Menyingkap Penyalah Artian Wahyu

SHARE:

Sejak berabad-abad yang lalu, manusia telah mengembangkan filsafat untuk memahami hakikat hidup dan kehidupan ini, kemudian mencari-cari bentuk formulasi untuk dapat menata kehidupan ini dengan sistem yang dipandang benar dan membawa manfaat bagi kehidupan manusia itu sendiri.

menyingkap-penyalah-artian-wahyu

I. PENDAHULUAN

Sejak berabad-abad yang lalu, manusia telah mengembangkan filsafat untuk memahami hakikat hidup dan kehidupan ini, kemudian mencari-cari bentuk formulasi untuk dapat menata kehidupan ini dengan sistem yang dipandang benar dan membawa manfaat bagi kehidupan manusia itu sendiri.

Berbagai teori produk filsafat dibidang kehidupan sosial manusia muncul ke permukaan dan saling berebut dukungan dan kesempatan untuk diaplikasikan dalam menata kehidupan masyarkat, dan diuji keampuhannya dalam mengantarkan manusia menuju apa yang dicita-citakannya, yang kemudian disebut “ideologi. “Uji keampuhan” tersebut antara lain tercermin dalam kemampuannya bersaing dengan ideologi-ideologi lainnya, dalam berebut dukungan masyarakat dunia, dan keberhasilannya dalam membangun peradaban manusia.

Di tengah-tengah persaingan ideologi tersebut, muncullah Islam yang sempat dua kali tampil berjaya. Pertama dengan tegaknya “Mulki Sulaiman” di tatar Palestina sekitar enam abad sebelum masehi, Kemudian yang kedua, tegaknya “Peradaban Islam” yang dibangun Rosulullah Muhammad s.a.w. di kota Madinah di jantung tanah Arab. Dari Peradaban Madinah ini, terus berkembang dan menampilkan kejayaan Islam secara menakjubkan dan mempesona dunia, selama kurun waktu tertentu.

Perjalanan sejarah Islam dan Ummat Islam masa Rosulullah sampai masa-masa para Kholifah sesudahnya, telah cukup menjadi “pengetahuan umum” di kalangan Umat Islam, sebagai catatan tinta emas, dan nostalgia di hati Ummat Islam, menjadi catatan indah yang sampai hari ini belum pernah terulang.

Perjalanan sejarah tersebut tidak akan menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini, kecuali sedikit catatan sejarah, yaitu pada zaman kejayaan Islam, cukup tampak secara nyata bahwa Islam itu “Ya’lu wala yu’la ‘alaih” (tinggi dan tidak ada yang melampaui ketinggiannya). Ideologi-ideologi produk filsafat itu, tampak kecil tak berarti diperhadapkan dengan Islam. Dunia Barat terkesan “primitif” dihadapkan dengan Islam waktu itu.

Sampai ketika perpecahan demi perpecahan mulai menggejala secara lebih nyata (yang sebenarnya benih-benih perpecahan itu sudah mulai muncul dan terinkubasi sejak wafatnya Rosulullah), ummat Islam semakin lemah dan lemah, sehingga akhirnya hampir seluruh dunia Islam yang terbentang dari Maroko sampai hampir ke Merauke, jatuh tak berdaya dibawah telapak kaki “kolonialisme”, selama berabad abad.

Dalam posisi terjajah, sudah barang tentu Umat Islam tidak punya kemampuan sedikitpun untuk mengusung Al Islam sebagai sebuah sistem kehidupan dan tampil bersaing dengan sistem produk filsafat (buatan manusia). Islam tercabik dan tersudutkan pada posisi yang dipandang hanya sebatas sistem kepercayaan dan sistim ritual, dimana kaum penjajahpun tidak keberatan untuk memberinya ruang gerak sebatas itu.

Al Islam itu sesuatu yang hidup dan “bernyawa” (“Al Muayyad Bi`r Ruhi`l Qudus”). Maka setiap yang bernyawa, ketika ia terpecah-pecah dan tercabik-cabik, pasti mati tak bernyawa lagi. Sehingga tidak heran, ketika Ummat Islam hidup dalam keterjajahan, yang hidup di hati mereka adalah rasa penderitaan sebagai sebuah “Bangsa” (“nation”) yang dijajah oleh bangsa lain, tanah air sebagai sumber penghidupannya dirampas dan dikuasai bangsa lain.

Bukan penderitaan “Ummat” yang dijajah oleh ummat lain, Sistem Samawi yang harus mengatur hidupnya tidak bisa tegak sebagaimana tuntutan Imannya. Bukan itu. Karena Ruh Islam sudah tidak ada lagi, bahkan jauh sebelum mereka menjadi bangsa terjajah.

Maka semangat untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan itupun adalah semangat “Nasionalisme”. Meskipun masih terlihat ada warna-warna “Ruhul Jihad”, namun dalam takaran yang sangat kecil dan rancu, maka tergiling larut dalam semangat nasionalisme tadi. Ketika kemerdekaan itu akhirnya berhasil diraih, Ummat Islam sudah tidak mengenal lagi agamanya sebagaimana mestinya. Jiwa dan semangat Nasionalismelah yang menjadi dasar cita-cita dalam membangun kehidupan bangsa-bangsa yang baru merdeka itu.

Secara perlahan dan tidak begitu terasa, isme-isme buatan manusia itu telah berhasil “membunuh” Islam. Tentunya bukan berarti melenyapkan atau mengubur Islam, melainkan membuat Islam bukan lagi sebagai ajaran yang “hidup” sebagai mestinya sebuah ajaran samawi. Islam tinggal cabikan-cabikan atributnya saja, berubah wujud dan sifatnya. Dari “Sistem Hidup” yang kaaffah dan universal, menjadi “Agama” atau “Kepercayaan” yang dianut oleh sebagian masyarakat Nasionalis, dengan ciri “Kitab Suci” dan “uparacara ritual”. Menempati posisi yang sama dengan agama-agama lain, sebagai salah satu bentuk (sistem) kepercayaan masyarakat yang harus “dipelihara” dan dihormati.

Ummat Islam masih punya kesadaran bahwa Islam itu bukan sekedar “Agama” seperti dalam pandangan para ahli Antropologi. Islam seharusnya tegak menguasai dan mengatur manusia. Masih ada semangat mereka untuk berjuang menegakkan Islam. Namun gambaran tentang Dienul Islam dalam pikiran dan hati mereka, bahwa selama ini Islam dalam keadaan “terbaring” dan tidak tegak.

Satu pengertian yang sangat mendasar yang tidak disadari, adalah bahwa Islam itu sesuatu yang hidup. Hidup dengan Ruh dari sisi Allah. Karena pengertian dan kesadaran seperti itu tidak ada, maka perjuangan menegakkan Islam di mana-mana, seperti halnya membangunkan sesuatu yang sedang “terbaring” itu. Sama dengan memperjuangkan ideologi-ideologi yang lain, yakni dengan bersaing, berebut dukungan dan kekuatan, mengembangkan aksi-aksi sosial, dan sebagainya.

Bentuk perjuangan seperti itu tiada lain diilhami oleh produk filsafat manusia, sebagaimana memperjuangkan sebuah “ideologi”, yang dalam pandangan Allah tiada lain hanyalah “ambisi” (hawahu). Bukan begitu jalan dan cara perjuangan Iqomuddien menurut petunjuk Allah. Cara (petunjuk) Allah itu benar-benar “eksklusif” tidak ada duanya di alam ini, berbeda sekali dengan produk pikiran manusia, tidak berorientasi ke barat atau ke timur (La syarqiyyah wala ghorbiyyah).

Selama Al Islam itu tetap dalam keadaan “mati” seperti sekarang ini dan dibiarkan saja mati, sampai kiamat pun tidak akan pernah bisa ditegakkan lagi, maka tidak akan pernah dijumpai Islam yang sebenarnya, Islam yang “hidup” dan “bercahaya terang”.

Dengan demikian, memperjuangkan tegaknya Dienullah ini, adalah perjuangan untuk “menumbuhkan suatu kehidupan”. Harus diawali dengan penelitian yang mendalam, berpuluh-puluh tahun, sebelum bisa melakukan sesuatupun. Ibarat para pakar “bio teknologi”, melalui riset puluhan tahun, baru kemudian mampu “membuat” bayi tabung atau melakukan cloning.

Menghidupkan kembali apa saja yang sudah mati, bukan masalah bagi Allah. Namun walaupun demikian, apa yang Allah nyatakan dengan ungkapkan dengan “Kun Fayakuun” itu bukanlah “Sim Salabim”. Melainkan sesuatu yang akan berjalan dan berproses menurut kaidah “Sunnatullah” yang bisa terbaca oleh hati dan fikri yang sehat dan awas, dalam penelitian yang cermat dan mendalam.

Menghidupkan kembali yang sudah mati itu, bukan berarti batang tubuh atau bangkai yang mati (apalagi sudah tercabik-cabik) itu bisa bangun lagi dan hidup. Melainkan memunculkan lagi individu (wujud) baru yang hidup, menggantikan wujud yang sudah mati. Kemudian bagaimana proses munculnya kehidupan atau sesuatu yang hidup itu, Allah cukup menunjukkannya dalam Al Quran, dan peristiwa nyata yang banyak terjadi di depan mata.

Dengan ciri-ciri kehidupan yang tampak nyata diketahui semua orang, maka persoalan yang menyangkut ihwal Dienul Islam yang sedang dihadapi ini adalah, bagaimana kita harus mengupayakan sebuah proses, agar bisa “terlahir kembali” Dienul Islam yang hidup dan “bernyawa” itu. Ibarat petani yang tanaman di kebunnya telah ditebang habis, ingin memenuhi kembali kebunnya dengan tanaman, maka dia akan menanami lagi kebunnya itu dengan benih tanaman yang baru, bukan dengan “membangunkan” lagi pohon-pohon yang sudah ditebang tadi.

قَالُواْ يَـٰوَيۡلَنَآ إِنَّا كُنَّا ظَـٰلِمِينَ (١٤) فَمَا زَالَت تِّلۡكَ دَعۡوَٮٰهُمۡ حَتَّىٰ جَعَلۡنَـٰهُمۡ حَصِيدًا خَـٰمِدِينَ

Mereka berkata: “Aduhai, celaka kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang dzalim. Maka tetaplah keluhan mereka sehingga Kami jadikan mereka sebagai tanaman yang sudah ditebang dan tidak dapat hidup lagi. (Al Anbiya : 14-15)

Fenomena ummat sekarang ini, ya seperti itulah. Islam tinggal jadi kepingan-kepingan yang tercabik-cabik. Diantara kepingan itu ada yang tampak masih “utuh dan bagus” (yang memang Allah berjanji untuk menjaganya) yakni “Adz Dzikr” yaitu Al Quran dan sholat (amalan ritual). Maka tinggal itu saja yang tersisa, dan hanya dengan kepingan-kepingan yang mati (tanpa ruh) itu, orang merasa beribadah dan beramal sholeh.

Yang menjadi “unsur-unsur utama” dari Dienul Islam yang membuatnya “hidup” (dalam hati dan kehidupan manusia) adalah “Wahyu”, “Al Kitab” dan “Rosul”, yang berinteraksi sedemikian rupa sebagimana interaksi antara benih, media (tanah) dan unsur-unsur hara yang membuat tumbuh dan hidupnya tanaman.

Selama berabad-abad ini, interaksi seperti demikian itu tak pernah terjadi lagi, dan tidak bisa terjadi. Ketiga unsur utama tadi, keberadaan (tashowwur)-nya di hati manusia telah demikian amburadulnya, bagaimana bisa hidup dan tumbuh. Ibarat sebutir buah kelapa tua, tertanam dalam tanah setelah dicincang-cincang, bukannya akan tumbuh tunas pohon kelapa, melainkan akan semakin membusuk. Inilah persoalan paling mendasar yang harus benar-benar disadari.

Dalam rangka mengembangkan upaya sungguh-sungguh untuk dapat “menumbuhkan” kembali Dienul Islam sebagai sesuatu yang hidup, kita harus mampu meluruskan dan menjernihkan kembali visi, persepsi dan pemahaman kita atas ketiga substansi inti dari Konsep Samawi “Dienul Islam” ini, yaitu : “WAHYU”, “AL KITAB” DAN “ROSUL”.

Pada ketiga substansi inti itulah terdapatnya “sel-sel kehidupan” Ajaran Samawi, yang tidak terdapat pada isme-isme buatan manusia yang hanya merupakan sosok wujud yang mati dan tak bernyawa. Oleh sebab itu, betapapun kita harus mampu terlebih dahulu “menyelamatkan” dan menjernihkan konsep (tashowwur) ketiga substansi inti tadi dalam hati manusia, agar bisa terjadi kembali “konsepsi”, untuk bisa mencuatkan kembali kehidupan di hati tersebut.

Terdapat dua kondisi atau keadaan yang tidak akan memungkinkan terjadinya “konsepsi” dimaksud, yaitu:
  1. Sel-sel kehidupannya mati tak terselamatkan.
  2. Terdapat penghalang atau rintangan untuk terjadinya konsepsi tersebut, yang biasa kita kenal dengan sebutan “kontarsepsi”
Untuk mendapatkan sel-sel kehidupan itu, relatif tidak sulit. Kehidupan itu milik Allah yang Rahman Rahim, dan unsur-unsur kehidupan banyak terdapat pada khasanah Allah yang tak terbatas.

Yang paling berat adalah menyingkirkan rintangan-rintangan kontrasepsi itu. Kekuatan Syaithoni akan terus menghalang-halangi dengan “memasang” dan menanamkan beraneka ragam dalih di hati manusia untuk mencegah terjadinya konsepsi yang menghidupkan hati itu.

Allah mengutuk siapa saja yang menghalang-halangi jalan Allah ini, dan menyebutnya sebagai “penjahat paling besar”.

أَوَمَن كَانَ مَيۡتً۬ا فَأَحۡيَيۡنَـٰهُ وَجَعَلۡنَا لَهُ ۥ نُورً۬ا يَمۡشِى بِهِۦ فِى ٱلنَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُ ۥ فِى ٱلظُّلُمَـٰتِ لَيۡسَ بِخَارِجٍ۬ مِّنۡہَا‌ۚ كَذَٲلِكَ زُيِّنَ لِلۡكَـٰفِرِينَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ (١٢٢) وَكَذَٲلِكَ جَعَلۡنَا فِى كُلِّ قَرۡيَةٍ أَڪَـٰبِرَ مُجۡرِمِيهَا لِيَمۡڪُرُواْ فِيهَا‌ۖ وَمَا يَمۡڪُرُونَ إِلَّا بِأَنفُسِہِمۡ وَمَا يَشۡعُرُونَ 

Dan apakah orang-orang yang keadaannya mati lalu Kami hidupkan dan Kami jadikan cahaya untuknya, yang dengan cahaya itu dia bisa berjalan di kalangan manusia, sama halnya dengan orang yang dalam kegelapan yang tidak bisa keluar dari kegelapan itu? Demikianklah dihiaskan bagi (dianggap baik dalam pandangan) orang-orang kafir itu, apa yang mereka lakukan.

Dan demikianlah Kami jadikan di tiap-tiap negeri (komunitas manusia) itu “penjahat-penjahat paling besar”, untuk selalu melakukan tipu daya di dalamnya. Padahal tidaklah mereka memperdayakan, kecuali dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak menyadari. (Al An’am : 122-123)

Di sebuah mimbar, seseorang mengoreksi terjemahan Depag. pada frase “Akaabiro Mujrimiiha” yang diartikan “penjahat-penjahat paling besar”. Katanya itu salah, mestinya: “Pembesar-pembesar jahat”. Ini adalah suatu gejala hyper correct (koreksi yang tak perlu) yang tendensius dan berbau provokasi. “Mujrimin” itu isim fa’il (pelaku), artinya “pelaku kejahatan” alias penjahat, akaabir itu isim tafdhil, artinya paling besar.

Begitulah jika Al Quran dibawa ke kancah politik, akan terkotori dengan berbagai tendensi dan provokasi. Mau “menghantam” pembesar, itu suka-suka dia, tapi jangan pakai Al Quran. Kotor !!

Ayat Al An’am : 123 diatas, masih kelanjutan ayat sebelumnya. Jadi pembesar paling jahat itu, dia yang selalu menanamkan “kontrasepsi” yang merintangi hidupnya kembali hati orang yang sudah mati agar tetap dalam kegelapan. Tetapi ia sendiri, dan banyak orang yang terpesona akan kefasihan lidahnya, menganggap tindakannya itu “heroik”, saking tingginya “ghiroh ke-Islaman”.

Para pemasung hati itulah yang harus selalu diwaspadai, karena mereka ini sangat tidak ingin melihat perubahan terjadi, yang akan mengganggu kenyamanan yang sedang dinikmatinya.

II. PEMAHAMAN YANG MAPAN TENTANG WAHYU

Deviasi Akibat Dari “Definisi”

Salah satu kesepakatan seluruh Ummat Islam sepanjang zaman dan tidak pernah berubah, yaitu bahwa Dienul Islam itu bukan ajaran yang dikarang oleh manusia, melainkan berasal dari sisi Allah, yang pokok-pokok ajarannya tertuang dalam Al Quran yang diturunkan kepada manusia melalui Wahyu yang disampaikan kepada Rosulullah Muhammad s.a.w.

Pernyataan demikian itu, jika dipandang sebagai rumusan identifikasi atas Agama Islam untuk membedakan dengan agama atau ajaran lain yang ada dalam kehidupan manusia dewasa ini, tidak ada keraguan atas kebenarannya. Akan tetapi jika dipandang sebagai sebuah “definisi” Dienul Islam, dengan rumusan seperti demikian akurasi dan validitasnya tidak cukup terpenuhi.

Pengalaman di dunia keilmuan telah banyak menunjukkan bahwa setiap para ahli membuat sebuah definisi tentang sesuatu, selalu ada saja titik-titik kelemahannya, dan mendorong yang lainnya untuk mengemukakan definisi lain lagi, maka muncullah beda pendapat.

Tetapi perbedaan pendapat di bidang ilmu-ilmu yang tidak berkaitan langsung dengan keyakinan atau keimanan, dan tidak ada hambatan moril apapun bagi setiap orang untuk mengoreksi bahkan menolaknya, bukanlah masalah yang serius.

Lain halnya apabila definisi-definisi tersebut menyangkut tataran keilmuan dan pandangan tentang Dienullah. Maka akan sangat rawan akibatnya bagi kemurnian dan kelurusan visi dan pandangan, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap kebersihan tashowwur (visi dan persepsi) manusia terhadap konsep samawai Dienullah ini.

Di lain pihak, karena dunia agama itu dipandang sebagai dunia yang sakral dan suci, maka semua orang merasa gamang dan tabu untuk melakukan koreksi-koreksi terhadap klausul-klausul dalam ajaran agama. Bahkan definisi-definisi yang dibuat orang pun tidak jarang lantas disakralkan lagi dan dijadikan pijakan atau “dalil” dalam pengembangan “wawasan keislaman", termasuk hukum atau Syari’at Islam, sepertinya definisi buatan ulama itu bagian dari Kitab Suci.

Tetapi sepertinya, para “pakar ke-Islaman” yang biasa disebut “Ulama”, tidak cukup peduli akan kerawanan tersebut di atas, dan mengikuti saja “gaya” para ilmuwan dengan merumuskan berbagai definisi (ta’rif) mengenai berbagai hal dalam tataran keilmuan Dienul Islam. “Kegemaran” akan modus definisi ini didorong pula dengan adanya kesan “berilmu” pada orang yang banyak “hafal” definisi-definisi tersebut. Apalagi jika dituturkan dalam Bahasa Arab. Kesan “ke-ulama-annya” terasa lebih kental.

Padahal di dalam Al Quran, Allah tidak pernah menyajikan informasi atau penjelasan tentang sesuatu dengan mengunakan modus definisi, melainkan dengan menguraikan ciri-ciri (deskripsi karasteristik atau uraian identifikasi), perumpamaan, analogi (perbandingan), dan sebagainya.

Implikasi Pendefinisan Wahyu

Salah satu “korban” pendefinisian itu, antara lain: WAHYU, yang untuk memberi pengertian (ta’rif) tentang wahyu ini diluncurkan definisi sebagai berikut:

Wahyu adalah “Firman Allah yang disampaikan kepada para Nabi dan Rosul-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril”.

Dan selama ini tidak pernah terdengar (paling tidak oleh penulis) suatu sanggahan atau keberatan terhadap definisi tersebut.

Sebagai implikasi dari definisi di atas, ada dua hal penting yang menentukan alur pemahaman bahkan keyakinan ummat Islam lebih lanjutnya, yait :
  1. Karena wahyu itu adalah firman Allah yang disampaikan kepada para Nabi dan Rosul, maka oleh sebab itu, ketika Allah dalam Al Qur’an menggunakan kata “AUHA” (Dan kata bentukan –tashrif-nya) yang ditujukan kepada selain Nabi dan Rosul, atau yang pelaku (fa’il) dari kata “auha” itu bukan Allah, hampir semua orang menerjemahkan kata “auha–yuuhi” tersebut (lihat terjemahan Depag.), dengan kata yang lain. Berdasarkan anggapan (dugaan) bahwa yang dimaksud dalam hal itu, bukan wahyu (mewahyukan).
  2. Karena kenabian dan kerasulan telah berakhir dengan berlalunya Nabi Penutup yaitu Nabi Muhammad s.a.w, maka tidak ada lagi wahyu yang Allah turunkan. Atau dengan kata lain, Allah tidak lagi melakukan apa yang dimaksud dengan kata kerja “auha” (= mewahyukan). Maka tugas Malaikat Jibril pun …(?)
Beberapa contoh dari implikasi yang pertama di atas, pada Al Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama, kata “Auha-Yuuhi”, diterjemahkan dengan beberapa kata yang lain, diantaranya:

1. MENGILHAMKAN

Yaitu yang dilakukan Allah kepada Hawariyyin (pengikut Nabi Isa), dan kepada Ibunya Musa.

وَإِذۡ أَوۡحَيۡتُ إِلَى ٱلۡحَوَارِيِّـۧنَ أَنۡ ءَامِنُواْ بِى وَبِرَسُولِى قَالُوٓاْ ءَامَنَّا وَٱشۡہَدۡ بِأَنَّنَا مُسۡلِمُونَ

Dan (ingatlah) katika Aku ILHAMKAN kepada pengikut Isa yang setia: “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada Rasul-Ku. Mereka menjawab: Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai Rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu). (Al Maidah : 111)

إِذۡ أَوۡحَيۡنَآ إِلَىٰٓ أُمِّكَ مَا يُوحَىٰٓ

Yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan. ( Thoha : 38)

2. MEMERINTAHKAN

Yaitu yang disampaikan kepada bumi.

بِأَنَّ رَبَّكَ أَوۡحَىٰ لَهَا

Karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang demikian itu) kepadanya. ( Al Zalzalah : 5)

Tetapi yang tertuju kepada langit, pada Fushilat : 12 dan kepada lebah pada An Nahl : 68, Depag. tetap menerjemahkan dengan kata “mewahyukan”.

3. MEMBISIKKAN

Yaitu yang dilakukan oleh syetan kepada sesamanya,

يُوحِى بَعۡضُهُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٍ۬ زُخۡرُفَ ٱلۡقَوۡلِ غُرُورً۬ا‌ۚ

…Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian-sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)… (Al An’am : 112)

4. MEMBERI ISYARAT

Yaitu yang dilakukan oleh Nabi Zakariya kepada kaumnya.

فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوۡمِهِۦ مِنَ ٱلۡمِحۡرَابِ فَأَوۡحَىٰٓ إِلَيۡہِمۡ أَن سَبِّحُواْ بُكۡرَةً۬ وَعَشِيًّ۬ا

Maka ia keluar dari mihrob menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka, hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang. ( Maryam : 11)

Bisakah dibenarkan, atau sahkah penerjemahan kata “auha”/ “yuuhii” itu dengan: mengilhamkan, memerintahkan, membisikkan dan memberi isyarat?

Perlu diingat bahwa kata “AUHA–YUUHI” yang salah satu bentuk masdarnya “WAHYU”, adalah bahasa Arab (bahasa Al Quran) yang tidak ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Kemudian bahasa Indonesia mengadopsi atau menyerap langsung kata tersebut ke dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia dan membentuknya dengan morfologi Indonesia, yaitu dengan pengimbuhan. Maka jadilah kata “mewahyukan” atau “diwahyukan”.

Dengan demikian apabila orang menerjemahkannya dengan kata yang lain, itu bukannya menerjemahkan, melainkan mengganti kata-kata (lafadh/kalimat) Al Quran dengan kata yang lain itu. Hal ini sangat tidak dibenarkan, dan akan berakibat terjadinya kerancuan atau deviasi pada konsep atau pikiran orang. Lagi pula, untuk menyatakan sesuatu yang dimaksud dengan kata “mengilhamkan”, “membisikkan”, “memerintahkan”, “mengisyaratkan” dan lain-lain, bahasa Al Quran punya kata yang lain, dan tidak ada halangan apapun bagi Allah untuk menggunakanya.

Allah tidak akan menggunakan kata “auhaa”, kalau memang maksudnya lain dengan makna yang dimaksud dengan kata itu. Apa lagi untuk kata “membisikkan”, “memerintahkan”, “mengisyaratkan”, yang maknanya begitu jauh berbeda.

Wahyu dan Ilham Tidak Serumpun

Kita coba dekati salah satu yang terkesan maknanya berdekatan, padahal sebenarnya jauh berbeda, yakni: “MENGILHAMKAN”.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kata “mengilhamkan”? Bisakah menggantikan apa yang Allah informasikan dengan kata “auha” (mewahyukan)? Karena memang dalam suatu penerjemahan, bisa saja menggunakan kata yang tidak persis sebagai terjemahnya, dalam rangka penyesuaian dengan gaya dan karakter bahasa masing-masing yang berbeda.

Seperti halnya “wahyu”, “ilham” pun kata serapan dari bahasa Al Qur’an. Dan kata “ilham” itu yang hanya terdapat satu kali dalam Al Quran, yaitu :

وَنَفۡسٍ۬ وَمَا سَوَّٮٰهَا (٧) فَأَلۡهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقۡوَٮٰهَا

Demi jiwa dan apa-apa yang memperkembangkannya (sampai taraf tertentu), lalu mengilhaminya (mengilhami jiwa itu), kedurhakaannya dan ketaqwaannya. (Asy Syams : 7-8 )

Pada ayat diatas, yang menjadi “fa’il” (pelaku) dari kata “alhama” itu bukanlah Allah (seperti pada terjemahan Depag), melainkan “maa sawwaahaa”, yakni segala sesuatu yang terindera, yang membuat jiwa manusia tumbuh berkembang sejak bayi dan seterusnya sampai tingkat tertentu.

Kita tahu dari ilmu jiwa perkembangan, bahwa faktor yang membuat jiwa manusia tumbuh berkembang antara lain: pendidikan/ pengajaran dan pengaruh lingkungan. Semua itu menjadi “entry” ke dalam jiwa manusia melalui gerbang pancainderanya, kemudian menumbuhkan karakter dan sifat-sifat jiwa/ kepribadiannya, baik yang bersifat positif (taqwaahaa) maupun negatif (fujuurohaa). Alangkah naifnya jika dikatakan bahwa Allah mengilhamkan kedurhakaan (kefasikan) ke dalam jiwa manusia, seperti pada terjemahan Depag itu.

Kedurhakaan manusia itu (seperti halnya juga ketaqwaannya) terbentuk (terilhamkan) oleh apa yang “diserap” (diakses) oleh jiwanya, yang membuat jiwanya itu tumbuh berkembang (Ma Sawwaahaa). Yang terakhir inllah (Ma Sawwaha) yang menempati posisi fa’il (subjek) dari proses Alhama itu.

Hanya satu-satunya kata “Alhama” terdapat dalam Al Quran, dengan fa’il yang bukan Allah itu. Dan tidak ada pula kata lain yang merupakan perubahan bentuk (tashrif) dari kata tersebut. Dengan kata lain, Allah tidak pernah mengatakan bahwa Ia pernah melakukan (menjadi fa’il) dari tindakan atau peristiwa “alhama” atau mengilhamkan itu. Karena kalau merujuk kepada kata “alhama” yang Allah gunakan pada ayat diatas, kemudian Allah diposisikan sebagai fa’ilnya, maka berarti Allahlah yang menjadi “entry” pada proses pengilhaman (pembentukan jiwa) itu. Benarkah ini? Gambarannya jadi rancu dan semerawut.

Jadi dengan demikian, bisakah kedua kata yang Allah gunakan dalam Al Quran, yakni “Auhaa” dan “Alhama” yang mengacu kepada pelaku dan fenomena yang berbeda, dipertukarkan begitu saja tanpa terjadi deviasi (pelencengan) pada konsep pemahaman orang? Karena pelencengan sedikit saja dibagian pangkal (hulu), akan melenceng semakin jauh pada pemahaman selanjutnya. Sedangkan Allah begitu keras melarang bahkan mengutuk tindak pelencengan terhadap jalan Allah, sebagaimana firman-Nya:

فَأَذَّنَ مُؤَذِّنُۢ بَيۡنَہُمۡ أَن لَّعۡنَةُ ٱللَّهِ عَلَى ٱلظَّـٰلِمِينَ (٤٤) ٱلَّذِينَ يَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ وَيَبۡغُونَہَا عِوَجً۬ا

...Maka seorang pemberi maklumat memaklumatkan di antara mereka bahwa laknat Allah bagi orang-orang yang dholim, yaitu orang-orang yang menghalangi (manusia) dari Jalan Allah dan menginginkannya jadi melenceng... (Al A’rof : 44-45)

Kalau kemudian Bahasa Indonesia menyerap kata ilham tersebut menjadi perbendaharaannya untuk menyatakan maksud yang lain (inspirasi, misalnya), itu sah-sah saja. Tetapi ketika digunakan untuk mengalih bahasakan Al Quran, untuk memahami substansi materi yang Allah jelaskan, harus dipahami secara hati-hati. Walaupun tidak terlalu salah untuk mengistilahkan “ilham” pada kasus Ibunya Musa dan Hawariyyin seperti tersebut di atas, namun bisa berdampak terkebiri atau terpalingkannya makna wahyu dan mewahyukan pada bagian-bagian lain dari Al Quran itu sendiri.

III. PELURUSAN MAKNA WAHYU

Telusur Etimologis

Berpijak pada prinsip bahwa yang paling tahu akan makna atau maksud sebuah perkataan adalah dia yang menuturkan perkatan itu sendiri, bahkan buku kamus bahasapun tidak cukup untuk dijadikan acuan yang mutlak. Yang harus kita lakukan adalah mencari tahu, peristiwa atau fenomena apa yang terjadi, yang menyertai atau yang diungkapkan dengan perkataan tersebut.

Cara primer dalam memahami suatu bahasa tertentu, bukanlah dengan melihat kamus untuk setiap kata-kata dalam bahasa tersebut, dan bukan pula lewat penerjemah. Melainkan dengan memperhatikan dan menghubungkan setiap ungkapan kata dengan substansi yang dimaksud dengan kata tersebut.

Ambil contoh misalnya seorang Batak tinggal di Jawa Barat yang berbahasa Sunda, setelah sekian lama ia akan bisa mengerti bahsa Sunda itu, bukan lewat juru terjemah ataupun buku kamus, melainkan dengan memperhatikan setiap perkataan orang dengan apa (sesuatu) yang berhubungan langsung dengan perkataan yang didengarnya. Maka diapun mengerti bahwa calik itu artinya duduk, sangu itu nasi, dan sebagainya, melalui pergaulan langsung dengan masyarakat Sunda. Buku Kamus dan juru terjemah itu bersifat sekunder, untuk membantu mempercepat proses.

Pada ayat-ayat yang diterjemahkan dengan berbagai kata seperti tersebut diatas, benarkah peristiwa yang terjadi itu seperti apa yang dimaksud dengan: memerintahkan, membisikkan, memberi isyarat dan mengilhamkan? Walaupun secara substansial tidak merubah total materi informasi yang dikandung ayat tersebut, tapi setidaknya deviasi dan kerancuan pasti terjadi, dan yang lebih penting lagi, akan mengaburkan makna “wahyu” secara umum.

Kejadian atau peristiwa yang diungkapkan dengan kata “mewahyukan” bukanlah sesuatu yang dhohir yang dapat diamati secara fisik. Bahkan orang atau makhluk yang bersangkutanpun tidak dapat merasakannya secara indrawi, terjadinya peristiwa pewahyuan itu terhadap dirinya. Jadi untuk mengetahui fenomena apa yang diungkapkan dengan kata itu, kita harus cermat menelusuri penggunaan kata tersebut dalam Al Qur’an, dengan mencari hubungan-hubungan dan perbandingan yang signifikan.

Pada beberapa tempat, Allah menggunakan kata lain dari “auhaa” untuk mengungkapkan fenomena yang sama, antara lain.

وَكَذَٲلِكَ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ رُوحً۬ا مِّنۡ أَمۡرِنَا‌ۚ

Dan begitulah, Kami wahyukan kepadamu ruh dari urusan Kami… (Asy Syuro : 52 )

يُلۡقِى ٱلرُّوحَ مِنۡ أَمۡرِهِۦ عَلَىٰ مَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦ

Dia mencurahkan (menyampaikan) ruh dari urusan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki diantara hamba-hamba-Nya. ( Al Mukmin : 15 )

Pada ayat tersebut pertama diatas, Allah mengunakan kata kerja: “Kami wahyukan” (“auhaenaa”) untuk objek “Ruh dari urusan Kami” (“Ruhan min Amrina”). Sedangkan pada ayat yang kedua, Allah menggunakan kata “Yulqii” (mencurahkan/ meyampaikan) untuk objek yang sama.

Demikian pula pada ayat berikut:

إِنَّا سَنُلۡقِى عَلَيۡكَ قَوۡلاً۬ ثَقِيلاً

Sesungguhnya Kami akan menyampaikan kepadamu perkataan yang berat. (Al Muzammil : 5)

Untuk menyampaikan “perkataan”, di sinipun Allah menggunakan juga kata kerja “nulqii”, yang pada kebanyakan ayat lainnya, dinyatakan bahwa “perkataan” dari Allah itu disampaikan secara wahyu. Bedanya, penggunaan kata “wahyu” hanya pada sesuatu yang berkaitan dengan objek yeng besifat immateri, tak berwujud.

Sedangkan kata “yulqi” yang biasa digunakan pada objek berupa sesuatu yang berwujud materi (benda nyata), seperti:

وَأَنۡ أَلۡقِ عَصَاكَ‌ۖ

Dan jatuhkanlah tongkatmu… (Al Qoshosh : 31)

فَٱقۡذِفِيهِ فِى ٱلۡيَمِّ فَلۡيُلۡقِهِ ٱلۡيَمُّ بِٱلسَّاحِلِ 

…lalu letakkanlah ia (box berisi bayi itu) di sungai, maka sungai itu akan menyampaikannya ke tepi (darat) …(Thoha : 39)

Dan ternyata Allah menggunakan juga kata “alqoo–yulqii” tersebut, seperti penggunaan kata “mewahyukan”, yakni untuk (berkaitan dengan) objek yang bersifat immateri, seperti halnya “Ruh dari urusan-Nya” pada Al Mukmin : 15 dan “Perkataan yang berat” pada Al Muzammil : 5 seperti tersebut di atas, juga sesuatu yang bersifat imateri lainnya, misalnya:

سَنُلۡقِى فِى قُلُوبِ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ ٱلرُّعۡبَ بِمَآ أَشۡرَڪُواْ بِٱللَّهِ

Kami akan masukkan ke dalam hati orang-orang kafir itu rasa takut disebabkan apa yang mereka sekutukan dengan Allah…(Ali Imron : 151)

Fenomena Pewahyuan

Peristiwa yang dinyatakan dengan kata “mewahyukan” kejadiannya tidak dapat ditangkap dengan panca indera atau alat apapun. Tetapi dengan membandingkan dua kata tersebut di atas (Yulqii dan Yuuhaa), dapat diketahui bahwa yang terjadi pada peristiwa “mewahyukan” terdapat kesamaan dengan yang terjadi pada peristiwa “yulqii”. Yaitu:

“Menjadikan sesuatu (objek) berada (sampai/ terpasang/ tertanam) pada sesuatu yang lain (sasaran), tanpa secara fisik, mendatangi (menyentuh) sasaran tersebut ”.

Hanya saja, pada peristiwa mewahyukan, “objek bergerak”-nya (wahyu) merupakan sesuatu yang immateri dan peristiwa atau kejadiannya tidak tersaksikan dan disadari secara inderawi oleh siapapun, termasuk oleh orang atau “objek diam” apa saja, yang menjadi sasaran pewahyuan itu.

Adapun pada kasus “mewahyukan” yang dilakukan oleh Nabi Zakariya, yang oleh tim penerjemah Depag. diartikan dengan “memberi isyarat”, sebagai berikut:

فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوۡمِهِۦ مِنَ ٱلۡمِحۡرَابِ فَأَوۡحَىٰٓ إِلَيۡہِمۡ أَن سَبِّحُواْ بُكۡرَةً۬ وَعَشِيًّ۬ا

Maka ia keluar dari mihrob menuju kaumnya, lalu ia MEMBERI ISYARAT kepada mereka, hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang. ( Maryam : 11)

“Memberi isyarat” itu perbuatan dhohir yang nyata sekali dilihat mata. Padahal setiap Allah mengunakan kata “Auha”, itu mengacu kepada sesuatu yang tidak terindera dan tidak disadari secara konkrit.

Kalaupun pendengaran kita merasa tidak nyaman jika menerjemahkan ayat di atas dengan menggunakan ungkapan kata: “Lalu Zakariya mewahyukan…dan seterusnya, itu adalah wajar, dan cukup bijak untuk menggunakan kata yang lain, dengan tambahan keterangan sekadarnya. Misalnya:

Lalu Zakariya keluar dari mihrob menghadapi kaumnya, kemudian “menyampaikan pesan” kepada mereka : “Bertasbihlah kalian di waktu pagi dan petang” ( Maryam : 12 )

Kalaupun pada ayat diatas kata “Auhaa” diartikan dengan “menyampaikan pesan”, bukanlah mengacu kepada bentuk perbuatan konkrit yang dilakukannya, melainkan lebih mengacu kepada maksud dan tujuan dari usaha (misi) yang diembannya, yaitu berusaha “mengkondisikan” atau mempengaruhi dan mengarahkan kaumnya, agar selalu bertasbih pagi dan petang.

Adapun bentuk konkrit dari tindakannya, bisa dengan menasihati, mengajari, memberi contoh/teladan atau apa saja yang layak dilakukan oleh seorang Nabi dalam usaha “menanamkan pengaruh” kepada kaumnya. Jadi kaumnya itu tidak pernah menyaksikan sesuatu yang konkrit atau objektif perbuatan Zakariya “mewahyukan” sesuatu kepada mereka.

Seperti itu pulalah fenomenanya, yang dilakukan oleh “syetannya jin” dan “syetannya manusia” terhadap sesamanya, sebagaimana dinyatakan dalam ayat berikut:

يُوحِى بَعۡضُهُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٍ۬ زُخۡرُفَ ٱلۡقَوۡلِ غُرُورً۬ا‌ۚ

Sebagian mereka “mewahyukan” (menanamkan pengaruh) kepada sebagian yang lain dengan kata-kata indah (rayuan) yang memperdaya. (Al An’am :112)

Yang jelas syetan selalu berusaha untuk memperdaya manusia, antara lain dengan meluncurkan wacana-wacana yang mempesona. Bentuk konkritnya, bisa dengan pidato, merumpi, media masa atau apa saja. Apapun bentuknya, sasaran-sasaran yang terpedaya, sama sekali tidak menyadari masuknya entry yang akan membentuk kerancuan-kerancuan yang memperdayakan dalam jiwanya.

Kalaupun para Nabi dikatakan dalam Al Quran sebagai mengatakan “Yuuhaa ilayya” (diwahyukan kepadaku), bukan berarti Nabi tersebut merasakan secara inderawi adanya sesuatu “masuk” ke dalam jiwanya. Melainkan beliau menyadari sebuah hakikat, bahwa apa yang muncul dan hidup dalam jiwanya, antara lain berupa kesadaran akan sesuatu, kepahaman, ide atau gagasan dan sebagainya, hakikatnya adalah sesuatu yang “dienter” oleh Allah kedalam jiwanya, karena selamanya dia selalu mengorientasikan segala aktivitas lahir batinnya kepada Allah dan ayat-ayat-Nya, maka hasil dari aktivitas jiwanya berupa apa-apa yang hidup di hatinya, mereka yakini benar bahwa itu pasti dari Allah.

Dan jangan lupa, bahwa pernyataan para Nabi dengan ungkapan: “Yuuhaa ilayya” itu, kita dengar sebagai ungkapan dari Allah (Kalamullah) dalam Al Quran yang berbahasa Arab. Dengan kata lain, itu cara Allah mengungkapkan hakikat yang sebenarnya terjadi, sesuai dengan Ilmu Allah. Adapun para Nabi yang bersangkutan (yang dikisahkan Allah itu), tentunya menggunakan bahasa kaumnya masing-masing, yang kita tak mesti tahu bahasa apa itu.

Demikian pula jawaban Maryam ketika Nabi Zakariya menanyakan kepadanya tentang rizki yang selalu saja dia dapatkan, Maryam menjawab: هُوَ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ‌ۖ ( “Ia dari sisi Allah” ).

Bukan berarti Maryam melihat atau merasakan bahwa Allah memberikan itu, atau dia “mengambilnya” dari sisi Allah. Melainkan dari manapun atau lewat usaha apapun rizki itu dia peroleh, hakikatnya dari Allah. Bukankah kita juga sering mengatakan: “Allah menyadarkan saya” atau “Allah menolong saya” dan sebagainya. Itu semua ungkapan hakikat, bukan fenomena.

Pemahaman seperti itu bukan semata-mata menduga-duga atau sok tahu, akan tetapi dengan jelas Allah menggunakan ungkapan semacam itu juga pada kehidupan nyata yang kita rasakan sekarang. Seperti pada Kalam-Nya berikut ini:

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَـٰمُواْ تَتَنَزَّلُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَلَـٰٓٮِٕڪَةُ أَلَّا تَخَافُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَبۡشِرُواْ بِٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمۡ تُوعَدُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan (berpendirian) “Tuhan kami hanyalah Allah” kemudian mereka istiqomah, maka malaikat akan turun dan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Jangan takut dan jangan sedih, dan gembiralah dengan syurga yang telah dijanjikan bagimu” (Fushilat : 30)

Ayat di atas mengacu kepada objek yang begitu terbuka, yakni siapa saja orang mukmin yang istiqomah dengan prinsip “Robbunallah”, maka Malaikat akan berdatangan menyampaikan pesan (mengatakan) ... dan seterusnya. Tentu kita-kita ini merasa atau berharap sudah termasuk orang yang istiqomah dalam prinsip Robbunallah itu. Lantas siapa yang merasa kedatangan malaikat dan mendengar bisikan apa yang dikatakan Malaikat itu?

Tentunya yang dirasakan itu tiada lain, tumbuhnya ketegaran dan optimisme dalam hati. Itu fenomena yang dirasakan. Nah, dalam hal ini Allah menerangkan bahwa ketika kita merasakan tumbuhnya ketegaran dan optimisme itu, hakikat yang terjadi adalah: Lewat Malaikat, Allah “meng-enter” ketegaran dan optimisme itu yang dikemas sebagai “perkataan malaikat” tadi. Memang disini Allah tidak menggunkan bahasa “mewahyukan”. Tapi tentunya sama dengan “menurunkan” atau “mengutus Malaikat”, yang inipun tidak pernah kita saksikan atau rasakan.

Demikian pula yang terjadi pada Ibunya Musa. Dia sama sekali tidak merasakan datangnya wahyu dari Allah. Yang dia rasakan adalah, dalam kekalutan dan kecemasannya akan nasib bayinya itu, muncul ide atau gagasan untuk memasukkannya ke dalam peti dan menghanyutkannya di sungai. Demikian pula halnya yang terjadi pada kaum Hawariyyin, pengikut setia Nabi Isa sebagaimana dinyatakan dalam ayat berikut:

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُوٓاْ أَنصَارَ ٱللَّهِ كَمَا قَالَ عِيسَى ٱبۡنُ مَرۡيَمَ لِلۡحَوَارِيِّـۧنَ مَنۡ أَنصَارِىٓ إِلَى ٱللَّهِ‌ۖ قَالَ ٱلۡحَوَارِيُّونَ نَحۡنُ أَنصَارُ ٱللَّهِ‌ۖ

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu pembela-pembela Allah (pejuang dipihak Allah) sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada Hawariyyin: “Siapakah yang siap menjadi pembela-pembelaku dipihak Allah? para Hawariyin berkata :Kamilah pembela-pembela Allah ... (As Shof : 14)

وَإِذۡ أَوۡحَيۡتُ إِلَى ٱلۡحَوَارِيِّـۧنَ أَنۡ ءَامِنُواْ بِى وَبِرَسُولِى قَالُوٓاْ ءَامَنَّا وَٱشۡہَدۡ بِأَنَّنَا مُسۡلِمُونَ

Dan ingatlah ketika Aku wahyukan kepada Hawariyyiin: “Berimanlah kepada-Ku dan kepada Rosul-Ku”. Mereka berkata: “Kami telah beriman, dan saksikanlah bahwa kami semua berserah diri” (Al Maidah : 111)

Pada Ash Shof : 14 Allah memotivasi orang-orang mukmin dengan mengingatkan mereka akan (mencontohkan) sikap Hawariyyin dalam merespon seruan Nabi Isa. Dhohirnya peristiwa adalah: Nabi Isa menyeru para Hawariyyin, dan mereka spontan meresponnya dengan positif.

Tapi ketika Allah mengungkapkan fenomena tersebut dalam hubungan yang lain, yakni mengingatkan Nabi Isa akan berbagai nikmat yang Allah berikan kepadanya, Allah ungkapkan dalam Al Maidah : 111 di atas, bahwa ketika Nabi Isa berhasil menyeru para Hawariyyin untuk menjadi pembelanya, itu bukan semata-mata prestasi dakwah Nabi Isa, melainkan hakikatnya adalah nikmat dan pertolongan Allah kepadanya, dengan jalan mewahyukan keimanan kepada mereka.

Apa yang Allah lakukan ini sama sekali tidak mereka rasakan, dan merekapun tidak menyadarinya, maka Allah mengingatkan mereka tentang apa yang sebenarnya tejadi.

Demikian pula ketika Allah mengingatkan Nabi Musa akan nikmat-nikmat-Nya. Bahwa tindakan cerdas ibunya ketika dia bayi, yang membuatnya selamat dari kekejaman Fir’aun itu, adalah disebabkan Allah mewahyukan ide cemerlang itu kepada ibunya.

Adapun apa yang Allah lakukan terhadap bumi (Az Zalzalah : 5), terhadap langit ( Fushilat : 12) dan kepada lebah (An Nahl : 68), kalau dalam bahasa (istilah) komputer adalah “meng-enter” atau “meng-instal” tabi’at, sifat dan kinerja dari makhluk-makhluk-nya itu.

Kalau suatu hari bumi “menginformasikan” kepada manusia hal ihwal dirinya (Az Zalzalah : 4), misalnya antara lain, ternyata bumi itu mempunyai gaya gravitasi, mengandung energi panas, melakukan getaran dan guncangan, melakukan rotasi dan revolusi dan sebagainya, Allah mengingatkan bahwa ihwal bumi sedemikian itu disebabkan Allah telah “menginstal” atau “memprogram” semua itu terhadapnya.

Jelaslah bahwa “auha” terhadap bumi itu tidak boleh diartikan dengan “memerintahkan”. Karena ketika bumi atau siapapun melakukan apa yang diperintahkan, berarti ia telah mempunyai kemampuan untuk melakukan apa yang diperintahkan itu.

Bukan itu yang Allah terangkan. Melainkan, kalau bumi ternyata bisa “melakukan” itu dan ini, Allah-lah yang telah “memprogram” dan menginstal “perilaku” kepada bumi. Demikian pula kepada semua makhluk lainnya.

Kita bisa “memerintahkan” burung perkutut untuk bersiul. Tetapi kita tidak bisa “menginstal” kemampuan bersiul kepada perkutut. Allah-lah yang melakukan itu.

Simpul Makna

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa:
  • Yang dimaksud dengan “mewayukan” itu adalah: Menyampaikan sesuatu yang bersifat immateri agar masuk/ tertanam/ terpasang pada objek atau sasaran tertentu.
  • Sesuatu yang diwahyukan (wahyu) itu bisa berupa: perkataan (kalam), berbagai hal yang hidup atau “muncul” dalam jiwa manusia, seperti: ide, gagasan, perasaan (suasana) hati, dan termasuk juga sifat-sifat atau tabi’at, kaidah, hukum atau sistem yang “diprogram” Allah dan “diaplikasikan” pada makhluk-makhluk-Nya di alam ini.
Pemungutan dan Pengunaan Kata Wahyu

Memang tidak salah, kalau Bahasa Indonesia memungut kata wahyu untuk memperkaya bahasa kita, kemudian menggunakannya untuk maksud atau makna yang terbatas, yakni: Petunjuk dari Allah yang disampaikan kepada para Nabi dan Rosul. Dan kita tidak pantas menggunakan kata wahyu (yang sudah menjadi Bahasa Indonesia itu) seperti Allah menggunakannya dalam Al Quran. Misalnya :
  • Saya akan mencoba mewahyukan pengertian kepadanya agar dia sadar”.
  • Saya telah memperoleh wahyu bahwa saya dapat menerima tawaran Anda”.
Itu jelas tidak benar, Bahasa Indonesia tidak menerima kata wahyu untuk maksud seperti itu.

Tetapi kalau kita ingin memahami Kalamullah dalam Al Quran, kita harus tunduk dan mengikuti kaidah serta alur bahasa yang Allah gunakan. Bukan mengikuti alur atau karakter bahasa lain, atau kaidah yang dibuat oleh siapapun.

Bahkan kaidah Bahasa Arab, dimana sebagian orang yang merasa telah menguasainya, sering menampilkan sikap arogan dan angkuh. Bila ada orang yang unjuk pendapat tentang Ayat Qur’an, dengan membusung dada, dia langsung apriori. Arogansinya langsung vokal: “Anda belum menguasi sepenuhnya Kaidah Bahasa Arab, jangan dulu bicara Al Quran”. Sepertinya hanya dia saja yang tahu kaidah Bahasa Arab.

Dia lupa bahwa orang munyusun Kaidah Bahasa Arab itu, dari hasil penelitian terhadap Al Quran, dengan kata lain, meneliti kaidah yang Allah gunakan dalam penuturan Kalam-Nya. Bukan sebaliknya, Allah menyusun Al Quran berdasarkan kaidah yang dibuat orang. Itu mustahil. Bahasa Al Quran dari mana kaidah Bahasa Arab itu disusun, sekarang hadir terbuka lebar di depan semua orang. Jadi, bagi orang yang melek (tidak buta bahasa) seperti mereka yang awal-awal menyusunnya, kaidah itu tampak didapat dari penglihatan (bashiroh)-nya yang cermat dan teliti. Dan orang-orang melek itu, Insyaallah masih banyak akan dilahirkan.

Seperti dikemukakan di atas, bahwa cara primer untuk bisa memahami bahasa dari suatu komunitas masyarakat, adalah dengan terlibat langsung dalam pergaulan di masyarakat tersebut. Buku Kamus atau Penterjemah adalah cara sekunder untuk mempercepat dan memudahkan.

Maka untuk cara primer dalam memahami ayat-ayat Al Quran, adalah dengan “mengakrabi” Al Quran itu secermat-cermatnya (tartil), dan menghubungkannya dengan fenomena nyata (“kauniyah”) yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut. Adapun Kamus dan Terjemahan adalah alat bantu dan bahan perbandingan.

IV. SANGGAHAN DAN PENOLAKAN

Wahyu Sudah Tidak Ada Lagi ?

Sebagaimana diutarakan di muka, selama ini orang mendefinisakan wahyu sebagai “Firman Allah yang disampaikan kepada Nabi dan Rosul-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril”. Dengan ditutup dan berakhirnya kenabian dan kerasulan, maka penyampaian wahyu itupun berakhir. Dengan kata lain, Allah tidak lagi menyampaikan wahyu berupa apapun kepada siapapun.

Ketika definisi wahyu seperti itu dipertanyakan dan tidak dapat dipertahankan, seseorang mencoba ngotot bertahan pada anggapan bahwa Allah tidak lagi menurunkan wahyu, dengan memakai dalih baru, yaitu:

Untuk kata “mewahyukan” ini, Allah menggunakan fi’il madli (kata kerja bentuk lampau). Ini berarti, bahwa tindakan mewahyukan itu telah selesai, berakhir. Jadi, Allah tidak pernah lagi mewahyukan suatu apapun.

Sungguh suatu hujjah (dalih) yang semakin morat-marit.

Anak kecil juga tahu, bahwa fi’il madli (kata kerja bentuk lampau) itu menyatakan bahwa pada waktu dikatakan, perbuatan yang dimaksud (yang dikatakan) itu sudah selesai dilakukan. Tetapi tidak seorangpun yang memahami bahwa perbuatan yang dikatakan dengan fi’il madli itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak akan pernah dilakukan lagi. Kaidah buatan siapa itu?

Jika seseorang mengatakan “Syaribtu” (saya minum), ketika ia bicara minumnya sudah dilakukan. Tetapi bukan berarti dia tidak akan pernah minum lagi. Jadi sangat tidak beralasan kalau dianggap Allah tidak akan pernah mewahyukan lagi, hanya karena Allah menggunakan fi’il madli. Lagi pula siapa yang berhak mengatakan bahwa Allah tidak akan lagi melakukan ini atau itu? Kalau Allah sendiri tidak mengatakannya. Bahkan kalaupun kita memandang bahwa Allah telah selesai menciptakan langit dan bumi. Tidak boleh kita beranggapan bahwa Allah tidak akan lagi melakukan hal yang sama. Segalanya terserah kepada kehendak Allah yang mutlak.

Kemudian dia (yang berdalih fi’il madli diatas) mengajukan hujjah (argumentasi) dengan Al Ahzab : 40 dan Al An’am : 93 sebagai berikut:

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ۬ مِّن رِّجَالِكُمۡ وَلَـٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّـۧنَۗ

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang lelaki diantara kamu, akan tetapi dia itu Rosulullah dan penutup Nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.( Al Ahzab : 40)

Ayat tersebut diatas sama sekali tidak relevan untuk dijadikan hujjah atas anggapan diatas, (bahwa Allah tidak akan menurunkan wahyu lagi). Al Ahzab : 40 sama sekali tidak menyinggung soal wahyu, melainkan hanya menegaskan bahwa Muhammad itu Rosulullah dan penutup Nabi-nabi. Tidak ada sepotong ayat pun yang menyatakan bahwa Allah tidak akan pernah lagi mewahyukan apapun kepada siapappun.

Tuduhan Sesat dan Pendusta

Sanggahan dan penolakan terhadap pemahaman tentang wahyu seperti diuraikan di atas, diperkuat lagi dan sekaligus disertai tuduhan yang sangat pasti, dan didengungkan secara lantang dan meluas, bahwa yang memahami wahyu secara demikian ini adalah dusta dan sesat, yang diancam Alah dengan ayat berikut:

وَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّنِ ٱفۡتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبًا أَوۡ قَالَ أُوحِىَ إِلَىَّ وَلَمۡ يُوحَ إِلَيۡهِ شَىۡءٌ۬

Dan siapa yang lebih dholim daripada orang yang mengada-ada kebohongan atas Allah, atau mengatakan “telah diwahyukan kepada saya”, padahal tidak diwahyukan kepadanya sesuatupun ... (Al An’am : 93)

Al An’am : 93 tersebut di atas juga sama sekali tidak mengisyaratkan bahwa Allah tidak akan mewahyukan apapun lagi. Melainkan berisi kutukan dan ancaman terhadap orang pendusta, yakni yang mengada-ada keterangan yang diklaim sebagai kebenaran, tanpa bukti yang sah dari Allah, yakni “ayat-ayat-Nya”. Atau orang yang mengklaim dirinya mendapat wahyu dari Allah, padahal bohong. Tentunya wahyu dalam pengertian dari sisi Allah (sebagimana dibahas panjang lebar di muka) bukan “wahyu” menurut Bahasa Indonesia. Sebab kasus yang dimaksud ini diungkapkan dalam Firman Allah, maka kita harus memahaminya sebagai Kalamullah, bukan wahyu menurut bahasa kita.

Dengan demikian, jangan dikira bahwa orang yang tidak pernah mengatakan “Aku mendapat wahyu” lantas tidak akan terkena oleh ancaman pada Al An’am : 93 diatas. Karena orang yang mengklaim bahwa pendapat atau keterangan yang dia luncurkan itu bersumber dari Allah (suatu kebenaran) padahal tidak terbuktikan sama sekali dengan ayat-ayat Allah (sebagimana diingatkan Allah pada Ali Imron : 78 , orang yang demikian itulah yang diancam Allah sebagai pendusta, pelaku kedholiman paling besar.

Tambahan pula, benar tidaknya seseorang mendapatkan wahyu atau apa saja yang bersifat immateri dari Allah. Tidak dapat disaksikan oleh siapapun kebenaran atau kebohongannya. Maka tidak seorangpun dituntut untuk mengetahui hal itu, dan tidak berhak menyatakan benar atau bohongnya seseorang dalam hal tersebut. Yang perlu kita ketahui dan waspadai adalah, apapun yang dikatakan atau disampaikan oleh siapa saja, kebenarankah itu? Atau kepalsuan. Tak usah peduli dari mana atau dengan cara apa orang tersebut mendapatkannya. Karena kebenaran itu pasti datang dari Allah (bagaimana pun caranya), sedangkan kepalsuan itu pasti dari syetan.

Cara Orang Kafir Menolak Kebenaran

Banyak diterangkan dalam Al Quran, bahwa penolakan orang kafir terhadap Risalah Allah atau seruan para penyeru kebenaran (Al Haq), bukan dengan mempertanyakan substansi materi (Al Haq) yang disampaikannya, melainkan mereka menuntut bukti akan statusnya sebagai pengemban Risalan, atau bukti tentang hal-hal khusus (luar biasa) yang telah dialaminya.

Mereka selalu menolak dengan mengatakan “Kamu ini orang biasa saja seperti kami, dan Allah tidak menurunkan apapun kepadamu”. Itulah kebiasaan orang kafir setiap menyanggah para penyeru kebenaran.

Kemudian para penyeru yang didustakan itu pun, tidak bisa mengajukan bukti apapun bahwa ia menerima sesuatu dari Allah, kecuali dengan mengatakan “Allah Maha Tahu bahwa yang kami sampaikan ini risalah-Nya”.

Coba kita simak Kalamullah berikut:

قَالُواْ مَآ أَنتُمۡ إِلَّا بَشَرٌ۬ مِّثۡلُنَا وَمَآ أَنزَلَ ٱلرَّحۡمَـٰنُ مِن شَىۡءٍ إِنۡ أَنتُمۡ إِلَّا تَكۡذِبُونَ

Mereka (Orang-orang) berkata: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami. Dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan apapun. Kamu tidak lain hanyalah pendusta. Mereka (para penyeru itu) menjawab: “Tuhan Kami mengetahui bahwa kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu”. (Ya Sin : 15)

كُلَّمَآ أُلۡقِىَ فِيہَا فَوۡجٌ۬ سَأَلَهُمۡ خَزَنَتُہَآ أَلَمۡ يَأۡتِكُمۡ نَذِيرٌ۬ (٨) قَالُواْ بَلَىٰ قَدۡ جَآءَنَا نَذِيرٌ۬ فَكَذَّبۡنَا وَقُلۡنَا مَا نَزَّلَ ٱللَّهُ مِن شَىۡءٍ إِنۡ أَنتُمۡ إِلَّا فِى ضَلَـٰلٍ۬ كَبِيرٍ۬

...Setiap kali dilemparkan ke dalamnya (neraka) satu bondongan (orang-orang), bertanyalah penjaga neraka itu kepada mereka: “Apa belum datang kepadamu pemberi peringatan?” Mereka menjawab: “Benar. Sungguh telah datang kepada kami pemberi peringatan, lalu kami mendustakan. Dan kami katakan: “Allah tidak menurunkan sesuatupun. Kamu tidak lain hanyalah dalam kesesatan yang besar” (Al Mulk : 8-9 )

Kita tidak berhak menuntut bukti kepada siapapun tentang apa yang dia terima dari Allah, kecuali dengan menguji apa yang dia sampaikan itu. Jika yang disampaikannya itu benar-benar Al Haq (kebenaran) pastilah itu dari Allah. Dengan cara apa dia mendapatkannya, itu bukan urusan kita.

Jika seseorang datang dan mengaku sebagai pedagang berlian, misalnya. Kita tidak harus menuntut bukti berupa Surat pengangkatan, sertifikat, status, atau apapun untuk membuktikan bahwa ia benar-benar pedagang berlian. Melainkan kita uji saja, benarkah yang didagangkannya itu berlian atau palsu.

V. SUBSTANSI WAHYU

Bukan Substansi Konkrit Tertentu

Perlu diingat dan dipahami dengan baik bahwa kata “wahyu” itu suatu “isim nakiroh” yakni tidak menunjukkan sesuatu yang konkrit tertentu (ma’rifah). Jadi kalau ditanyakan apakah wahyu itu? Maka jawabannya (“definisi” yang bisa dibuat) hanya sebatas: “Wahyu ialah apa-apa (sesuatu) yang diwahyukan (Ma Yuha)”.

Jika lebih lanjut ditanyakan: Apakah sesuatu itu? Jawabannya bisa berbeda-beda, tergantung yang diwahyukannya itu apa. Seperti dalam ayat-ayat di atas:
  • Yang diwahyukan Allah kepada Hawariyyin adalah keimanan kepada Allah dan Rosulnya,
  • Yang diwahyukan kepada Ibunya Nabi Musa: Ide cemerlang untuk memasukkan bayinya ke dalam sebuah peti, kemudian menghanyutkannya di sungai.
  • Yang diwahyukan kepada lebah: kemampuan dan cara yang eksklusif dalam membuat sarang.
  • Yang diwahyukan kepada bumi: Segala hal ihwal bumi yang kemudian diketahui manusia. Dan seterusnya.
Kalau dalam bahasa kita sehari-hari, ibarat kata “kiriman”. Kiriman adalah sesuatu atau apa saja yang dikirimkan. Apakah itu? Ya, bisa apa saja, bermacam-macam. Jadi kalau seseorang mengatakan: “Saya dapat kiriman”, orang belum tahu konkritnya apa yang dia terima itu.

Siapapun dan Kapanpun Bisa

Dengan demikian, mewahyukan adalah “pekerjaan rutin” Allah, sebagai bagian dari Sunnatullah yang tidak akan pernah berubah. Dengan Ilmu, kekuasaan dan berbagai “perangkat dahsyat” hingga “perangkat lembut” yang dimiliki-Nya, Allah terus dan tak pernah berhenti melakukan “pengoperasian dan pengendalian” alam semesta dengan segala isinya ini. Maka pantas dan layak sekali pernyataan Allah berikut:

أَكَانَ لِلنَّاسِ عَجَبًا أَنۡ أَوۡحَيۡنَآ إِلَىٰ رَجُلٍ۬ مِّنۡہُمۡ أَنۡ أَنذِرِ ٱلنَّاسَ

Adakah suatu keheranan bagi manusia bahwa kami mewahyukan kepada seorang lelaki diantara mereka: “Berikanlah peringatan kepada manusia...” (Yunus : 2)

Tetapi tokoh pengingkar tersebut di atas, mencemooh dengan diangkatnya ayat ini sebagai bukti. Menurutnya, “manusia” yang dimaksud pada ayat di atas adalah masyarakat pada zaman Nabi dahulu, bukan manusia zaman sekarang di lingkungan kita ini.

Entah dari mana dia tahu dan berani mengatakan hal itu. Sebab Allah tidak mengatakan demikian. Ketika Allah mengatakan sesuatu yang Dia tidak membatasinya, maka tak seorangpun yang berhak membatasi. Sebab Dzat Allah dan Kalamulah itu universal, meng-cover (meliput) segala sesuatu di segala dimensi ruang dan waktu.

Jika kita (makhluk) mengatakan: “Saya menyeru manusia ke jalan selamat”. Maka meskipun tidak dikatakan kita tahu bahwa manusia yang dimaksud adalah manusia yang sempat dijumpainya, atau yang dia sempat berkomunikasi dengan mereka. Karena kita adalah makhluk yang sangat dibatas oleh ruang dan waktu. Tetapi jika Allah mengatakan: “Aku menyeru manusia ke jalan selamat” maka Firmannya berlaku dan meliputi seluruh zaman. Dan manusia yang dimaksud adalah makhluk yang disebut manusia dimana dan kapan saja dia ada/ hidup.

Sebetulnya pembahasan panjang lebar tentang wahyu ini tak perlu ada, jika tidak ada orang yang membuat definisi tentang wahyu yang begitu sempit seperti dikemukakan di atas, dan berakibat rusaknya visi dan persepsi orang tentang wahyu selama ini.

Kalamulah, Substansi yang Konkrit

Diantara berbagai hal yang bisa menjadi “apa yang diwahyukan” itu, ada satu hal lagi yang perlu keterangan secara eksplisit dan pemahaman yang lebih jelas, yaitu “Kalamullah”. Yang tergolong pada substansi yang konkrit (tertentu), sebagai salah satu yang disampaikan dengan cara “wahyu”, atau sesuatu yang diwahyukan. Atau secara sederhananya, isi dari “kiriman” dari Allah tadi.

Substansi yang satu ini (“Kalamullah”) yang benar-benar Kalam, yang wujudnya konkrit dapat dibacakan, diperdengarkan atau dituliskan. Inilah substansi yang spesifik, dan dapat diidentifikasi sebagai yang diterima oleh Nabi atau Rosul tertentu, dan tidak semua Rosul menerima wahyu Kalamullah itu.

تِلۡكَ ٱلرُّسُلُ فَضَّلۡنَا بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ۬‌ۘ مِّنۡهُم مَّن كَلَّمَ ٱللَّهُ‌ۖ وَرَفَعَ بَعۡضَهُمۡ دَرَجَـٰتٍ۬‌ۚ

Rosul-rosul itu, Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Diantara (sebagian) mereka ada yang Allah “berkata-kata” (kepadanya), dan Dia meninggikan sebagian mereka beberapa derajat ... (Al Baqoroh : 253)

Itulah “Kalamullah” yang hanya sebagian (beberapa orang) Rosul saja yang menerimanya. Adapun “wahyu” dalam berbagai substansi seperti diterangkan di atas, semua Nabi dan Rosul pasti menerimanya bahkan makhluk apapun oleh Allah diberi wahyu seperti itu. Dengan catatan, seperti diterangkan di atas, kata “wahyu” itu belum mengacu kepada sesuatu yang konkrit, dan “muatannya” bisa bermacam-macam.

Kalamullah inilah yang diterangkan Allah sebagai disampaikan “dari balik hijab”, (cara pewahyuan yang spesifik) sebagimana dalam Kalam-Nya:

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ ٱللَّهُ إِلَّا وَحۡيًا أَوۡ مِن وَرَآىِٕ حِجَابٍ أَوۡ يُرۡسِلَ رَسُولاً۬ فَيُوحِىَ بِإِذۡنِهِۦ مَا يَشَآءُ‌ۚ إِنَّهُ ۥ عَلِىٌّ حَڪِيمٌ۬

Dan tidak ada bagi seseorang bahwa Allah akan berbicara kepadanya, kecuali secara wahyu, atau dari balik hijab, atau mengutus seorang Rosul lalu ia mewahyukan dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (Asy Syuro : 51 )

Kita tahu bahwa “hijab” adalah sesuatu yang ada (tampil) didepan mata (panca indera), menjadi penutup atau penghalang dari objek atau sasaran yang dimaksud dalam suatu komunikasi. Ketika Allah “berbicara” kepada Nabi Musa, yang ada pada penglihatan Nabi Musa adalah api. Tetapi bukan api yang akan Allah sampaikan, melainkan Kalam-Nya. Api itulah hijab yang ada di depan penglihatan Nabi Musa.

Sampai pula berita kepada kita, bahwa Rosulullah Muhammad s.a.w. ketika Allah menyampaikan Kalam-Nya kepada beliau, beliau kadang mendengar bunyi lonceng, merasakan beban yang berat dan mungkin yang lain lagi. Yang didengar dan dirasakan Rosulullah itulah hijab. Karena bukan itu yang disampaikan Allah kepadanya, melainkan Kalamullah. Dan Rosulullah dapat “merekam” Kalamullah itu dengan hatinya, dan dapat segera memperdengarkannya kepada orang lain dan menyuruh orang menuliskannya, dan itulah Al Qurnul Karim yang sampai kepada kita, dan akan tetap eksis abadi.

Dengan tuntasnya Al Quran disampaikan kepada Rosulullah Muhammad s.a.w. untuk menjadi petunjuk dan penjelasan atas segala sesuatu, yang ada dan terjadi sepanjang masa sebagai perwujudan dari Sunnatullah, maka sempurnalah sudah konsep Dienul Haq ini diturunkan. Kesempurnaan Dienullah ini telah dengan jelas dan tegas dinyatakan dalam Al Quran itu.

Apabila sesudah itu muncul sesorang atau siapapun yang membawakan sesuatu informasi, pernyataan atau keterangan yang baru dan asing bagi Sunnatullah dan Kalamullah itu, pastilah dia itu pendusta, pemalsu. Kita punya alasan untuk menuduhnya pendusta, karena Allah dengan tegas telah menyatakan kesempurnaan “Kalimah”-Nya, maka tidak akan ada lagi tambahan, perubahan, penyempurnaan, pelengkap, penjelasan atau apapun namanya, yang diperlukan lagi. Dengan catatan bahwa kedustaan dan kepalsuan itu mustahil dilakukan oleh Rosulullah.

“Hidayah” Substansi yang Jauh Berbeda

Masih ada hujjah ( yang sebenarnya tidak lain hanyalah “dalih” yang mengada ada) yang dijadikan alasan (“argumentasi”) untuk menolak pandangan tentang wahyu seperti diuraikan diatas ini, yaitu :

“Yang diterima oleh orang-orang sesudah Rosulullah itu (yang bukan Nabi bukan pula Rosul) bukanlah wahyu melainkan “hidayah”. Wahyu itu, hanya yang disampaikan kepada Nabi dan Rosul”.

Kembali suatu bentuk penggusuran substansi keterangan dari Allah. Kalau memang demikian, toh Allah menggunakan kata mewahyukan juga kepada mereka yang bukan Nabi, seperti Ibunya Musa dan Kaum Hawariyyin itu. Dan sebaliknya, Nabi pun mendapat Hidayah, seperti dalam Kalamnya ini:

وَوَجَدَكَ ضَآلاًّ۬ فَهَدَىٰ

Dan Dia mendapatimu dalam keadaan tersesat, lalu Dia memberi petunjuk (hidayah) (Ad Dluha : 7)

قُلۡ إِنَّنِى هَدَٮٰنِى رَبِّىٓ إِلَىٰ صِرَٲطٍ۬ مُّسۡتَقِيمٍ۬

Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus... (Al An’am : 161)

Substansi hidayah (petunjuk) itu berbeda sekali dengan wahyu. Penerapannya dalam penuturan, bisa begini:
  • Allah mewahyukan Kalam-Nya dan berbagai hal lainnya kepada Rosul untuk menjadi petunjuk (hidayah) (bagi Rosul tersebut)
  • Allah memberi “hidayah” kepada siapa saja yang dikehendakinya, dengan jalan “mewahyukan” berbagai hal (keimanan, kepahaman, kekuatan jiwa dan sebagainya) itu, kepada yang bersangkutan.
Jadi, mewahyukan, wahyu dan petunjuk (hidayah) menempati posisi dan substansi masing-masing yang satu sama lain berbeda, tidak bisa disamakan atau dipertukarkan. Mewahyukan itu suatu tindakan, wahyu suatu objek bergerak dalam tindakan itu, dan hidayah (petunjuk) adalah maksud atau tujuan dari tindakan (disampaikannya wahyu) tadi.

Jelas sekali bahwa memisahkan penggunaan terminologi Hidayah untuk manusia biasa dan Wahyu untuk Nabi dan Rosul, adalah mengada-ada. Perlu diingatkan kembali, bagaimana pandangan dan penilaian Allah terhadap orang yang suka mengada-ada itu. Dan kepadanya pula perlu diingatkan Al An’am : 93 yang ia jadikan hujjah seperti tersebut di muka.

VI. KECEMBURUAN (BAGHYAN) JADI PENGHALANG (GHISYAWAH)

Ternyata orang yang begitu ngotot menolak pemahaman atas terminologi “wahyu” seperti dalam uraian ini, dan terus berusaha menanamkan “kontrasepsi” di hati orang, itu terdorong oleh kecemburuan dan tuduhan negatif, bahwa orang yang berpayah-payah membahas makna wahyu yang sebenarnya ini, sedang mencari legitimasi bagi dirinya.

Dengan dibenarkannya anggapan bahwa Allah masih terus menurunkan wahyu, jadi masih dimungkinkan adanya orang yang menerima wahyu dan menjadi Rosul. Nah, orang ini (katanya) ingin mendapat pengakuan bahwa dirinya itu Rosul yang baru.

Entah harus menangis sedih, atau tertawa geli, mendengar celotehan demikian. Karena betapa naifnya pikiran kotor seperti itu.

Seperti panjang lebar diuraikan di muka, makna wahyu yang sebenar-benarnya ini perlu terungkap jelas, adalah sebagai upaya yang wajib dilakukan untuk berusaha membangun kembali Dienul Islam yang benar-benar “hidup” dan “bernyawa” lagi, dengan berusaha menumbuhkan “konsepsi” di hati manusia, sebagai satu-satunya jalan yang memungkinkan hidupnya kembali “Cahaya Allah” di hati mereka.

Hal tersebut hanya bisa terjadi, jika substansi-substansi inti dari Konsep Samawi atau Dienullah ini, terakses secara benar dan jernih pada hati dan pikiran manusia. Inilah satu-satunya cara dan jalan yang Allah tunjukkan. Di luar itu, hanyalah angan-angan maya dan fatamorgana.

Implikasi lebih lanjut dari itu, kejelasan makna dan kejernihan visi tentang wahyu ini yang diperlukan, untuk mengetahui secara benar dan jernih, apa sebenarnya yang diterima Rosul dari Allah, dan yang disampaikannya kepada manusia?

Dengan kata lain, mana yang benar-benar “produk” Allah yang bersifat abadi dan universal, dan mana yang merupakan produk atau prestasi Rosul, yang status dan sifatnya akan tetap sebagai karya manusia yang nisbi dan fana.

Hal itu sangatlah diperlukan, demi menjaga kebersihan dan kemurnian Dienullah sebagaimana tuntutan Allah kepada kita, yang menjadi syarat mutlak diakui dan diterimanya pengabdian kita, dan tidak menempatkan Rosulullah pada posisi yang menandingi Allah. Kesalahan yang sering terjadi pada para pengikut Rosul dahulu, bahkan pengikut “orang besar” lainnya, sering terperangkap pada sikap “kultus individu”.

Selama ini begitu kuatnya anggapan bahwa apapun yang dikatakan Rosulullah, itu adalah wahyu Allah. Kemudian dengan didasari anggapan (visi) bahwa wahyu itu sesuatu yang konkrit, maka mereka menganggap bahwa semua yang dikatakan Rosul itu, juga merupakan “produk Allah” yang dijadikan “paket tambahan” kepada Nabi Muhammad setelah Al Quran, yang kemudian dijadikan dasar hukum dan syari’at Islam.

Anggapan tersebut di atas didasarkan pada Firman Allah sebagai berikut:

وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ (٣) إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡىٌ۬ يُوحَىٰ

Tidaklah ia mengatakan sesuatu dari hawa nafsunya, ia itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan. (An Najm : 3-4)

Kalau ayat ini dipahami sebagai petunjuk bahwa perkataan Rosul itu sakral, sumber hukum, karena materinya dari Allah dan Rosul hanya mengucapkan, betapa rendahnya penilaian orang terhadap Rosul ini. Karena kalau begitu, Rosul hanya ibarat “loud speaker” (pengeras suara) yang tidak akan berbunyi kalau pada mikrofon di ujung sana tidak ada yang bicara.

Ini sungguh naif dan tidak bisa diterima oleh orang yang menghargai Rosul dengan kadar yang layak baginya. Karena kalau begitu, apa prestasi Rosul? Tidak ada! Ibarat seorang anak sekolah yang bisa menjawab semua soal, tapi jawabannya itu hasil dari bisikan orang lain. Itu bukan prestasi dia. Maka kalau Rosul dianggap begitu, itu bukan pujian atau sanjungan, melainkan merupakan tuduhan yang nista terhadapnya.

Rosulullah Muhammad saw. itu seorang jenius, yang jujur dan berhati bersih, sangat peduli dan peka terhadap fenomena kehidupan di sekitarnya (bahkan jauh sebelum beliau menjadi Rosul), wawasannya luas dan jauh ke depan, pengamatan dan kekuatan analisanya tajam, semangat juang dan pengorbanannya luar biasa, keberaniannya tanpa tanding, akhlak dan budi pekertinya mempesona semua orang, ... dan segudang nilai luhur dan prestasi lainnya. Tidak sebatas empat sifat wajib bagi Rosul sebagaimana diajarkan kepada anak-anak surau atau Madrasah.

Jadi, apa yang dinyatakan pada Surat An Najm : 3-4 di atas, adalah sebagaimana pengertian wahyu dalam bahasa Allah yang diuraikan di muka. Yaitu sesuatu yang benar-benar didasarkan kepada objektivitas fakta, yang dipadukan (disertai mengingat) petunjuk dari Kalamullah. Bukan didasarkan kepada subjektivitas hawa nafsu atau kepentingan-kepentingan subjektif lainnya. Dengan kata lain, hal itu merupakan prestasi Rosulullah dalam mengakomodir fenomena dan kondisi-kondisi nyata/ faktual, dengan “Dzikrullah” (petunjuk dari Kalamullah).

Selanjutnya, betapapun sudah “kawinnya kedua substansi yang berpasangan” tersebut, tidak akan hidup di jiwa rosul dan menjadi cahaya bagi hatinya, sebelum Allah mewahyukan sesuatu kepadanya. Sesuatu yang tidak disadari dan dirasakan secara inderawi, yakni “Ruh dari urusan-Nya” (“Ar Ruh Min Amrihi”) yang dapat dialami oleh siapapun yang mempunyai kemampuan standar untuk itu. (Insyaallah pada bagian pembahasan tentang “Al Kitab”, dapat diuraikan lebih jelas).

Baik menurut logika akal sehat atau prisnsip-prinsip kebenaran yang universal (sebagai karkter dasar Dienul Islam) maupun keterangan tekstual Al Quran, tidak ada “paket khusus” yang disampaikan Allah kepada Rosullah, selain Al Qur’an. Allah tidak pernah “ber-rahasia-an” dengan salah seorang hambanya, artinya tidak pernah menyampaikan suatu rahasia kepada seseorang dengan merahasiakannya kepada orang lain, dan tidak pula kepada Rosulullah saw.

Kalaupun Al Quran bersifat “rahasia” (gaib) dalam cara penyampaiannya kepada Muhammad, tapi Allah memerintahkan beliau untuk segera menyampaikannya kepada manusia. Kemudian beliau tidak mau mengambil resiko kalau-kalau beliau keliru atau terlupa, karena Allah mengancam beliau untuk tidak menahannya atau mengubahnya barang sedikitpun. Maka setiap beliau menerima wahyu Kalamullah, beliau langsung membacakannya kepada para sahabat, dan memerintahkan mereka untuk menuliskannya dan segera pula mengajarkannya kepada yang lain.

Rosulullah tidak mendapat “perlakuan khusus” yang tidak diterima oleh yang lain, selain menerima langsung materi Kalamullah, dan dijadikan “stasiun” penyampaian dan penyebaran Kalamullah (Al Quran) itu kepada manusia.

Setelah Al Quran itu sampai juga kepada orang lain dan dapat membacakannya, seperti yang dibacakan Rosulullah sendiri, maka secara materil mereka telah memperoleh dari Allah, hal yang sama dengan yang diterima Rosulullah.

Setelah itu, segala apa yang mampu dilakukan Rosulullah dalam mengakses Ilmu dari Ayat-ayat Allah, memimpin ummatnya dan mengemban risalah-Nya, itulah prestasi dan kehebatan dirinya, dan keunggulannya dari semua manusia yang lain. Bukan karena Allah pilih kasih atau mengistimewakan perlakuan kepada beliau.

“Penyanjungan” orang yang berlebihan kepada beliau sebagai “kekasih” Allah, sampai-sampai melepaskan beliau dari sifat-sifat basyariyah manusia, ungkapan bahwa Rosulullah tak pernah salah atau gagal karena selalu dibimbing oleh “wahyu”, tanpa mereka sadari, sebenarnya sebuah pelecehan terhadap potensi dan prestasi beliau sebagai manusia biasa, sama seperti manusia lainya. Sekaligus tuduhan buruk kepada Allah dan menodai kesuciannya. Seakan-akan Allah butuh “kekasih istimewa”, seperti seorang kakek rindu “momongan” seorang cucu, kemudian berbuat “nepotisme”. Subhanallahi ‘ammaa yashifuun.!

إِن ڪُلُّ مَن فِى ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ إِلَّآ ءَاتِى ٱلرَّحۡمَـٰنِ عَبۡدً۬ا

Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. (Maryam : 93)

Coba bayangkan dan bandingkan, bila ada seorang karyawan di sebuah instansi yang prestasinya mengagumkan dan karirnya melejit, lantas orang-orang berkomentar: “Pantas saja dia begitu, karena dia kan selalu dekat dengan atasan, kekasih atasan yang selalu dibimbingnya”. Bukankah itu berarti menafikan potensi dan prestasi orang?

Dalam hubungan ini, Allah menegaskan lagi dengan Kalam-Nya:

قُل لَّآ أَقُولُ لَكُمۡ عِندِى خَزَآٮِٕنُ ٱللَّهِ وَلَآ أَعۡلَمُ ٱلۡغَيۡبَ وَلَآ أَقُولُ لَكُمۡ إِنِّى مَلَكٌ‌ۖ إِنۡ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰٓ إِلَىَّ‌ۚ قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِى ٱلۡأَعۡمَىٰ وَٱلۡبَصِيرُ‌ۚ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ

Katakan!: “Aku tidak pernah mengatakan kepadamu bahwa padaku ada perbendahaan Allah. Dan tidak pula aku mengetahui hal yang gaib, dan tidak pula aku mengatakan bahwa aku ini malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku”. Katakan!: “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang awas? Apa kamu tidak berpikir”? ( Al An’am : 50 )

Allah menegaskan bahwa tidak ada “rahasia” Allah yang rosul ketahui, dan beliaupun bukan malaikat, yang mungkin bisa “menengok” ke alam langit. Bedanya Rosul dengan yang lain hanyalah: Beliau jeli dan awas, sehingga hati dan pikirannya begitu terang, bisa memberi penerangan kepada yang lain. Sementara yang mendustakan atau melecehkannya itu buta. Allah menggugat keberpikiran manusia, karena semua fenomena yang menyangkut Rosulullah ini, adalah hal-hal yang logis rasional.

Ayat diatas akan dipahami dengan jernih dan objektif, apabila visi dan pemahaman tentang wahyu, benar-benar jernih seperti makna yang Allah tunjukkan.

Oleh sebab itu, kecemburuan tadi sangat tidak beralasan. Buat apa kita menghembus-hembuskan kedengkian. Kita semua ber-Islam itu dalam rangka berjuang menyelamatkan diri dari adzab Allah, bukan sedang mengejar sesuatu yang bersifat “Mata’ul Hayatu`d Dunya”.

Kecemburuan semacam itu hanya akan menutup hati dan bashiroh (pandangan dan penalaran–ghisyawah-). Ketika kecemburuan seperti itu dihembus-hembuskan, akan berkembang menjadi “Al Hathob” yang memanas-manasi (memprovokasi) orang banyak, dan akan menjadi “Ghisyawah” pula bagi orang banyak itu.

Kecemburuan inilah yang sebenarnya menjadi penyebab terjadinya ikhtilaf (perselisihan/ perbedaan) pandangan antara berbagai kalangan/ kelompok, dan perselisihan antara pendapat mereka dengan “kebenaran” yang sebenarnya terkandung di dalam Al Kitab.

وَمَا ٱخۡتَلَفَ فِيهِ إِلَّا ٱلَّذِينَ أُوتُوهُ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡبَيِّنَـٰتُ بَغۡيَۢا بَيۡنَهُمۡ‌ۖ

...dan tidak ada yang berselisih, kecuali mereka yang telah mendapatkannya (Al Kitab itu), setelah datang kepada mereka keterangan (bukti-bukti) yang jelas, disebebkan “baghyan” (kecemburuan/ ambisi/ persaingan) diantara mereka. (Al Baqoroh : 213)

Terakhir, jika kita simak bunyi seruan Rosulullah menurut ketarangan dari kalamulah berikut ini, lebih nyata pula bahwa seruan Rosulullah itu adalah berdasarkan hasil pengamatan, wawasan dan penalaran, dan orang-orang yang mengikutinya pun atas dasar itu pula.

قُلۡ هَـٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ‌ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۟ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى‌ۖ وَسُبۡحَـٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۟ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ

Katakanlah: “Inilah jalanku. Aku mengajakmu kepada Allah atas dasar “bashieroh” (wawasan, pengamatan dan penalaran. Pen.). Aku dan (juga) orang-orang yang mengikutiku. Maha Suci Allah. Dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang menyekutui Allah. (Yusuf : 108)

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَجِيبُواْ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمۡ لِمَا يُحۡيِيڪُمۡ‌ۖ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَحُولُ بَيۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَقَلۡبِهِۦ وَأَنَّهُ ۥۤ إِلَيۡهِ تُحۡشَرُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, sambutlah seruan Allah dan Rosul, ketika ia menyerumu kepada apa yang menghidupkanmu. Dan ketahuilah bahwasanya Allah menyekat antara seseorang dengan hatinya (orangnya hidup tetapi hatinya mati. Pen.) Dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu dikumpulkan. (Al Anfal : 24 )

سُبۡحَـٰنَ رَبِّكَ رَبِّ ٱلۡعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ - وَسَلَـٰمٌ عَلَى ٱلۡمُرۡسَلِينَ - وَٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِينَ

Name

Dakwah Ilallah,12,Jalan Keselamatan,7,Jurnal Roqim,1,Kajian Lepas,42,Manhaj Risalah,12,
ltr
item
Ini Islam: Menyingkap Penyalah Artian Wahyu
Menyingkap Penyalah Artian Wahyu
Sejak berabad-abad yang lalu, manusia telah mengembangkan filsafat untuk memahami hakikat hidup dan kehidupan ini, kemudian mencari-cari bentuk formulasi untuk dapat menata kehidupan ini dengan sistem yang dipandang benar dan membawa manfaat bagi kehidupan manusia itu sendiri.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0lHuIIMTETO0z_V2bH8MkIORmPQ87qzA355s-FM8pTUmrRa83BRpBXroGGAoB0zcFGsLuZxW5N8sfLlFCh2Zz27IFGh-ZCzAjDnE62aOSX10aXqizDKBNVIkctP-VEZqiQQ21WC1A4cA/s640/menyingkap-penyalah-artian-wahyu.png
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0lHuIIMTETO0z_V2bH8MkIORmPQ87qzA355s-FM8pTUmrRa83BRpBXroGGAoB0zcFGsLuZxW5N8sfLlFCh2Zz27IFGh-ZCzAjDnE62aOSX10aXqizDKBNVIkctP-VEZqiQQ21WC1A4cA/s72-c/menyingkap-penyalah-artian-wahyu.png
Ini Islam
http://www.iniislam.net/2017/01/menyingkap-penyalah-artian-wahyu.html
http://www.iniislam.net/
http://www.iniislam.net/
http://www.iniislam.net/2017/01/menyingkap-penyalah-artian-wahyu.html
true
7017169815549685310
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share to a social network STEP 2: Click the link on your social network Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy Table of Content