Salah satu bentuk tipuan syetan dalam menyesatkan manusia adalah dengan “menghiasi” amalan atau perbuatan mereka, melalui peluang (j...
Salah satu bentuk tipuan syetan dalam menyesatkan manusia adalah dengan “menghiasi” amalan atau perbuatan mereka, melalui peluang (jalur) bahwa pada dasarnya setiap orang menginginkan hal-hal yang menyenangkan dirinya dan akan berusaha mencegah dan menghindari yang sebaliknya.
Maka dalam hubungan ini setiap orang menginginkan agar semua orang bersikap baik dan menyenangkan, atau paling tidak, tidak menampilkan sikap atau perbuatan yang tidak menyenangkan. Di sisi lain manusia sering lengah dan terjebak pada kesenangan sesaat, lupa akan kepentingannya di hari esok, masa depan, apalagi Hari Akhir yang gaib.
Dalam kelengahan manusia, pada celah ini syetan menyusup dan manusia terjebak pada pilihan sikap dan perilaku yang hanya diukur dengan kesenangan yang bisa ia rasakan saat ini. Demikian pula perbuatan yang mereka hindari atau rahasiakan, hanya diukur yang sekiranya menimbulkan respon atau reaksi orang banyak yang tidak menyenangkan, tanpa memikirkan akibat yang mungkin ia hadapi dihari esok dan Hari Akhir
Pada sisi budaya tata krama, etika dan basa-basi yang diperlukan untuk menciptakan suasana yang menyenangkan dalam pergaulan sosial, manusia sering terjebak pada formalisme status dan kepalsuan basa-basi. Asal orang banyak disekelilingnya senang atau memandang baik, cukup puaslah dia. Adapun hakikat dan akibatnya di kemudian hari, itu urusan nanti.
Seperti demikian pula halnya pandangan dan sikap kebanyakan manusia tentang apa yang mereka sebut Iman, Islam, Taqwa, Ibadah dan Amal Sholeh. Mereka sudah merasa cukup dengan adanya pengakuan dan pandangan orang banyak akan “status” dirinya sebagai Mukmin, Muslim, “ahli ibadah” dan sebagainya. Dan untuk mendapatkan itu, cukup dengan tampil sama atau serupa dengan orang-orang yang dianggap penyandang status tersebut, dan ikut terlibat dalam wacana tentang itu di masyarakat lingkungannya. Sungguh naif.
Tentunya mereka tidak merasa demikian, mereka cukup menjiwai dengan penuh keyakinan dan kesungguhan hati untuk mendapatkan pahala dan Ridho Allah dengan semua itu.
Tapi benarkah demikian? Bukan “Ridho” dirinya sendiri yang dia cari yakni kesenangan dan kepuasan? Karena begitu banyak dan sering terbukti, ketika dibacakan ayat dan bukti-bukti yang nyata, bahwa semua yang mereka lakukan itu jauh dari hakikat kebenaran yang Allah bisa terima dan ridhoi, ternyata mereka menolak, berpaling, dan tetap bertahan pada status quo-nya itu. Karena segera terbayang dalam benaknya akan hal-hal yang bakal tidak menyenangkan, atau mengusik kesenangan yang sedang mereka nikmati.
Sedikitpun mereka tidak peduli dan tidak tergerak hati untuk mencari bukti bahwa tidak lagi tersisa barang nol koma sekian persen dari semua itu, yang secara legal dan original berasal dari Allah. Ibarat orang punya masalah dengan kesehatannya, tapi tidak mau saja periksa dokter karena takut mendengar vonisnya, bahwa ia menderita penyakit itu dan ini. Maka penyakitnyapun semakin parah.
فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ۬ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضً۬اۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمُۢ بِمَا كَانُواْ يَكۡذِبُونَ
Di hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu. (Al Baqoroh : 10)
Fenomena yang jelas tampak dan dirasakan dalam kenyataan itu, cocok benar dengan peringatkan dari Allah dalam Al Quran, antara lain:
أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَـٰهَهُ ۥ هَوَٮٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٍ۬ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَـٰوَةً۬ فَمَن يَہۡدِيهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Tidakkah kamu melihat orang yang memposisikan sebagai “Ilah”-nya (Yang diharap Ridhonya) itu, keinginan (kepuasan) dirinya sendiri? Dan Allah menyesatkannya atas dasar ilmu, dan mengunci mati pendengaran dan hatinya serta menjadikan pada pandangannya suatu penutup. Lalu siapa yang bisa memberinya petunjuk selain Allah? Apakah kalian tidak mengambil pelajaran? (Al Jatsiyah : 23)
أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَـٰهَهُ ۥ هَوَٮٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٍ۬ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَـٰوَةً۬ فَمَن يَہۡدِيهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Tidaklah kami mengutus di suatu negri seorang pemberi peringatan, melainkan orang-orang yang telah mapan di negri itu berkata : “Sesungguhnya kami ingkari apa yang untuk itu kamu diutus” (Saba : 34)
وَقَالُوٓاْ إِن نَّتَّبِعِ ٱلۡهُدَىٰ مَعَكَ نُتَخَطَّفۡ مِنۡ أَرۡضِنَآۚ
Dan mereka berkata: ”Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, pasti kami terkucil dari lingkungan kami” (Al Qoshos : 57)
Kendatipun demikian, bagi orang-orang yang benar-benar memperhitungkan keselamatan di Hari Akhir sebagai hal yang paling utama dan mutlak harus tercapai, mereka akan sungguh-sungguh mencari kepastian dari keterangan dan petunjuk dari Allah yang mutlak kebenarannya, dan siap mempertaruhkan apa saja untuk mendapatkan dan mengikutinya.
Hal tersebut karena mengingat pula beberapa peringatan dari yang sebaiknya kita kutip kembali sebagai berikut:
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَبِٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ وَمَا هُم بِمُؤۡمِنِينَ
Dan sebagian manusia ada yang mengatakan (mengakui, beranggapan): “Kami telah beriman kepada Allah dan kepada Hari Akhir”. Padahal (sebenarnya) mereka bukanlah orang-orang yang beriman. (Al Baqoroh : 8)
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ (٢) وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَـٰذِبِينَ
Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja untuk mengatakan “kami telah beriman” tanpa mereka diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka pastilah terbukti orang-orang yang benar, dan terbukti pula orang-orang yang dusta. (Al Ankabut : 2-3 )
قَالَتِ ٱلۡأَعۡرَابُ ءَامَنَّاۖ قُل لَّمۡ تُؤۡمِنُواْ وَلَـٰكِن قُولُوٓاْ أَسۡلَمۡنَا وَلَمَّا يَدۡخُلِ ٱلۡإِيمَـٰنُ فِى قُلُوبِكُمۡۖ
Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman” Katakanlah: “Kamu belum beriman, katakan saja kami telah tunduk (menyerah), karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu”... (Al Hujurot : 14)
Pada serial nomor 05 tentang “Mencari Akses Hidayah” telah dikemukakan bahwa untuk mendapat dan mengikuti petunjuk Allah, diperlukan dua hal, yaitu: Adanya pemberi peringatan (nadzier) yang membacakan ayat-ayat Allah, dan adanya jiwa besar dan lapang dada pada mereka yang menginginkan hidayah tersebut.
Maka Serial Dakwah Ilallah ini dimaksudkan untuk mengingatkan dan menyampaikan Ayat-ayat Allah secara bersih tanpa campur tangan dan rekayasa siapapun. Tinggal dari lain pihak, diperlukan jiwa besar dan lapang dada para pembacanya, untuk tidak tersinggung dulu, kemudian emosi dan marah.
Penelusuran petunjuk Allah tentang hakikat Iman ini merupakan kelanjutan dari pembahasan pada serial nomor 06 yang lalu, tentang Benih Iman dan Pertumbuhannya, maka sebaiknya nomor tersebut dibaca kembali, atau secara ringkas, rangkumannya sebagai berikut.
Pada serial yang lalu telah dijelaskan bahwa Iman itu merupakan sesuatu yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam hati orang-orang yang beriman. Karena itu, Iman bermula dari benih yang telah Allah “pasang” pada jiwa setiap manusia, kemudian mendapat stimulus Ilmu, yakni pengetahuan dan pengenalan yang benar (Al Haq) tentang Allah, yang meliputi: Asma-Nya, Maqom (kedudukan)-Nya, Amr (urusan)-Nya dan Af’al (cara kerja /sistem operasional)-Nya.
Untuk jaminan kebenaran (Al Haq) dari Ilmu yang dimaksud, maka Ilmu itupun harus merupakan hasil perpaduan (persenyawaan) dari dua unsur yang berpasangan, yakni hasil membaca fenomena alam dan kehidupan (Al Hikmah) sebagai jenis perempuan (muannats) dan hasil mambaca ayat-ayat Al Quran (Al Kitab-Adz Dzikr) sebagai jenis laki-laki (mudzakkar).
Untuk memadukan kedua unsur pasangan tersebut (dengan kata lain: “Untuk memahami fenomena melalui penjelasan Kalamullah)”, diperlukan peran seorang Munadi (Penyeru) yang membacakan ayat-ayat Allah. Yang bisa ia lakukan hanya sebatas usaha menyampaikan penjelasan Al Quran untuk mengetahui hakikat di balik fenomena yang ada dan terjadi.
Adapun yang membuatnya hidup di hati seseorang dan menjadikannya cahaya iman yang menerangi kehidupannya, hanya hak Allah dengan mewahyukan ”ruh” dari urusan-Nya (Ruuhan Min Amrina).
Keterangan tentang paparan di atas dapat terbaca dari Al Quran Surat Asy Syuro : 49 -52 sebagai berikut.
لِّلَّهِ مُلۡكُ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُۚ يَہَبُ لِمَن يَشَآءُ إِنَـٰثً۬ا وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ ٱلذُّكُورَ (٤٩) أَوۡ يُزَوِّجُهُمۡ ذُكۡرَانً۬ا وَإِنَـٰثً۬اۖ وَيَجۡعَلُ مَن يَشَآءُ عَقِيمًاۚ إِنَّهُ ۥ عَلِيمٌ۬ قَدِيرٌ۬ (٥٠) ۞ وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ ٱللَّهُ إِلَّا وَحۡيًا أَوۡ مِن وَرَآىِٕ حِجَابٍ أَوۡ يُرۡسِلَ رَسُولاً۬ فَيُوحِىَ بِإِذۡنِهِۦ مَا يَشَآءُۚ إِنَّهُ ۥ عَلِىٌّ حَڪِيمٌ۬ (٥١) وَكَذَٲلِكَ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ رُوحً۬ا مِّنۡ أَمۡرِنَاۚ مَا كُنتَ تَدۡرِى مَا ٱلۡكِتَـٰبُ وَلَا ٱلۡإِيمَـٰنُ وَلَـٰكِن جَعَلۡنَـٰهُ نُورً۬ا نَّہۡدِى بِهِۦ مَن نَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِنَاۚ وَإِنَّكَ لَتَہۡدِىٓ إِلَىٰ صِرَٲطٍ۬ مُّسۡتَقِيمٍ۬
- Hanya kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang dikendakinya. Dia memberi kepada siapa Dia menghendaki, suatu jenis perempuan, dan Dia memberi kepada siapa Dia menghendaki, yang jenis laki-laki.
- Atau Dia mengawinkan pada mereka jenis laki-laki dan jenis perempuan, dan Dia menjadikan siapa yang Dia kehendaki mandul. Sesungguhnya Dia itu maha mengetahui dan maha menetapkan ukuran (takaran).
- Tidak akan terjadi pada seorang manusiapun bahwa Allah berbicara kepadanya, kecuali secara wahyu, atau dari balik hijab, atau mengutus seorang Rosul, lalu ia mewahyukan dengan idzin-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Tnggi lagi Maha Bijaksana.
- Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu suatu Ruh dari urusan kami. Sebelumnya (tanpa Ruh itu) kamu tidak mengetahui apa Kitab itu, dan tidak pula mengetahui apa iman itu. Akan tetapi kami menjadikannya cahaya yang dengannya Kami memberi petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar menunjukkan ke Jalan Jalan Yang Lurus.
Benih iman yang Allah pasang pada penciptaan manusia, hanya akan tumbuh dan hidup setelah Allah memasukkan “Ruh dari urusan Allah” (“Ruuhan Min Amrina”). Dan Ruh tersebut hanya akan masuk manakala telah terjadi “konsepsi” dari “persenyawaan” kedua jenis perwujudan Ilmu Allah seperti terurai di atas. Yakni Ilmu yang terbaca dari fenomena kehidupan yang Allah ciptakan, dipadukan (dijelaskan) dengan Adz Dzikr (Pedoman) yang terbaca dari Al Kitab yang sudah tertuliskan agar disadari hakikat dari fenomena yang terbaca.
Jika tidak terjadi konsepsi (karena kemandulan atau terhalang suatu “kontrasepsi”) maka Ruh pun tidak akan masuk, maka Iman yang “hidup” itupun tidak akan muncul. Dan jika terjadi kesalahan konsepsi (miskonsepsi), kalaupun muncul sesuatu yang hidup, itu akan cacat dan menyalahi konsep “Pesanan Allah”.
Dari keempat ayat Asy Syuro yang dikutip di atas, yang pertama dan kedua menjelaskan tentang qadar (ketentuan) yang pasti dalam proses munculnya sesuatu yang hidup, yakni dengan kawinnya jenis laki-laki dan jenis perempuan. Dimungkinkan kedua jenis itu ada pada satu individu. Dan mungkin juga ada yang hanya salah satu jenis yang belum terkawinkan atau terbuahi, bahkan ada pula yang mandul, tidak bisa memunculkan sesuatu yang hidup.
Pada ayat ketiga Allah menerangkan cara yang bijak, layak, elegan dan canggih bagi Dzat Yang Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana, dalam mengomunikasi manusia untuk menyampaikan apapun. Hanya tiga cara tersebut di ayat itu yang Allah gunakan, dan tidak ada cara lain.
Adapun pada ayat keempat, dilihat dari mukhothob (sasaran bicara) yang tunggal, yaitu “anta” (“ka”) menunjukkan proses munculnya seorang “Munaadiyan Yunaadii lil Iimaan” (Penyeru manusia agar beriman), yang hanya dengan “Ruh Min Amrillah” yang diwahyukan itulah Iman menjadi hidup dan tumbuh, Al Quran menjadi cahaya penerang jalan kehidupan, Jalan Yang Lurus.
Namun demikian, bukan hanya Penyeru, dalam hal ini Rosul atau siapapun yang melanjutkan Risalah-Nya, yang proses tumbuhnya Iman seperti diatas. Semua manusia akan melalui proses yang sama, karena ini sudah merupakan ketentuan yang pasti (qodar) dan Sunnatullah yang tidak akan berubah.
Secara ringkas proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
- Pada setiap individu manusia, Allah telah menanamkan “benih Iman” berupa tabiat dasar manusia yang memandang bahwa pencipta atau pembuat sesuatu, dengan sendirinya merupakan Tuan (pemilik dan penguasa) dari apa yang dibuat atau diciptakannya.
- Benih tersebut “dibuahi” dengan Ilmu, yaitu pengenalan lebih lanjut tentang Allah, yang relevan untuk munculnya pandangan, sikap mental dan tindakan manusia yang benar sesuai dengan posisinya sebagai Hamba Allah. Yakni pengetahuan yang berkaitan dengan: Asma-Nya, Maqom (kedudukan)-Nya, Amr (urusan)-Nya, dan Fa’al (cara, proses dan mekanisme) yang dijalankannya.
- Ilmu-ilmu tersebut hanya bersumber dari Allah secara bersih dan murni, terbaca dari apa yang Dia ciptakan (apa yang ada dan terjadi), dipadukan dengan yang terbaca dari Al Quran Kalamullah, tanpa perubahan, penambahan atau rekayasa dalam bentuk apapun.
- Setelah tumbuh kesadaran, pandangan dan sikap mental yang benar, Allah memasukkan (mewahyukan) Ruh dari Urusan-Nya (Ruuhan Min Amrihi), maka tumbuhlah Iman itu, dan terpancar terang Cahaya Hidayah dalam jiwanya.
Proses tersebut diatas terjadi sama pada setiap individu manusia, seperti samanya proses kejadian (penciptaan) dirinya. Setiap diri manusia dihidupkan dengan “Ruh Allah” ( Ruuhihi = Ruh-Nya atau Ruuhii = Ruh-Ku). Adapaun jiwanya (hatinya) “dihidupkan” (diterangi dengan iman) dengan Ruh Min Amrihi (Ruh dari Urusan-Nya).
Yang berbeda hanya dalam hal cara (teknik, metode) transfomasi ayat-ayat Allah ke dalam jiwanya. Hal ini tergantung kapasitas dan kualitas penginderaan dan penalaran manusia yang berbeda-beda, juga sarana dan alat bantu yang mereka miliki serta mobilitas dan interaksi sosial yang mereka lakukan.
Muhammad Rosulullah dan beberapa Rosul tertentu sebelumnya, menerima Kalamullah secara langsung, Allah “berbicara” kepadanya (dengan perantaraan Jibril) dari balik “hijab”, dan cukup lama sebelum itu mereka telah membaca berbagai fenomena dan perikehidupan kaumnya.
Adapaun para penerus Risalahnya, mereka membaca Kalamullah dari Al Kitab yang telah ditulis, dan lama sebelum itu merekapun telah membaca fenomena kehidupan kaumnya, yang juga dapat dibaca dari tulisan-tulisan yang dibuat orang.
Bagi orang banyak lainnya, yang lengah atau kurang kemampuan membaca ayat-ayat Allah, maka bagi mereka Allah memunculkan orang-orang yang membacakan ayat-ayat Allah, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Hikmah.
Jelaslah bahwa yang berbeda hanyalah cara dan media yang digunakan Allah dalam mentransformasikan ayat-ayat-Nya kepada jiwa manusia. Adapun unsur-unsur yang berinteraksi dalam prosesnya adalah sama, yaitu:
- Benih Iman yang Allah tanamkan
- Stimulus Ilmu dari Ayat-ayat Allah yang dibaca atau dibacakan
- Ruh dari Urusan Allah yang diwahyukan.
Pada unsur kedua itulah adanya nilai prestasi manusia, yang juga menentukan akan masuk atau tidaknya unsur ketiga.
Proses tersebut diatas, selain ditunjukkan dalam Al Quran Surat Asy Syuro : 49-52 terkutip di muka, juga banyak ayat lainnya, antara lain:
Bawa dengan iman dan ilmu itu jiwa manusia menjadi hidup, sedangkan tanpa itu jiwa (hatinya) gelap dan mati.
أَوَمَن كَانَ مَيۡتً۬ا فَأَحۡيَيۡنَـٰهُ وَجَعَلۡنَا لَهُ ۥ نُورً۬ا يَمۡشِى بِهِۦ فِى ٱلنَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُ ۥ فِى ٱلظُّلُمَـٰتِ لَيۡسَ بِخَارِجٍ۬ مِّنۡہَاۚ كَذَٲلِكَ زُيِّنَ لِلۡكَـٰفِرِينَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
Apakah orang yang keadaannya mati lalu dia Kami hidupkan dan Kami jadikan cahaya untuk dia berjalan dalam kehidupan manusia, sama halnya dengan orang yang dalam kegelapan tanpa bisa keluar dari kegelapan itu? Begitulah orang-orang kafir itu memandang baik apa yang mereka kerjakan. (Al An’am : 122)
Ketika para pengikut Nabi “Isa yang disebut “Hawariyyiin” menyambut seruannya dan menyatakan keiman dan ke-Islamannya. Tentang itu Allah menerangkan bahwa itu adalah bagian dari karunia Allah yang telah mewahyukan urusan Iman itu kepada para Hawariyyin tersebut.
وَإِذۡ أَوۡحَيۡتُ إِلَى ٱلۡحَوَارِيِّـۧنَ أَنۡ ءَامِنُواْ بِى وَبِرَسُولِى قَالُوٓاْ ءَامَنَّا وَٱشۡہَدۡ بِأَنَّنَا مُسۡلِمُونَ
Dan ingatlah ketika Aku mewahyukan kepada para Hawariyyiin agar: “Berimanlah kalian kepada-Ku dan kepada Rosul-Ku”, merekapun menyatakan: “Kami beriman, dan saksikanlah bahwa kami orang-orang Muslim (tunduk berserah diri). ( Al Maidah : 111 )
Sebagaimana ayat-ayat terdahulu, yang diwahyukan Allah itu adalah “Ruh dari Urusan-Nya”, dalam hal ini adalah urusan Iman. Hal ini bisa berlaku pada siapa saja yang Allah kehendaki, tentunya yang menepati kaidah atau ketentuan (qadar) yang telah Allah tetapkan.
Sebagaimana Hawriyyin itu adalah orang-orang biasa yang diseru kepada iman oleh Rosul (dalam hal Ini Nabi Isa), maka dari itu peristiwa “pewahyuan” urusan Iman itu, atau urusan lainnya, bisa terjadi pada siapa saja yang Allah kehendaki, seperti diterangkan pada ayat di bawah ini.
يُلۡقِى ٱلرُّوحَ مِنۡ أَمۡرِهِۦ عَلَىٰ مَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦ لِيُنذِرَ يَوۡمَ ٱلتَّلَاقِ
Dia memasukkan Ruh Dari Urusan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki diantara hamba-hambanya, untuk memberi peringatan akan Hari Pertemuan. (Al Mu`min : 15)
Bahkan Ruh dari Urusan Allah untuk menyeru manusia agar mengabdi hanya kepada-Nya saja, itupun bisa tersampaikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
يُنَزِّلُ ٱلۡمَلَـٰٓٮِٕكَةَ بِٱلرُّوحِ مِنۡ أَمۡرِهِۦ عَلَىٰ مَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦۤ أَنۡ أَنذِرُوٓاْ أَنَّهُ ۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۟ فَٱتَّقُونِ
Dia menurunkan Malaikat dengan (menghantar) Ruh dari Urusan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, bahwasanya: “Peringatkanlah bahwa tidak ada Ilah selain Aku, maka bertakwalah kepada-Ku”. (An Nahl : 2)
Demikianlah bahwa tumbuhnya Iman dalam jiwa (hati) seseorang akan selalu melalui proses seperti di atas. Identik dengan munculnya kehidupan atau sesuatu yang hidup. Memang manusia mesti meraih nilai atau tingkat hidup yang lebih tinggi dari sekedar hidup ragawi seperti halnya hewan. Hidup yang semata-mata untuk mencari dan merasakan kesenangan yang terus tumbuh dan bertambah, termasuk “kesenangan ruhani” yang membuai dan meninabobokan, dan pamor dimata manusia yang membanggakan. Ketika kesenangan yang dinikmatinya itu terusik, spontan berontak bahkan bisa balik menyerang. Persis ...
Tingkat dan nilai hidup yang lebih tinggi itu tiada lain adalah hidupnya jiwa/hati dengan tumbuhnya Iman dengan terangnya Cahaya Hidayah. Yang dengan itu, hidupnya akan bernilai amat tinggi dan abadi di sisi Allah Robbul ‘Izzati.
Telah banyak terbukti di alam ini, yang diperkuat pula dengan penjelasan Kalamullah. Bahwa segala yang Allah ciptakan dan gumelarkan di alam ini semuanya didasari pola sistem (ketentuan) yang begitu teratur, rapi dan pasti (eksak) tidak bisa ditawar apalagi ditentang. Dan inilah yang disebut takdir.
وَخَلَقَ ڪُلَّ شَىۡءٍ۬ فَقَدَّرَهُ ۥ تَقۡدِيرً۬ا
Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan menetapkan ukurannya dengan begitu rapi dan pasti. (Al Furqon : 2).
Terlebih lagi menyangkut munculnya (terciptanya) kehidupan atau sesuatu yang hidup, unsur-unsur, takaran dan prosesnya harus benar-benar sesuai dengan ketentuan yang pasti tadi, dan untuk mengakses lalu memproses unsur-unsur tadi dituntut untuk melibatkan mengaktifkan secara sungguh-sungguh, panca indera, akal dan hati. sedikit saja penyimpangan, akan berakibat kegagalan (mandul) atau cacat.
وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ لَأَمَنَ مَن فِى ٱلۡأَرۡضِ ڪُلُّهُمۡ جَمِيعًاۚ أَفَأَنتَ تُكۡرِهُ ٱلنَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُواْ مُؤۡمِنِينَ (٩٩) وَمَا كَانَ لِنَفۡسٍ أَن تُؤۡمِنَ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ وَيَجۡعَلُ ٱلرِّجۡسَ عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يَعۡقِلُونَ (١٠٠) قُلِ ٱنظُرُواْ مَاذَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ وَمَا تُغۡنِى ٱلۡأَيَـٰتُ وَٱلنُّذُرُ عَن قَوۡمٍ۬ لَّا يُؤۡمِنُونَ
Kalau saja Allah menghendaki, pasti beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Bisakah kamu memaksa manusia sampai mereka jadi beriman? Dan tidak akan ada seorangpun akan bisa beriman kecuali dengan izin Allah. Dan Dia menimpakan kemurkaan (siksa) kepada orang yang tidak menggunakan akal. Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi”. Betapa tidak berguna berbagai ayat dan peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman. (Yunus : 99-101)
Sudah terlalu jelas dan tegas untuk disangkal atau dibantah bahwa yang bisa menumbuhkan Iman dalam hati seseorang hanyalah Allah (atas izin Allah). Dan itu baru akan terjadi (dengan kata lain: “Izin Allah baru bisa diperoleh”) jika segala ketentuan (qodar) yang pasti tentang itu telah dipenuhi. Untuk itu, mutlak harus digunakan dengan baik, panca indera, akal dan hati, perhatikan dan cermati fenomena ayat-ayat Allah di langit dan di bumi, dan berbagai peringatan yang disampaikan.
Banyak orang mengatakan bahwa iman itu bukan urusan akal, melainkan urusan “keyakinan”, urusan “hati nurani”. Jika hati nurani sudah meyakini sesuatu, teguhkanlah itu. Jangan lagi akal banyak tingkah dan mengganggu, karena akal manusia itu sangat terbatas. Orang akan tersesat jika mengikuti temuan akalnya. Dan macam-macam lagi celoteh apologia yang tidak didasari ilmu dan petunjuk itu.
Memang iman bukan urusan akal semata, namun urusan totalitas jiwa manusia. Pengamatan, perasaan, kehendak, persepsi, apresiasi, intelegensi, emosi, dan semua fungsi-fungsi jiwa yang disebut “af`idah”, dimana akal sehat sangat terlibat kuat didalamnya. Allah banyak menggugat bahkan mengancam orang yang tidak mengunakan akalnya secara optimal, sebagaimana terbaca dari Surat Yunus ayat 100 di atas.
Dengan penelusuran dari satu aspek saja, yakni kaidah (sistem) dan proses tumbuhnya Iman, sudah dapat diidentifikasi apakah yang selama ini dirasa sudah ada dan dimiliki di hati kita, benar Iman yang dimaksud dan dipesan Allah? Atau sesuatu yang lain, yang kalau begitu pasti akan tertolak dan terafkir?
Untuk mendapat jawaban yang pasti, perlu terjawab dengan baik daftar pertanyaan berikut ini:
- Sudahkah kita yakin dan pastikan bahwa segala keterangan yang telah kita terima tentang Allah itu, benar-benar dari Allah? Dari Rosul? Atau kita hanya mendengarnya dari (membaca tulisan) orang-orang pinter, lalu kita yakin dan percaya bahwa yang mereka katakan itu pasti dari Allah dan Rosul-Nya?
- Kalau jawabannya yang terakhir, mari kita tanya akal sehat. Kalau begitu, benarkah yang kita percayai itu Allah? Atau orang-orang pinter itu? Silakan baca kembali: Al Baqoroh (2) : 78-79, Ali Imron (3) : 78, Az Zumar (39) : 3, Al Ahzb (33) : 66-67 dan Al An’am (6) : 116, dengan berhati-hati dalam penerjemahannya, karena banyak sekali yang diubah-ubah.
- Sudahkah kita mendengar seruan seorang Penyeru atau pemberi peringatan yang membacakan kepada kita ayat-ayat Allah, serta mengajarkan Al Kitab dan Al Hikmah (yang tidak akan pernah selesai (tamat) sampai mati) lalu kita menyambut positif seruanya itu? Atau kita menolaknya? Karena Allah telah memperingatkan seperti berikut.
كُلَّمَآ أُلۡقِىَ فِيہَا فَوۡجٌ۬ سَأَلَهُمۡ خَزَنَتُہَآ أَلَمۡ يَأۡتِكُمۡ نَذِيرٌ۬ (٨) قَالُواْ بَلَىٰ قَدۡ جَآءَنَا نَذِيرٌ۬ فَكَذَّبۡنَا وَقُلۡنَا مَا نَزَّلَ ٱللَّهُ مِن شَىۡءٍ إِنۡ أَنتُمۡ إِلَّا فِى ضَلَـٰلٍ۬ كَبِيرٍ۬ (٩) وَقَالُواْ لَوۡ كُنَّا نَسۡمَعُ أَوۡ نَعۡقِلُ مَا كُنَّا فِىٓ أَصۡحَـٰبِ ٱلسَّعِيرِ
...Setiap dilempar ke dalamnya (neraka sa’ir) satu rombongan, mereka ditanya penjaganya: “Tidak adakah datang kepadamu seorang pemberi peringatan”? Merekapun menjawab: “Benar, telah datang seorang pemberi peringatan, tapi kami mendustakannya dan kami katakan: “Allah tidak menurunkan suatu (wahyu) apapun kepadamu, pastilah kamu ini dalam kesesatan yang besar”. Dan mereka berkata pula: “Kalau saja kami mau mendengar atau mau menggunakan akal (logika), kami tidak akan menjadi penghuni neraka sa’ir”. (Al Mulk : 8-10)
- Sudahkah (dari yang dibacakan dan diajarkan itu) kita memahami Maqom-Nya, Amr-Nya dan Af’al-Nya, agar benar dalam mempersepsi dan mengapresiasi-Nya serta tidak salah dalam memposisikan diri dan bersikap sebagai hamba-Nya?
- Sudahkah kita mengalami sesuatu, dimana muncul suatu kesadaran yang signifikan yang menandakan jiwa yang mati menjadi hidup, atau dari kegelapan menjadi terang benderang, layaknya orang yang terbangun dari tidur, bangkit dari balik selimut?
Jika jawabannya negatif, haruslah disadari bahwa yang ada itu bukanlah Iman yang Allah maksud. Kalaupun dirasa banyak kesamaannya, memang itu sangat mungkin terjadi. Tapi itu ibarat potret yang mudah digandakan pakai klise. Mirip sekali. Apalagi yang tiga dimensi. Bedanya “hanya” sedikit saja tetapi fatal, yakni yang satu itu hidup, yang lainnya mati. Inilah ciri yang paling esensial dari Iman yang Allah pesan, yakni hidup. Dan yang hidup tidak bisa digandakan, melainkan tumbuh dan berkembang melalui hukum dan proses muncul dan tumbuhnya kehidupan.
Dalam jasad fisik saja, yang hidup, tidak boleh terdapat benda mati, kecuali terpaksa karena ketunaan atau cacat yang ada. Apalagi pada jiwa yang akan hidup terus menghadap Allah, tidak boleh ada cacat.
Kalau pada jenazah yang dikubur misalnya terdapat gigi palsu dari logam atau porselen, itu tidak masalah, karena jasad itu dibuang. Tetapi jika pada jiwa terdapat sesuatu yang mati (fiksi buatan manusia), itu berbahaya karena Allah akan membuang jiwa tersebut ke neraka.
Apabila jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas positif, maka ada harapan bahwa yang tumbuh itu Iman yang dimaksud. Tetapi itu pun masih akan menjalani pengujian lebih lanjut, karena suatu benih bisa juga tumbuh dengan dibuahi “pejantan” dari spesies yang berbeda. Akan tetapi tentunya yang tumbuh akan berubah dan tidak original, menyimpang dari konsep pesanan.
Kemudian perlu digaris bawahi, bahwa benih Iman itu distimulir dengan Ilmu, yang merupakan hasil “perkawinan” juga. Yang “pejantannya” Adz Dzikr yang tidak akan pernah berubah selamanya (Al Quran), sedangkan “betinanya” berupa ayat-ayat kauniyah yang justru akan selalu berubah, berganti dan berkembang. Perubahan dan perkembangan yang merupakanbagian dari Sunnatullah.
Oleh sebab itu, Iman yang sebenar-benarnya, akan senantiasa merefleksikan peradaban manusia yang merupakan PANCARAN ASMA ALLAH yang mempesona, membahagiakan dan menakjubkan, dalam pandangan manusia secara universal (‘Alamiin).
SUBHANALLAH...., ALHAMDU LILLAH...., ALLHU AKBAR....!
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَجِيبُواْ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمۡ لِمَا يُحۡيِيڪُمۡۖ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah Allah dan Rosul apabila menyeru kamu pada sesuatu yang menghidupkanmu. (Al Anfal : 24)
Hidup yang mana lagi yang diserukan kepada orang-orang yang sudah hidup? Itulah IMAN, hidupnya jiwa, hidupnya hati.