Menyingkap Alam Gaib

SHARE:

Ketika seseorang telah sampai ke akhir hayatnya (meningal dunia), tidak ada sesuatupun lagi yang bisa ia usahakan, dan tidak ada “ke...

menyingkap-alam-gaib

Ketika seseorang telah sampai ke akhir hayatnya (meningal dunia), tidak ada sesuatupun lagi yang bisa ia usahakan, dan tidak ada “kemajuan” apapun yang ingin dan bisa diraihnya lagi. Tetapi alam dan kehidupan manusia yang ditinggalkannya, tidak serta merta berakhir. Kehidupan ini masih berjalan terus. Dimana setiap orang (termasuk yang telah meninggal dunia itu) pasti punya andil (kontribusi) menyangkut berbagai hal dalam kehidupan manusia tersebut. Mungkin dalam kebaikan-kebaikan yang menghasilkan kemajuan dan kemaslahatan, atau mungkin juga sebaliknya, menimbulkan kesulitan, penderitaan, kerusakan dan sebagainya.

Untuk itu, setiap orang pasti harus menanggung akibat dan tangung jawab serta balasan atas kontribusinya tadi. Oleh sebab itu, setelah seseorang meningal dunia dan mengakhiri segalanya, ia akan tetap dihadapkan kepada ancaman bencana yang mungkin dideritanya, atau harapan kebahagiaan abadi yang mungkin ia dapatkan dan ia nikmati selamanya.

Sangat tidak adil jika kejahatan seseorang hanya berakhir dengan kematian, dan perkarapun selesai. Karena kematian bukan hukuman dari Allah atas perbuatan manusia. Orang-orang sholeh dan sebaik apapun, semua akan mati juga. Terlepas dari masalah dimana, kapan, penyebab dan bagaimana seseorang meninggal dunia. Manusia tidak bisa merencanakan atau mencegah kamatian dirinya. Oleh sebab itu, kapan, dimana dan bagaimana seseorang meninggal dunia, sama sekali bukan kegagalan, bukan prestasi, dan bukan nasib baik atau buruk tentang kematiannya itu.

Sebagai makhluk yang telah diciptkan dan dipersiapkan Allah untuk tampil di bumi sebagai makhluk yang berperadaban, manusia diberi kemampuan untuk menemukan cara meraih kemajuan, menemukan berbagai hal untuk dapat merasakan kehidupan yang semakin nyaman dan menyenangkan, serta mengatasi berbagai hal yang dirasakan kurang nyaman dan kurang memuaskan. Merekapun dapat juga menemukan berbagai cara untuk mewaspadai bencana, dan mengatasi akibat yang ditimbulkannya. Itulah yang disebut ilmu pengetahuan dan teknologi.

Allah memberikan Ilmu pengetahuan kepada manusia dengan jalan menyediakan dua jenis media yang harus mereka “baca”, yaitu :
  1. Segala bentuk materi dan peristiwa yang ada dan terjadi disetiap titik dalam dimensi ruang dan waktu dari alam semesta yang Allah ciptakan, dan inilah yang Alah sebut sebagai ayat-ayat-Nya.
  2. Keterangan (informasi) yang didengar atau terbaca dari tulisan-tulisan atau media lainnya.

     ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ (١) خَلَقَ ٱلۡإِنسَـٰنَ مِنۡ عَلَقٍ (٢) ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ (٣) ٱلَّذِى عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ (٤) عَلَّمَ ٱلۡإِنسَـٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ

    Bacalah, dengan Asma Robb-mu yang telah menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Robb-mu itu Maha Mulia. Yang telah mengajari dengan pena. Mengajari manusia apa-apa yang belum ia ketahui. (Al ‘Alaq : 1-5)

    Pada ayat diatas terdapat dua perintah membaca, sekaligus mengisyaratkan dua media yang harus dibaca, yakni segala apa yang telah Allah ciptakan dan apa–apa yang tertulis “dengan pena”, tulisan dalam arti yang sebenarnya, yang dapat dibaca.

    Demikian pula yang kita saksikan dalam kenyataan. Ilmu pengetahuan manusia berkembang melalui dua media, yakni melihat langsung terhadap objek yang ingin diketahui (penelitian /observasi) lalu memadukan dengan keterangan atau informasi yang didengar atau dibaca dari tulisan-tulisan (studi kepustakaan).

    Kemudian untuk dapat mengakses ilmu dari dua media tersebut di atas, Allah membekali manusia dengan seperangkat alat (instrumen) pada dirinya, yakni:
    • Pendengaran ( ٱلسَّمۡعَ )
    • Penglihatan (ٱلۡأَبۡصَـٰرَ )
    • Pikiran dan perasaan (intellegensi dan emosi) (ٱلۡأَفۡـِٔدَةَ‌ۙ)

      وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَـٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡـًٔ۬ا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَـٰرَ وَٱلۡأَفۡـِٔدَةَ‌ۙ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ

      “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun. Lalu Ia menjadikan untuk kamu pendengaran, penglihatan dan af`idah (pikiran dan perasaan), mudah-mudahan kamu bersyukur”. (An Nahl : 78)

      Mengenai ketiga instrumen jiwa tersebut di atas, Allah selalu menggunakan bentuk tunggal (ism mufrod) untuk pendengaran (dapat dikatakan “satu pendengaran”). Dan selalu menggunakan bentuk jamak (Ism jama’) untuk dua jenis lainnya (sehingga dapat dikatakan: “Sejumlah penglihatan dan sejumlah elemen-elemen akal dan hati”).

      Hal tersebut mengisyaratkan bahwa dalam mengakses ilmu, mengamati fakta-fakta dan fenomena (sebagai entry) serta memproses (tafakkur) dan menganalisanya dengan pikiran dan perasaan, jauh lebih banyak diperlukan, dan sedikit saja memerlukan entry berupa berita atau keterangan/informasi yang didengar atau dibaca, sekedar untuk membantu dan memperjelas hasil pengamatan, apabila hal itu diperlukan.

      Sangat jauh dari konsep Kalimatulah, dan dari petunjuknya, jika sebagian orang “menampung ilmu” hanya dengan membaca dan mendengar keterangan dan pendapat orang lain, kemudian mempercayai dan merasa memiliki “ilmu”, tanpa mengamati fakta-fakta (ayat-ayat)-nya, dan tanpa memfungsikan akal sehat dan hati bersihnya.

      Para “pemulung ilmu” yang seperti demikian ini, mereka hanya bisa mengucap ulang apa yang mereka baca dan mereka dengar dari pernyataan orang lain (khususnya mereka yang menjadi idola (auliya)-nya, lalu mereka langsung menganut dan mengikutinya, sekaligus menjadikannya sebagai dalil kebenaran. Padahal Allah telah memperingatkan dengan tegas, sebagai berikut:

      وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌ‌ۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡـُٔولاً۬

      “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki ilmunya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan elemen jiwa, tiap-tiap (satuan/ elemen) dari semua itu akan diminta pertangungjawaban”. (Al Isro : 36)

      Pada ayat di atas, pendengaran, penglihatan dan “fu`ad”, semua menggunakan ism mufrod. Ini mengandung isyarat bahwa tuntutan pertanggungjawaban itu, akan menyangkut tiap satuan elemen dari semua itu. Lebih tegas lagi Allah menekankan pentingnya logika dan panca indera, sebagai berikut:

      وَمَا كَانَ لِنَفۡسٍ أَن تُؤۡمِنَ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِ‌ۚ وَيَجۡعَلُ ٱلرِّجۡسَ عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يَعۡقِلُونَ

      “Dan (Allah) akan menimpakan siksaan pada orang-orang yang tidak menggunakan akal”. (Yunus : 100)

        أَفَمَن يَعۡلَمُ أَنَّمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَ ٱلۡحَقُّ كَمَنۡ هُوَ أَعۡمَىٰٓ‌ۚ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَـٰبِ

      “Apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Robb-mu itu kebenaran, seperti halnya orang yang buta? Sesungguhnya yang dapat mengambil pelajaran hanyalah Ulul Albaab”. (Ar Ro’d : 19)

      وَمَن كَانَ فِى هَـٰذِهِۦۤ أَعۡمَىٰ فَهُوَ فِى ٱلۡأَخِرَةِ أَعۡمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلاً۬

      “Barangsiapa yang dalam kehidupan dunia ini buta, maka di Akhiratpun ia akan buta pula dan lebih sesat jalannya”. (Al Isro : 72)

      Orang yang buta hanya percaya kepada apa yang dikatakan orang, karena ia tidak bisa melihat bukti kebenarannya. Tidak demikian halnya dengan pembenaran atas semua muatan ajaran Robbani. Allah tidak menuntut manusia untuk percaya saja kepada ajaran-Nya. Melainkan menuntut manusia untuk menggunakan pancainderanya dengan baik dan optimal, kemudian memfungsikan dengan baik pula akal sehat dan hati bersihnya. Lalu manusia dituntut untuk tidak memungkiri kebenaran yang terbukti nyata dan tidak terbantah.

      Jelaslah bahwa Al Islam yang sebenar-benarnya, bukanlah suatu sistem kepercayaan, melainkan suatu sistem peradaban yang dibangun atas dasar ilmu pengetahuan (sains) yang kebenarannya mutlak dan universal.

      Maka sangatlah pantas dan adil untuk disebut kafir, siapa saja yang menolak dan mengingkarinya. Kalau ada suatu item saja dari ajaran Islam yang menuntut orang untuk mempercayainya saja tanpa pembuktian atau penggunaan akal sehat (logika), pastilah itu merupakan perkara yang diada-adakan orang, meskipun hal itu dianut dan dibenarkan oleh seluruh kaum Muslimin di planet ini.

      Namun demikian, manusia tidak diprogram Allah untuk mampu mengetahui segalanya. Hanya sebagian kecil saja Ilmu Allah yang mampu diakses manusia. Ini adalah fakta yang tidak bisa dibantah. Banyak hal yang tidak mungkin dapat mereka ketahui dengan membaca dan meneliti apa yang tampak di depan panca inderanya, meskipun berbagai alat penginderaan telah banyak mereka ciptakan. Maka tidak bisa disangkal lagi bahwa manusia itu pasti membutuhkan petunjuk langsung dari Yang Maha Mengetahui.

      Fakta lainnya lagi, bahwa kemampuan pengamatan dan berpikir manusia sangat berbeda-beda dan bervariasi. Justru kebanyakan manusia adalah yang tidak banyak mengetahui, bahkan nyaris tidak mengetahui apapun (dalam arti yang sebenarnya). Dan hanya sedikit saja manusia yang mengetahui (berilmu), dengan hanya sangat sedikit sekali ilmu yang berhasil mereka raih dari perbendaharaan ilmu Allah yang maha luas itu.

      Dengan kenyataan seperti di atas, tidak terhindarkan lagi bahwa sebagian manusia harus mengikuti sebagian lainnya. Maka terjadilah berbagai bentuk pengelompokan dan penggolongan manusia dengan berbagai latar belakang. Di sinilah terjadinya ketersesatan manusia, yakni ketika mereka mengikuti seseorang atau segolongan orang, tanpa didasari ilmu dan arahan petunjuk langsung dari Allah Robbul ‘Alamiin.

      Hal yang amat sulit diketahui manusia itu antara lain meliputi latar belakang dari keberadaan alam semesta ini, dan peranan manusia di bumi ini. Apakah program dan tujuan Allah dengan penciptaan semua ini? Karena pada kenyataannya alam semesta ini terus bergerak dan berproses. Lalu manusia harus berbuat, agar perilaku dan tindakan mereka tetap sejalan dengan fitrahnya, yakni sejalan dan serasi dengan program dan tujuan dari Yang Maha Pencipta, tidak antogonis atau kontra produktif, yang akan mengakibatkan bencana bagi manusia itu sendiri.

      Apalagi mengenai hal-hal yang gaib. Allah telah mengklaim bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mengetahuinya kecuali Dia sendiri.

      وَعِندَهُ ۥ مَفَاتِحُ ٱلۡغَيۡبِ لَا يَعۡلَمُهَآ إِلَّا هُوَ‌ۚ

      “Dan disisi Allah-lah kunci-kunci hal yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri...”. (Al An’am : 59)

      قُل لَّا يَعۡلَمُ مَن فِى ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ ٱلۡغَيۡبَ إِلَّا ٱللَّهُ‌ۚ وَمَا يَشۡعُرُونَ أَيَّانَ يُبۡعَثُونَ

      “Katakanlah: “Tidak ada siapapun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang gaib kecuali Allah”. Dan mereka tidak bisa mendeteksi kapan/dimana mereka dibangkitkan”. (An Naml : 65)

      Jika Allah telah menyatakan hal di atas demikian jelas dan tegas, maka apabila ada seseorang yang mengaku atau disangka oleh orang lain bahwa dia mengetahui sesuatu yang gaib. Itu pasti suatu kebohongan, tipuan, kesalahan atau kesalahpahaman.

      Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dipahami dulu apa yang Allah maksud dengan “mengetahui” dan apa pula “hal-hal yang gaib” itu.

      Mengetahui sesuatu berbeda dengan mendengar kabar tentang sesuatu. Mengetahui adalah mendapatkan ilmu. Yaitu, memahami apa yang ada dan terjadi setelah menyaksikan fakta-faktanya. Seseorang tidak mungkin bisa mengetahui sesuatu tanpa menyaksikan (mengindera) fakta-fakta dan fenomenanya, kemudian mengaktifkan akal pikirannya. Adapun mendengar kabar tentang sesuatu kemudian membenarkannya, itu bukan mengetahui, melainkan hanya mempercayai. Dan yang pantas dipercaya, hanya mereka yang benar-benar mengetahui.

      Maka dalam pandangan Allah, orang yang hanya mendengar berita atau keterangan tentang sesuatu, atau hanya mendengar pendapat orang lain, baik melalui lisan yang didengar atau tulisan yang dibaca, lalu ia mempercayainya tanpa menyaksikan fakta-faktanya dan memahaminya, mereka itu bukanlah orang yang berilmu, melainkan orang yang percaya, membenarkan dan mengikuti pendapat orang lain.

      Allah telah menegaskan bahwa hanya Dia-lah yang mengetahui hal-hal yang gaib. Oleh sebab itu, hanya kabar dari Allah sajalah yang boleh dipercaya tentang hal-hal yang gaib itu. Siapapun yang mengatakan itu dan ini tentang hal yang gaib (sehubungan dengan urusan Allah) harus membuktikannya dengan Kalamullah (Al Quran).

      Pertanyaan berikutnya: Apa yang dimaksud dengan hal yang gaib?

      Dengan serampangan dan asal gampang saja orang mendefinisikan hal yang gaib itu: “Segala sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia”. Kemudian hal yang demikian itu disebut “Alam gaib” atau “makhluk gaib”. Padahal kemampuan panca indera manusia itu memang sangat terbatas. Dan ketika panca indera manusia tidak dapat menangkap sesuatu objek, sangat bisa jadi itu disebabkan struktur dan kapasitas panca indera manusia, tidak compatible dengan struktur fisik dari objek yang diindera, bukan berarti objek tersebut tergolong makhluk gaib atau berada di alam gaib. Frase makhluk gaib dan alam gaib itu, tidak lain hanyalah fiksi. Dalam Al Quran Allah tidak pernah menghubungkan kata gaib itu dengan kata makhluk atau alam.

      Jika kita cermati pemakaian kata gaib tersebut dalam Al Quran, ternyata yang disebut hal-hal yang gaib itu adalah sesuatu yang tidak hadir, terpisahkan oleh ruang dan waktu, yang manusia tidak bisa menginderanya. Atau dengan pengungkapan lain: “Sesuatu yang ada dan terjadi di tempat lain, di masa lampau atau di waktu yang akan datang”. Hal-hal yang demikianlah yang manusia tidak mungkin dapat mengetahuinya, kecuali setelah Allah memberi keterangan tentangnya. Dan hanya Allah yang sah dan benar keterangannya, karena tidak ada yang bisa mengetahuinya kecuali Dia sendiri.

      Banyak bukti dalam Al Quran yang menunjukkan pengertiam gaib itu seperti diatas, antara lain:
      1. Pada Surat Ali Imron ayat 35 sampai dengan 43, Allah memberitakan hal ihwal berkaitan dengan Istri Imron, Maryam, Zakariya dan Yahya. Lalu pada ayat 44 berikutnya:

         ذَٲلِكَ مِنۡ أَنۢبَآءِ ٱلۡغَيۡبِ نُوحِيهِ إِلَيۡكَ‌ۚ وَمَا كُنتَ لَدَيۡهِمۡ إِذۡ يُلۡقُونَ أَقۡلَـٰمَهُمۡ أَيُّهُمۡ يَكۡفُلُ مَرۡيَمَ وَمَا ڪُنتَ لَدَيۡهِمۡ إِذۡ يَخۡتَصِمُونَ

        “Itulah sebagian dari berita tentang hal yang gaib yang Kami wahyukan kepadamu. Kamu tidak hadir bersama mereka ketika mereka menurunkan pena-pena mereka (untuk memutuskan) siapa yang akan memelihara Maryam, dan kamu tidak bersama mereka ketika mereka berbantahan”. (Ali Imron : 44)
        1. Pada Surat Huud ayat 24 sampai 48, Allah mengisahkan hal ihwal Nabi Nuh dengan kaumnya. Kemudian pada ayat 49 berikutnya:

          تِلۡكَ مِنۡ أَنۢبَآءِ ٱلۡغَيۡبِ نُوحِيہَآ إِلَيۡكَ‌ۖ مَا كُنتَ تَعۡلَمُهَآ أَنتَ وَلَا قَوۡمُكَ مِن قَبۡلِ هَـٰذَا‌ۖ فَٱصۡبِرۡ‌ۖ إِنَّ ٱلۡعَـٰقِبَةَ لِلۡمُتَّقِينَ

          “Itulah sebagian dari berita gaib yang kami wahyukan kepadamu. Kamu dan kaummu tidak pernah mengetahuinya sebelum (diberi kabar) ini. Maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi prang-orang yang bertaqwa”. (Huud : 49)

          1. Tentang beberapa pemuda yang tertidur di dalam sebuah guha (Ashabul Kahfi), antara lain Allah menerangkan sebagai berikut:

            سَيَقُولُونَ ثَلَـٰثَةٌ۬ رَّابِعُهُمۡ كَلۡبُهُمۡ وَيَقُولُونَ خَمۡسَةٌ۬ سَادِسُہُمۡ كَلۡبُہُمۡ رَجۡمَۢا بِٱلۡغَيۡبِ‌ۖ

            “Nanti akan (ada orang yang) mengatakan mereka itu bertiga, keempatnya anjing mereka. Ada pula yang mengatakan mereka itu berlima, keenamnya anjing mereka. Suatu tebakan tentang hal yang gaib". (Al Kahfi : 22)

            Mereka yang Allah kisahkan pada ayat-ayat di atas itu bukanlah makhluk gaib atau peristiwa di alam gaib. Mereka manusia seperti kita dan peristiwanya terjadi di bumi ini. Tetapi Allah menyebutnya sebagai berita tentang hal yang gaib, karena itu terjadi di masa lalu, dan Rosul (yang diberi kabar tentang ini) tidak hadir di masa mereka, maka sama sekali tidak pernah mengetahui sebelum dikabari Allah dengan berita ini.

            Jelas sekali bahwa ketika Allah mengunakan terma “gaib”, itu sama sekali bukan mengacu kepada sesuatu yang biasa orang-orang sebut dengan “alam gaib” atau “makhluk gaib”, (seperti: Malaikat, jin, syetan, tuyul dan lain-lain) melainkan seperti diutarakan diatas, yakni; Segala sesuatu yang ada dan terjadi di tempat lain, di masa lampau atau di waktu yang akan datang, yang manusia tidak dapat menginderanya, maka mereka tidak mungkin dapat mengetahuinya.

            Ada beberapa hal yang perlu catatan lebih lanjut, yaitu:

            Sesuatu yang gaib karena berada atau terjadi di tempat lain, manusia bisa mendatanginya, atau menggunakan alat bantu pengindera, sehingga hal tersebut tidak gaib lagi. Maka terbuka kemungkinan bagi manusia untuk mengetahuinya. Tetapi sebelum penginderaan itu dapat dilakukan, baik langsung terhadap objek yang ingin diketahui atau terhadap gejala dan fenomena yang terkait dengan objek tersebut. Manusia tidak akan dapat mengetahuinya, kartena hal tersebut masih bersifat gaib.

            Mengenai hal-hal yang ada dan terjadi di tempat lain yang tidak sempat diketahui atau hal ihwal di masa lampau yang telah berlalu dan tidak mungkin lagi didatangi dan diindera, manusia dapat memperoleh berita (kabar) tentang itu dari orang yang benar-benar mengetahuinya, melalu berbagai bentuk sarana atu media. Dalam hal ini, instrumen jiwa manusia yang digunakan untuk mengakses berita-berita melalui media apapun, itulah “As Sam’u” (pendengaran).

            Akan tetapi berbagai hal bisa terjadi pada media tersebut, dan juga pada orang yang menjadi sumber beritanya. Mungkin kekeliruan, kerusakan, berubah, bahkan bisa juga pemalsuan. Dengan demikian derajat kebenarannya menjadi nisbi. Maka untuk menjadi “pengetahuan” yang benar, berita tersebut harus dikonfirmasikan dengan fakta-fakta yang berkaitan dengan itu (yang hadir dan dapat diindera), dan “dicerna” dengan akal sehat (logika). Dalam hal ini, manusia harus memfungsikan “abshor” (penglihatan) dan “afidah” (pikiran dan perasaan).

            Adapun mengenai hal-hal yang belum terjadi dan belum dialami manusia (terlebih lagi apa yang akan dialami manusia sesudah kematiannya), sama sekali gelap, tidak ada cara yang bisa dilakukan manusia untuk mengetahuinya, selain menduga-duga, memperkirakan atau memprediksi. Dan hal ini sama sekali tidak bisa dijadikan pegangan sebagai kebenaran.

            Dalam berurusan dengan sesama manusia dikehidupan dunia ini, mungkin manusia akan masih banyak terpaksa berspekulasi dengan mempercayai saja berita-berita yang diterima, lalu merespon, beropini dan melakukan itu dan ini, sebelum memperoleh kepastian faktual (aeniyah) tentang kebenarannya. Karena jika ternyata hal itu keliru, salah atau bohong, resiko yang akan dihadapinya masih di dunia ini, dan masih ada kesempatan untuk mengatasi atau memperbaikinya.

            Tetapi dalam berurusan dengan Allah, dalam memahami dan mematuhi ajaran-ajaran-Nya, dalam mengemban amanah-Nya, cara seperti di atas, yakni mempercayai saja keterangan siapapun tanpa bukti-bukti kebenaran yang original dan legal (sah), itu sangat terlarang dan berbahaya. Karena cara menduga-duga dalam berurusan dengan Allah itu, hampir dapat dipastikan akan salah atau keliru, kemudian akibat dan resikonya baru akan dirasakan di Hari Akhir dimana tidak ada lagi hari esok dan tidak ada lagi kesempatan untuk mengupayakan apapun.

            Sudah sangat banyak sekali peringatan dari Allah tentang hal di atas. Maka sungguh keterlaluan dan pelecehan luar biasa, jika manusia mengabaikannya saja. Berikut kita nukil (kembali) beberapa di antaranya.

             وَمَا يَتَّبِعُ أَكۡثَرُهُمۡ إِلَّا ظَنًّا‌ۚ إِنَّ ٱلظَّنَّ لَا يُغۡنِى مِنَ ٱلۡحَقِّ شَيۡـًٔا‌ۚ

            “Dan tidaklah kebanyakan mereka itu mengikuti, kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak berguna sedikitpun untuk mencapai kebenaran...” (Yunus : 36)

             وَإِن تُطِعۡ أَڪۡثَرَ مَن فِى ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ‌ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَخۡرُصُونَ

            “Dan jika kamu mengikuti kebanyakan manusia di muka bumi, pasti mereka menyesatkanmu dari Jalan Allah, yang mereka ikuti tidak lain hanyalah persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengada-ada”. (Al An’am : 116)

             وَإِنَّ مِنۡهُمۡ لَفَرِيقً۬ا يَلۡوُ ۥنَ أَلۡسِنَتَهُم بِٱلۡكِتَـٰبِ لِتَحۡسَبُوهُ مِنَ ٱلۡڪِتَـٰبِ وَمَا هُوَ مِنَ ٱلۡكِتَـٰبِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ وَمَا هُوَ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ

            “Dan sesungguhnya di antara mereka terdapat segolongan yang piawai bertutur kata, sehinga kamu mengira (bahwa itu) dari Al Kitab padahal itu bukan dari Al Kitab. Dan mereka katakan, itu menurut (dari sisi) Allah, padahal itu bukan dari sisi Allah. Mereka mengatakan kebohongan atas Allah, padahal mereka mengetahui”. (Ali Imron : 78)

            Kebanyakan manusia hanya ikut-ikutan saja, dengan aggapan (perkiraan) bahwa yang diikutinya itu benar, karena ia lihat semua orang juga begitu. Padahal yang mereka ikuti itupun orang yang ikut-ikutan juga (walaupun dianggap mengetahui dan berilmu), yang membenarkan saja pendapat orang lain tanpa meneliti bukti-bukti kebenarannya. Ini berbahaya dan akan mencelakakan dirinya sendiri.

            وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌ‌ۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡـُٔولاً۬

            “Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan, pikiran dan perasaan, tiap-tiap (satuan elemen) semua itu akan dituntut pertanggungjawaban”. (Al Isro : 36)

            Jangan asal mendengar (membaca) pendapat orang dan melihat yang mereka lakukan, tapi lihat dan teliti bukti kebenarannya, aktifkan akal sehat dan hati bersih untuk memahaminya. Karena tentang kelengkapan diri karunia Alah itu, akan dituntut pertanggungjawaban di Hari Akhir.

            “Sungguh Kami afkir untuk penghuni neraka jahannam, kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka punya mata tetapi tidak melihat dengan matanya itu, mereka punya kuping tapi tidak mau mendengar, mereka punya hati tapi tidak juga memahami dengan hatinya itu. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat. Itulah mereka yang lalai”. (Al A’rof : 179)

            Yang Allah sepertikan dengan binatang ternak itu, tentunya bukan fisik dirinya, melainkan jiwanya, akal dan hatinya. Kita lihat bahwa semua binatang ternak itu hidup dalam tiga keadaan berikut ini.
            • Ruang gerak ternak itu dibatasi pagar dan dinding-dinding kandang yang dibuat orang, tidak bisa mengembangkan kemampuan gerak yang Allah berikan. Maka dalam hal ini, akal dan pikiran manusia terkungkung oleh paradigma dan doktrin kelompok, hittah ashobiyah, madzhab dan sebagainya yang mereka buat sendiri. Binatang bebas yang bukan ternak itu dibatasi oleh habitat yang ditetapkan Allah, bukan kandang yang dibuat orang.
            • Makanan ternak itu ditakar dan dialas oleh tuannya. Mereka tak boleh tahu dan melihat bahwa di luar sana Allah sediakan berbagai jenis makanan yang melimpah. Mereka hanya melahap apa yang disodorkan oleh tuannya. Yang diatur dan ditakar sesuai kemauan dan kepentingan tuannya saja. Begitulah akal dan pikiran kebanyakan manusia yang lengah dan malas berpikir.
            • Binatang ternak itu hidup bergalau dengan kotoran. Di situ dia makan di situ pula dia buang air besar dan buang air kecil. Demikianlah, begitu banyak manusia yang tidak peduli dengan dosa dan haram. Dan para penghuni kandang ideologi itu pun tidak bisa bersih dari jegal menjegal, sentimen, iri dengki, curiga, gibah, hasut, fitnah, riya dan takabbur. Jiwanya sudah begitu resistens dan adaptif dengan kotoran-kotoran seperti itu.
            Maha Suci Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, yang telah menyodorkan berbagai perumpamaan. Memang bagi orang-orang kafir perumpamaan yang Allah berikan itu tidak pernah memberi sentuhan atau kesan apapun di hati mereka, hanya lewat begitu saja. Lain halnya dengan orang Mukmin, setiap perumpamaan dari Allah akan menumbuhkan kefahaman dan ketundukan yang mendalam.

            إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَسۡتَحۡىِۦۤ أَن يَضۡرِبَ مَثَلاً۬ مَّا بَعُوضَةً۬ فَمَا فَوۡقَهَا‌ۚ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فَيَعۡلَمُونَ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّهِمۡ‌ۖ وَأَمَّا ٱلَّذِينَ ڪَفَرُواْ فَيَقُولُونَ مَاذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِهَـٰذَا مَثَلاً۬‌ۘ يُضِلُّ بِهِۦ ڪَثِيرً۬ا وَيَهۡدِى بِهِۦ كَثِيرً۬ا‌ۚ وَمَا يُضِلُّ بِهِۦۤ إِلَّا ٱلۡفَـٰسِقِينَ

            “Sesungguhnya Allah tidak segan-segan menggelar perumpamaan selevel nyamuk sekalipun, apalagi diatas itu. Adapun orang-orang Mukmin, mereka lalu mengerti akan kebenaran dari Robb mereka. Sedangkan orang-orang kafir hanya berkata: “Apa maunya Allah dengan ini sebagai perumpamaan?” Banyak orang yang disesatkan dengan perumpamaan itu, dan banyak pula yang diberi petunjuk dengannya. Dan tidak disesatkan dengan perumpamaan itu kecuali orang-orang yang fasik”. (Al Baqoroh : 26)

            Dalam membenarkan dan mengikuti ajaran yang dinyatakan sebagai ajaran Allah (Dienul Islam), baik yang menyangkut keimanan, menyangkut syariat dan manhaj, nilai-nilai ibadah, kebajikan dan akhlakul karimah dan sebagainya, harus berhati-hati benar, karena jika ternyata salah, akan berakibat fatal dan penyesalan yang tak berguna di Hari Akhir nanti.

            إِذۡ تَبَرَّأَ ٱلَّذِينَ ٱتُّبِعُواْ مِنَ ٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُواْ وَرَأَوُاْ ٱلۡعَذَابَ وَتَقَطَّعَتۡ بِهِمُ ٱلۡأَسۡبَابُ (١٦٦) وَقَالَ ٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُواْ لَوۡ أَنَّ لَنَا كَرَّةً۬ فَنَتَبَرَّأَ مِنۡہُمۡ كَمَا تَبَرَّءُواْ مِنَّا‌ۗ كَذَٲلِكَ يُرِيهِمُ ٱللَّهُ أَعۡمَـٰلَهُمۡ حَسَرَٲتٍ عَلَيۡہِمۡ‌ۖ وَمَا هُم بِخَـٰرِجِينَ مِنَ ٱلنَّارِ

            “Ingatlah ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan komitmen diantara merekapun terputus. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti itu: “Kalau saja kami dapat kesempatan sekali lagi, pasti kami berlepas diri dari mereka sebagaimana mereka berlepas diri dari kami”. Demikianlah Allah perlihatkan kepada mereka bahwa perbuatan mereka hanya berbuah penyesalan atas mereka, dan mereka tidak bisa keluar dari api neraka”. (Al Baqoroh : 166-167)

             يَوۡمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمۡ فِى ٱلنَّارِ يَقُولُونَ يَـٰلَيۡتَنَآ أَطَعۡنَا ٱللَّهَ وَأَطَعۡنَا ٱلرَّسُولَا۟ (٦٦) وَقَالُواْ رَبَّنَآ إِنَّآ أَطَعۡنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَآءَنَا فَأَضَلُّونَا ٱلسَّبِيلَا۟

            “Pada hari mereka dibontang-banting dalam neraka, mereka berkata: “Aduhai! Kalau saja kami mentaati Allah dan Rosul”. Dan mereka berkata: “Ya Robb Kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, ternyata mereka telah menyesatkan kami dari jalan kebenaran”. (Al Ahzab : 66-67)

            Kesadaran yang sudah terlambat dan tak berguna, bahwa ternyata yang mereka taati selama hidupnya itu bukan Allah dan Rosul. Mereka baru sadar bahwa yang mereka taati itu hanya sebatas para “Sayyid” yakni para pemimpin struktural dan para “Kubaro” yakni para penyandang nama besar dan kharismatik. Mereka iyakan dan patuhi saja para “inohong” itu, tanpa meneliti kebenaran dan legalitasnya.

            Dengan hanya mempercayai keterangan mereka itulah semua ummat beragama ini meyakini dan mengamalkan ajaran agamanya, termasuk agama Islam dan Kaum Muslimin. Dengan kenyataan bahwa hampir seluruh muatan ajaran agama ini adalah hal-hal yang gaib, yaitu perbuatan, ucapan dan ajaran Rosululluh dahulu, dan hal ihwal pasca kematian manusia. Segala yang telah berlalu dan yang belum terjadi pada orang yang masih hidup.

            Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa hal-hal tersebut adalah perkara gaib yang tidak mungkin manusia dapat menginderanya, dan hanya Allah satu-satunya yang berhak memberi kabar tentang perkara yang gaib tersebut. Lalu siapa yang lantas merasa berkompeten untuk mengajarkan hal-hal itu tanpa ijin dan rujukan dari Allah? Padahal berita tentang yang gaib, yang Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana memandang perlu untuk diketahui manusia, Dia telah memberitahukannya secara bijak dan tuntas dalam Al Quran.

            Tapi sangat keterlaluan, ternyata manusia tidak menggubrisnya. Malahan mereka menyikapi dan mengapresiasi Al Quran dengan cara yang sangat menjengkelkan Allah. Nyata sekali ungkapan kejengkelan Alah itu pada Kalam-Nya berikut ini:

            إِنَّهُ ۥ لَقَوۡلُ رَسُولٍ۬ كَرِيمٍ۬ (٤٠) وَمَا هُوَ بِقَوۡلِ شَاعِرٍ۬‌ۚ قَلِيلاً۬ مَّا تُؤۡمِنُونَ (٤١) وَلَا بِقَوۡلِ كَاهِنٍ۬‌ۚ قَلِيلاً۬ مَّا تَذَكَّرُونَ

            “Sesungguhnya ia (Al Quran) itu, sungguh merupakan perkataan seorang utusan yang mulia. Ia bukan perkataan seorang penyair, sedikit sekali kamu beriman. Dan bukan perkataan seorang dukun, sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”. (Al Haqqoh : 40-42)

            Kita semua tahu bahwa syair itu dibuat dan dilantunkan orang hanya untuk didengar dan dinikmati keindahannya. Ketika seorang penyanyi melantunkan lirik lagu (walau bermuatan “dakwah” sekalipun) orang hanya menikmatinya sambil bergoyang-goyang, manggut-manggut. Sedikitpun mereka tidak peduli apalagi merespon materi atau kandungan maknanya, walaupun mereka memahaminya. Kemudian kita pun tahu bahwa perkataan seorang dukun yang biasa disebut jampi atau mantera itu, tidak pernah dipedulikan arti atau muatannya, orang hanya butuh “khasiat” atau efek mistis dari mantera tersebut.

            Tapi mengapa orang yang merasa “memiliki” Al Quran ini justru mengapresiasi dan menyikapinya seperti demikian itu. Orang hanya manggut-manggut menikmati Al Quran ketika dilantunkan, kemudian mengaharapkan khasiyat (berkah)nya. Padahal Allah telah menegaskan bahwa Al Quran itu merupakan “perkataan seorang utusan yang mulia” yang tentunya harus diakses, dipahami dan direspon.

            Begitulah akibat ketidakpahaman manusia akan hakikat Al Quran. Sebagainmana uraian pada serial terdahulu, Al Quran yang berada ditangan kita ini hanyalah “potret” dari Al Quran sebenarnya yang Allah tunjuk. Ia tidak bisa mewakili apalagi menggantikan substansi Al Quran yang sebenarnya (yang “aslinya” bukan hasil pemotretan).

            Sejauh keterangan dari Allah, Dia menurunkan Al Quran hanya ke dua “terminal” atau “stasiun”. Pertama ke suatu media yang Allah sebut dengan “Lauh Mahfudz” atau “Kitabun Maknun”.

            إِنَّهُ ۥ لَقُرۡءَانٌ۬ كَرِيمٌ۬ (٧٧) فِى كِتَـٰبٍ۬ مَّكۡنُونٍ۬ (٧٨) لَّا يَمَسُّهُ ۥۤ إِلَّا ٱلۡمُطَهَّرُونَ (٧٩) تَنزِيلٌ۬ مِّن رَّبِّ ٱلۡعَـٰلَمِينَ

            “Sesungguhnya Al Quran itu sungguh merupakan suatu bacaan yang mulia. (Terdapat pada) sutu kitab yang terjaga ketat (Kitabun Maknun). Tidak ada yang bisa menyentuhnya selain “Al Muthohharun”. Yang diturunkan dari Robb Semesta Alam”. (Al Waqiah : 77-80)

            Kemudian berdasarkan konsep (Kalimah-Nya) dan Ilmu-Nya, secara berangsur-angsur diturunkan ke dalam jiwa (hati) Rosulullah.

            وَإِنَّهُ ۥ لَتَنزِيلُ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِينَ (١٩٢) نَزَلَ بِهِ ٱلرُّوحُ ٱلۡأَمِينُ (١٩٣) عَلَىٰ قَلۡبِكَ لِتَكُونَ مِنَ ٱلۡمُنذِرِينَ

            “Sesungguhnya Al Quran itu benar-diturunkan dari Robbul ‘Alamiin. Dihantarkan oleh “Ruh Yang Terpercaya” (Jubaril). Ke dalam hatimu, agar kamu menjadi pemberi peringatan”. (Asy Syu’aro : 192-194)

            Itulah “dua etape” penurunan Al Quran yang Allah lakukan. Selanjutnya, setelah Al Quran itu hidup dan bercahaya di hati Rosulullah, maka Rosul itulah yang memancarkan cahaya Al Quran itu menerangi kehidupan manusia. Dengan ijin dan perintah-Nya ia menayangkan Bacaan Mulia tersebut, dengan membacakannya, mengajari manusia dan menegakkannya, yakni memimpin mereka dalam mewujudkan konsep Kalimatullah untuk menata dan membangunan kehidupan dan peradaban manusia.

            Ketika Rosul “menayangkan” Al Quran itulah, manusia (para Sahabat) mengabadikannya. Mereka “memotretnya” dengan cara menuliskan Al Quran dengan ilmu dan keterampilan mereka, lalu menggandakannya berulang-ulang sampai ke tangan kita sekarang ini. Apa yang ada di hati Rosulullah, yang ia bacakan kepada orang-orang Mukmin, dan ia jadikan landasan dan panduan dalam membangun peradaban pada ummat yang dipimpinnya, itulah Al Quran yang aslinya, yang diturunkan dari sisi Allah.

            Tidak ada satu klausulpun dalam Al Quran yang memerintahkan atau mengatur penulisannya. Bahkan Rosul yang menerimanya pun seorang ummiy yang tidak mengenal tulis baca. Penulisan Al Quran itu sepenuhnya inisiatif manusia dengan ilmu, keterampilan dan aturan yang mereka punya. Sama halnya dengan para juru potret yang terampil mengabadikan berbagai peristiwa. Pihak yang diabadikan tidak tahu menahu, tidak berurusan dan tidak bertanggungjawab dengan apa yang dilakukan para juru potret itu.

            Tapi itulah skenario Allah yang Maha Mengetahui segala yang gaib. Ketika Rosul wafat, menyusul kemudian tatanan kehidupan Qurani yang dibangunnyapun berangsur-angsur pudar (sabagaimana munculnyapun berangsur-angsur). Maka yang ada tinggallah potretnya, yang tidak memiliki legitimasi dan legalitas dari sisi Allah, dan tidak bisa mewakili apalagi menggantikan sosok aslinya, yang berada di Lauh Mahfudz itu.

            Sangat berbeda sekali orang yang membacakan dan memancarkan cahaya Al Quran, setelah Al Quran itu hidup di hatinya, lalu membangun kehidupan dengan konsep Kalimah-Nya, dengan orang-orang yang hanya memamerkan potretnya, kemudian ber-rethorika tentangnya. Mereka yang terakhir itulah yang Allah sebut “Ahli Kitab”.

            قُلۡ يَـٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَـٰبِ لَسۡتُمۡ عَلَىٰ شَىۡءٍ حَتَّىٰ تُقِيمُواْ ٱلتَّوۡرَٮٰةَ وَٱلۡإِنجِيلَ وَمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُمۡ‌ۗ 

            “Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, kamu tidak punya arti apapun (tidak dipandang beragama sedikitpun) sehingga kamu (kalau kamu tidak) menegakkan Taurot, Injil dan apa-apa (Al Quran) yang ditunrunkan kepadamu dari Robb-mu...” (Al Maidah : 68)

            Kembali kepada perkara yang gaib.

            Jika Nabi Nuh, Nabi Zakariya dan tentunya semua manusia di zaman lalu, Allah katakan sebagai hal gaib bagi Nabi Muhammad, dan beliau baru mengetahui tentang mereka itu setelah Allah mengabarinya, lalu bagaimana dengan Muhammad Rosulullan dan orang-orang yang bersamanya bagi kita sekarang? Bukankah itu pun hal yang gaib juga? Dari mana pengetahuan kita yang benar dan sah tentang mereka itu kalau bukan dari Allah? Sedangkan dalam Al Quran Allah tidak sedikitpun mengisahkan tentang Muhammad, kecuali menyatakan bahwa beliau itu Rosulullah, penutup Para Nabi, dan Al Quran itu ditunkan kepada beliau.

            Dengan demikian apapun yang diajarkan orang yang berhubungan dengan Muhammad Rosulullah, baik itu ihwal dirinya maupun apa yang dilakukan dan diajarkannya, itu bukan bagian dari urusan Allah untuk kita sekarang ini, melainkan hal yang diada-adakan orang. Sebagaimana apa yang dijalani dan dijalankan oleh Rosul-rosul sebelumnya bukan merupakan bagian dari risalah untuk zaman beliau, kecuali yang Allah terangkan dan tetapkan kembali dalam Al Quran.

            تِلۡكَ أُمَّةٌ۬ قَدۡ خَلَتۡ‌ۖ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَلَكُم مَّا كَسَبۡتُمۡ‌ۖ وَلَا تُسۡـَٔلُونَ عَمَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

            “Itulah ummat yang telah berlalu. Bagi mereka adalah apa yang telah mereka usahakan, dan bagi kamu adalah apa yang kamu usahakan. Dan kamu tidak akan ditanya tentang apa yang mereka lakukan”. (Al Baqoroh : 141)

            Bagaimana mungkin, jika Allah telah menegaskan bahwa tidak seorangpun yang dapat mengetahui hal yang gaib kecuali Dia sendiri, tetapi kemudian ajaran-Nya sangat bergantung kepada apa yang dialami dan diajarkan Muhammad Rosulullah, perkara yang gaib, dan kita tidak memiliki fakta apapun kecuali berita dari mulut ke mulut, yang Allah sendiri menegaskannya sebagai tidak sah untuk bukti kebenaran.

            Mustahil Allah menyuruh kita mempelajari sesuatu yang telah Dia tatapkan sebagai hal yang tidak bisa diketahui oleh siapaun di langit dan di bumi, kecuali Dia sendiri. Pasti telah terjadi pemalsuan yang sangat mendasar dan besar-besaran terhadap Ajaran Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna ini, dan telah berlangsung selama berabad-abad, mendominasi secara total pemikiran dan keyakinan Kaum Muslimin di seluruh penjuru planet bumi ini.

            Boleh-boleh saja orang mengisahkan apapun tentang orang-orang dahulu atau tentang apa saja. Bahkan mengarang cerita fiksi sekalipun. Tetapi tidak boleh lantas dihubungkan apalagi dipasang permanen sebagai bagian fundamental dari Agama Allah (Al Islam). Itu pemalsuan yang sangat vulgar, dan kejahatan (Kedholiman) yang paling besar.

            Bersyukur sekali bahwa sejumlah orang dahulu (mulai para Sahabat Rosulullah) telah mengabadikan (memotret) Al Quran untuk kita dan semua manusia, sehingga bacaan yang terdapat di Lauh Mahfudz itu bisa tetap kita kenali. Memang telah banyak tangan-tangan ilegal menjamah dan mengubah-ubahnya, tetapi itu hanya bisa dilakukan orang pada penerjemahan dan “penafsiran”.

            Setelah ditelusuri secara cermat dan hati-hati selama beberapa dekade melalui bahasa aslinya (Bahasa Arab), ternyata telah terjadi pengubahan makna dan pengertian hampir pada seluruh substansi yang Allah terangkan. Dan semua itu berpangkal pada tiga terminologi yang paling mendasar dan paling eksklusif dari konsep Samawi (Konsep Kalimatullah), yakni pengertian tentang WAHYU, tentang AL KITAB (sebagaimana diuraikan di atas, dan pada serial terdahulu), dan pengertian tentang ROSUL.

            Jika ketiga terminologi induk dan paling mendasar dari Konsep Dienullah itu dipalingkan maknanya, maka pantaslah tidak tersisa satu titikpun dari Ajaran Samawi ini yang masih dipahami secara benar, original, legal dan aktual.

            Insyaallah pada serial berikutnya, kita singkap hakikat Wahyu dan hakikat Rosul.
            Save
            Name

            Dakwah Ilallah,12,Jalan Keselamatan,7,Jurnal Roqim,1,Kajian Lepas,42,Manhaj Risalah,12,
            ltr
            item
            Ini Islam: Menyingkap Alam Gaib
            Menyingkap Alam Gaib
            https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghx4lmh91IXtcfa_Fvr4TrZptl2_oiimRMNfL8UL7telO0cgo7S9cxkQJLA3Gb146WXePVxsdxp5Yn4hLBY4oH5slbpMoWbBGx7c_v3u_3dBEKolDh_ohkoLR_FTsH6oBNIc-ToGnnurw/s640/menyingkap-alam-gaib.png
            https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghx4lmh91IXtcfa_Fvr4TrZptl2_oiimRMNfL8UL7telO0cgo7S9cxkQJLA3Gb146WXePVxsdxp5Yn4hLBY4oH5slbpMoWbBGx7c_v3u_3dBEKolDh_ohkoLR_FTsH6oBNIc-ToGnnurw/s72-c/menyingkap-alam-gaib.png
            Ini Islam
            http://www.iniislam.net/2017/01/menyingkap-alam-gaib.html
            http://www.iniislam.net/
            http://www.iniislam.net/
            http://www.iniislam.net/2017/01/menyingkap-alam-gaib.html
            true
            7017169815549685310
            UTF-8
            Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share to a social network STEP 2: Click the link on your social network Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy Table of Content