah sediakan dan tergelar nyata dihadapan mereka silih berganti sepanjang masa, yang harus selalu mereka baca dan tafakuri (seperti yang dilakukan para Nabi dan Rosul bersama orang-orang Mukmin yang mengikutinya), justru mereka abaikan.
وَقَالَ ٱلرَّسُولُ يَـٰرَبِّ إِنَّ قَوۡمِى ٱتَّخَذُواْ هَـٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ مَهۡجُورً۬ا
“Rosul berkata : “Ya Tuhanku, sungguh kaumku telah menjadikan Al Quran ini terabaikan”. (Al Furqon : 30)
Setelah pensikapan seperti itu berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi, semakin berurat berakar. Ketika diingatkan, berbagai dalihpun terluncur: “Yang Rosul tampilkan dan lakukan itu bukan pemikiran dan budaya, itu wahyu yang diwahyukan Allah. Muhammad itu “Quran berjalan”, jadi kalau mau ber-Quran, lihat saja Rosulullah Muhammad karena hanya dengan melihat Rosulullah itulah kita bisa ber-Quran dengan benar”. Dan seterusnya...
Biasanya sikap atau tindakan yang salah itu tidak dilakukan berdasarkan hujjah tertentu. Hanya ikut-ikutan, karena dan malas berpikir lengah, lalu mengiyakan saja apa yang dilakukan dan dikatakan orang. Ketika suatu saat datang kritik atau koreksi, sementara sikap dan pandangan tadi sudah begitu kuat mentradisi, baru berusaha keras mencari hujjahnya. Tapi ingat, ketika suatu kesalahan dirasakan berhasil didapatkan hujjah (argumentasinya), pasti telah dibuat kesalahan yang lain lagi, karena kesalahan itu tidak akan nyambung kecuali dengan kesalahan pula.
Jika Rosul seperti yang mereka katakan, berarti Rosul itu tidak punya pemikiran, ide, gagasan, kreativitas dan budaya? Rosul itu “makhluk spesial” yang diciptakan khusus, menyimpang dari Sunnatulah (mutan?) Sungguh naif anggapan seperti itu, orang Mukmin yang sebenarnya akan tampil terdepan membela keharuman nama Muhammad Rosulullah dan ketinggian derajatnya.
Rosulullah adalah seorang yang cerdas dan berhati bersih. Sangat peduli akan berbagai hal yang ada dan terjadi di seputar kehidupannya. Seorang yang kreatif dan penuh tanggung jawab, berakhlak terpuji, jujur dan tak pernah bohong. Tetapi ia tetap seorang anak manusia. Seorang manusia biasa yang terlahir dari perempuan biasa, istri dari lelaki biasa.
Dan Allah pun tidak memperlakukannya secara luar biasa, dibedakan dengan manusia lainnya. Yang dia terima dari Allah tidak lebih dari Al Quran 30 juz, persis seperti yang kita dapati sekarang, tidak kurang atau lebih. Hanya berbeda dalam cara dan waktu mendapatkannya. Beliau mendapatkan materi (fisik) Al Quran (berupa bacaan), melalui kecanggihan “Teknologi Robbani” yang Allah miliki dan disebut Malaikat, dan pihak Allah sendiri yang aktif mentransfernya ke dalam hati Rosulullah secara berangsur-ansur dalam waktu berpuluh tahun, sementara beliau sendiri pihak yang pasif menerima. Sedangkan kita mendapatkannya secara “manual” dari hasil pendokumentasian dan penggandaan yang dilakukan orang-orang sebelum kita, dan sudah lengkap 30 juz, dan untuk bisa membacanya kita harus aktif belajar.
Hanya berbeda dalam cara dan waktu. Suatu perbedaan yang tidak menjadi variabel yang signifikan untuk perbedaan prestasi yang bisa dicapai. Dengan demikian, selebihnya dari membacakan Ayat-ayat Al Quran, semua yang beliau ajarkan dan “terluncur” dari dirinya, itu adalah prestasi, kehebatan dan keunggulan beliau sendiri sebagai manusia biasa di atas manusia lainnya.
Kalaupun Allah memilih Rosulullah Muhammad yang menjadi terminal awal bagi penyebaran Al Quran di bumi. Itu bukan pemilihan atas dasar subjektif, like and dislike atau pilih kasih, (Maha Suci Allah dari cara yang tak terpuji itu). Melainkan secara objektif Muhammadlah yang jiwanya tumbuh cemerlang. Dengan akal yang cerdas menakjubkan dan hati yang bening mempesona. Jiwa sekualitas itulah yang capable dan compatible untuk menjadi inti dari “stasiun bumi” dalam proses pembumian Al Quran.
Kedengarannya seperti sanjungan ketika orang mengatakan: “Rosulullah itu Quran berjalan”. Semua yang diucapkannya itu “wahyu”, Beliau sekedar membahsakannya saja agar bisa tersampaikan kepada manusia. Sebenarnya itu sebuah pengingkaran atas sesuatu yang memukau dan menakjubkan yang tampil dari diri Rosulullah. Beliau bukan sekedar “pengeras suara” yang hanya menyuarakan kembali suara orang yang berbicara di belakangnya, agar bisa sampai ke telinga orang banyak. Pesona apapun dari pembicaraan yang didengar orang banyak, pengeras suara itu tidak mendapat nilai apa-apa, kecuali berjasa sebagai alat untuk menghantarkan suara tersebut.
Atau bisa berarti adanya anggapan bahwa Rosulullah merupakan “personifikasi” dari “wujud Tuhan”, yang dengan kata lain, Allah “menjelma’ pada diri Rosul. Inilah yang dibantah sengit oleh Allah, bahwa Allah tidak pernah dan tidak akan pernah “beranak” atau “diperanakkan”.
Ke arah lain, anggapan di atas berarti amat sangat mengecilkan Al Quran yang merupakan “super konsentrat” ( “Qaulan Tsaqiela” ) dari sesuatu yang Maha Dahsyat...! Allahu Akbar...! Jangankan satu diri manusia, beberapa generasi manusia pun belum akan cukup untuk mampu memahami kemudian merefleksikan kedahsyatan kandungannya.
Al Quran hanya akan (mungkin) bisa “terbaca” keseluruhan muatannya (bukan sekedar fisik bacaannya) lalu terwujudkan, oleh manusia sepanjang zaman, sambung menyambung dari generasi ke genarasi. Biarlah satu generasi hanya bisa beringsut sejengkal, asalkan itu pada garis lurusnya para pengemban Risalah. Sehinga estafeta Amanah Risalah ini, tanpa melenceng sedikitpun, terus terhantarkan sampai ke ujungnya di Hari Kiamat. Sambil “titip” kepada setiap generasi untuk selalu membacanya agar fisik Al Quran tetap eksis lestari. Untuk sekedar bacaanpun, Allah menjanjikan pahala, sebagai “bonus” bagi para pengemban amanah yang dikandungnya.
وَلَوۡ أَنَّ قُرۡءَانً۬ا سُيِّرَتۡ بِهِ ٱلۡجِبَالُ أَوۡ قُطِّعَتۡ بِهِ ٱلۡأَرۡضُ أَوۡ كُلِّمَ بِهِ ٱلۡمَوۡتَىٰۗ
“Dan jika seandainya ada suatu bacaan yang dengannya gunung-gunung bisa diguncangkan, bumi bisa terbelah dan orang yang mati dibuat bisa bicara...(itulah Al Quran)...”. (Ar Ro’du : 31)
لَوۡ أَنزَلۡنَا هَـٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ عَلَىٰ جَبَلٍ۬ لَّرَأَيۡتَهُ ۥ خَـٰشِعً۬ا مُّتَصَدِّعً۬ا مِّنۡ خَشۡيَةِ ٱللَّهِۚ
“Kalau saja Al Quran ini Kami turunkan pada sebuah gunung sunguh akan kamu lihat gunung itu tunduk ambruk terpecah belah karena takut kepada Allah...” (Al Hasyr : 21)
Melencengnya pandangan manusia seperti di atas, mungkin disebabkan kenyataan yang mereka hadapi, betapa tidak mudahnya memahami Al Quran, banyak dihadapkan pada sandungan, dilematis dan kontradiksi di “dunia nyata”. Disusul dengan kebingungan mereka akan ikhtilaf yang semakin merebak dikalangan elit pengusung Al Quran.
Padahal berulang kali Allah tegaskan bahwa Al Quran itu mudah, jelas dan terperinci. Yang membuatnya sukar itu justru tangan-tangan manusia yang mengotorinya, dengan membelokkan terjemahnya dan sok berhak menafsirkannya. Padahal mereka juga tahu bahwa yang berwenang menjelaskan (apalagi menafsirkan) suatu produk hukum, tiada lain, pihak yang membuat dan mengeluarkan produk hukum itu sendiri.
Berulang kali Allah tegaskan bahwa yang bisa mengambil pelajaran hanya “Ulul Albaab”. Mengapa tidak dilakukan cara Ulul Albab itu? Yang tentang ini pun Allah telah tunjukkan dengan jelas dan terperinci. Karena sesungguhnya Al Quran itu petunjuk yang jelas dan tuntas.
وَلَقَدۡ يَسَّرۡنَا ٱلۡقُرۡءَانَ لِلذِّكۡرِ فَهَلۡ مِن مُّدَّكِرٍ۬
“Dan sungguh benar-benar Kami telah mudahkan Al Quran untuk pelajaran. Lalu adakah yang mengambil pelajaran ?” (Al Qomar : 17, 22, 32, 40).
أَفَغَيۡرَ ٱللَّهِ أَبۡتَغِى حَكَمً۬ا وَهُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ إِلَيۡڪُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ مُفَصَّلاً۬ۚ
“Lalu pantaskah aku mencari pengambil keputusan selain Allah, sedangkan Dia telah menurunkan kepada kamu Al Kitab dengan terperinci ?” (Al An’am : 114)
سُورَةٌ أَنزَلۡنَـٰهَا وَفَرَضۡنَـٰهَا وَأَنزَلۡنَا فِيہَآ ءَايَـٰتِۭ بَيِّنَـٰتٍ۬ لَّعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ
“Suatu surat yang Kami telah menurunkannya dan mewajibkannya, dan telah Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (An Nuur : 1)
وَمَا يَذَّڪَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَـٰبِ
“Dan tidak ada yang bisa mengambil pelajaran, kecuali Ulul Albaab”. (Al Baqoroh : 269)
Demikianlah, dari telusur Kalamullah disenyawakan dengan fakta-fakta kauniyah dengan menggunakan logika yang sehat dan hati yang bersih, bisa teridentifikasi bahwa syetan itu, suatu anasir yang menganggu dan merusak usaha manusia untuk mencapai kualifikasi Nafsul Muthmainnah, Qolbun Salim (Jiwa yang stabil, hati yang mulus). Dan itu tiada lain adalah apa yang dilahirkan oleh jiwa manusia itu sendiri, berupa pemikiran (konsep) ide (gagasan) dan budaya (perilaku) yang menyalahi kesucian dan kebenaran konsep Kalimatullah.
Kalimatullah itu sendiri tidak akan pernah ternodai atau gagal terwujud. Yang akan gagal adalah manusia itu sendiri. Yaitu setelah ia terlibat dalam putaran roda Sunnatullah sepanjang umurnya, dan keluar sebagai outputnya di Hari Akhir, ia gagal tampil sebagai Nafsul Muthmainnah, dan tidak layak menjadi “koleksi” Allah Yang Maha Suci dan Maha Agung di dalam Surga-Nya. Itulah target Iblis.
Syetan-syetan (Syayathin) itu bekerja pada totalitas jiwa dan kehidupan manusia, melalui seluruh lini dan sektor kehidupan mereka. Kerja syayathin mengakibatkan terciptanya illusi antagonis, dimana kesan atau citra yang terbentuk pada jiwa mereka tentang berbagai hal dalam kehidupan, berlawanan dengan nilai-nilai yang sebenarnya. sehingga sedikit sekali mereka yang bisa selamat dan bersyukur.
قَالَ فَبِمَآ أَغۡوَيۡتَنِى لَأَقۡعُدَنَّ لَهُمۡ صِرَٲطَكَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ (١٦) ثُمَّ لَأَتِيَنَّهُم مِّنۢ بَيۡنِ أَيۡدِيہِمۡ وَمِنۡ خَلۡفِهِمۡ وَعَنۡ أَيۡمَـٰنِہِمۡ وَعَن شَمَآٮِٕلِهِمۡۖ وَلَا تَجِدُ أَكۡثَرَهُمۡ شَـٰكِرِينَ
“Iblis berkata: Lalu karena Engkau telah pastikan aku sesat, sungguh aku akan merintangi mereka akan jalan-Mu yang lurus, kemudian akan aku serbu mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan kiri mereka. Dan tidak akan Engkau dapati kebanyakan mereka sebagai orang yang bersyukur”. (Al A’rof : 16-17)
قَالَ رَبِّ بِمَآ أَغۡوَيۡتَنِى لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمۡ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَلَأُغۡوِيَنَّہُمۡ أَجۡمَعِينَ (٣٩) إِلَّا عِبَادَكَ مِنۡہُمُ ٱلۡمُخۡلَصِينَ
“Iblis berkata : Karena Engkau telah pastikan aku sesat, pasti akan aku hiaskan pada (kehidupan) mereka di bumi, dan pasti aku sesatkan mereka seluruhnya. Kecuali hamba-hambamu yang “Mukhlashien” (dibersihkan)”. (Al Hijr : 39-40)
Kalau saja serangan syetan itu sesuatu yang dapat diindera manusia seperti halnya perang, bisa dilihat dan dirasakan, betapa gencar dan gemuruhnya serangan itu tanpa henti sesaatpun dari semua arah, bagai virus endemis yang menyerang seluruh bagian tubuh manusia. Hanya saja yang diserang syetan itu bukan jasad fisik melainkan jiwa, dan penyakit yang ditimbulkannya itu, bukan semacam rasa sakit atau ketidaknyamanan lainnya, melainkan berupa ketersesatan jalan. maka kebanyakan mereka tidak merasakan dan menyadarinya.
Sebab perjalanan dimaksud adalah kehidupan itu sendiri yang akan berakhir dengan kematian, sedangkan sampai atau tidaknya ke tujuan yang diinginkan, baru akan diketahui pada Hari Kiamat.
Lini pertama dari basis jiwa manusia yang diserang adalah lini perasaan dan kehendak (rasa & karsa) dimana terdapat emosi dan hawa nafsu. Ketika lini ini telah berhasil terprovokasi, emosi dan hasratnya (hawahu) pun mendominasi jiwanya tak terkendali. Kalau sudah begitu, giliran akal yang terserang. Kinerja akal menjadi rancu karena tekanan emosi dan hawahu, sehingga pengambilan keputusannya kurang terkontrol dan akan merugikan dirinya di Hari Akhir.
Akhirnya syayatin masuk ke “jantung pertahan jiwa” manusia, yaitu hati (hati nurani). Hati menjadi kotor dipenuhi dengan gerutu dan keluh kesah, kebencian, iri dengki, curiga, kesombongan dan berbagai penyakit hati lainnya. Hati menjadi penyakitan dan keras membatu. Hati yang demikian sudah sangat tidak compatible lagi dengan Konsep Kalimatullah. Kusam dan kotor, sulit ditembus Cahaya Hidayah.