Telah begitu akrab pada lidah dan telinga kaum Muslimin, ucapan do’a atau harapan yang sering terdengar spontan dalam mengantarkan s...
Telah begitu akrab pada lidah dan telinga kaum Muslimin, ucapan do’a atau harapan yang sering terdengar spontan dalam mengantarkan seseorang yang meninggal dunia, yaitu: “Semoga Almarhum meninggal dengan membawa Iman dan Islam, semoga diterima Iman Islamnya, diterima amal ibadahnya serta diampuni segala dosa-dosanya, diberi tempat yang layak di sisi-Nya, dst.”
Memang itulah hal-hal yang paling utama menjadi harapan orang Islam jika tiba waktunya meninggal dunia, dan menuju kehidupan akhirat. Namun selanjutnya, apakah ungkapan do’a seperti di atas cukup memberi gambaran atau keterangan yang jelas dan pasti tentang apa yang harus berhasil diraih oleh setiap Mukmin dalam hidupnya di dunia dan dibawa pulang menghadap Allah di Hari Akhir?
Tentu saja jawabannya itu adalah: “Belum cukup”. Mengingat bahwa hal ihwal peristiwa di Hari Akhir itu adalah hal yang mutlak dan pasti, dimana setiap orang akan memetik hasil dan menangung akibat yang final dan abadi dari segala amal perbuatan dan perjalanan hidupnya di dunia, di sisi lain, tidak seorangpun yang punya kesempatan kedua untuk “mengulang lagi” hidup di dunia, kemudian berusaha memperbaiki kekeliruan yang ada dan berusaha meraih apa yang dulu gagal ia raih.
Oleh sebab itu diperlukan keterangan yang lebih jelas dan rinci, agar diperoleh kepastian, apakah Iman dan Islam yang kita telah merasa menyandangnya dan amal ibadah yang kita telah merasa melakukannya selama ini, telah pasti benar sesuai dengan konsep pesanan Allah, sehinga Allah akan menerimanya dengan ridho dan membalasnya dengan surga?
Jangan hanya terjawab dengan “mudah-mudahan saja” tanpa standar dan alat ukur yang jelas dan pasti, karena sekali lagi, akibatnya mutlak dan pasti dan tidak ada kesempatan lagi untuk memperbaiki.
Bukan Ruh Yang Menghadap Allah, Melainkan Jiwa
Banyak orang berdoa untuk “arwah” mereka yang telah tiada, bahkan “mengirimi” sesuatu untuk arwah tersebut. Padahal tidak ada bentuk jamak untuk kata “ruh” (arwah), karena hanya ada satu ruh yang menghidupkan semua manusia, yaitu Ruh Allah. Maka tidak ada yang pantas disebut “ruh Si Anu”, “arwah si Fulan” dsb.
Ibarat jika di suatu lingkungan hanya ada satu sumber listrik yaitu listrik PLN. Maka semua benda yang “hidup” di situ, dihidupkan dengan listrik PLN itu. Maka tidak ada yang disebut “listrik tv”, “listrik radio”, “listrik lampu”, dan sebagainya.
Setelah mencapai taraf tertentu dalam rahim ibunya, manusia dihidupkan dengan Ruh Allah. Setelah ia dilahirkan dan dirawat orang dewasa, tumbuhlah fisiknya semakin besar dan matang, bersamaan dengan itu, tumbuh pula jiwanya menuju kedewasaan.
وَنَفۡسٍ۬ وَمَا سَوَّٮٰهَا (٧) فَأَلۡهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقۡوَٮٰهَا (٨) قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّٮٰهَا (٩) وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّٮٰهَا
“Demi jiwa dan apa-apa (segala sesuatu) yang membuatnya tumbuh mendewasa lalu mengilhami jiwa tersebut dengan kedurhakaannya dan ketaqwaannya. Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya”. (Asy Syams : 7-10)
Dari sinilah dimulainya persoalan menghadapi Hari Akhir, mengemban amanah Allah. Ibarat petani yang menanam padi, tumbuhlah tanaman padi itu mulai daun-daunnya, akar dan batangnya, kemudian bulir padinya muncul sampai pada saatnya menguning dan dipanen. Bagaimanapun keadaan batang padi dan lebat daun-daunnya, yang akan dipanen petani adalah biji berasnya. Baik buruknya hasil kerja petani itu, dilihat dan diukur dari beras yang dihasilkannya. Sedangkan bagian lainnya dari tanaman padi itu, sebagus apapun ia, tetap menjadi limbah dan dibuang.
Jika hidupnya manusia di bumi ini diibaratkan “tanaman” yang hidup dan tumbuh, maka yang dipanen dari pertumbuhan dirinya itu adalah jiwanya. Sedangkan jasadnya, sebagus dan sehebat apapun tetap “dibuang” dan kembali menyatu dengan bumi asalnya. Adapun Ruhnya, adalah tetap sebagai Ruh Allah, tidak ada hubungannya dengan baik-buruknya jiwa yang dihasilkan. Manusia jahat maupun manusia mukmin yang sholeh, ruhnya sama, Ruh Allah.
ٱللَّهُ يَتَوَفَّى ٱلۡأَنفُسَ حِينَ مَوۡتِهَا وَٱلَّتِى لَمۡ تَمُتۡ فِى مَنَامِهَاۖ فَيُمۡسِكُ ٱلَّتِى قَضَىٰ عَلَيۡہَا ٱلۡمَوۡتَ وَيُرۡسِلُ ٱلۡأُخۡرَىٰٓ إِلَىٰٓ أَجَلٍ۬ مُّسَمًّىۚ إِنَّ فِى ذَٲلِكَ لَأَيَـٰتٍ۬ لِّقَوۡمٍ۬ يَتَفَكَّرُونَ
“Allah mengambil dan menyimpan (Sunda: ”ngampihan”) jiwa orang ketika ia mati, dan juga jiwa orang yang belum mati ketika ia tidur. Lalu Dia tahan jiwa orang yang ditetapkan kematian atasnya, dan melepas kembali jiwa yang lainnya (yang sedang tidur) sampai waktu tertentu. Sesungguhnya pada yang demikian itu sungguh merupakan bukti-bukti bagi kaum yang berfikir”. (Az Zumar : 42)
Jelaslah bahwa dari diri setiap orang, unsur yang Allah ambil dan simpan adalah JIWA. Untuk kemudian bila tiba saatnya (Hari Akhir), dengan sistem dan proses tertentu Allah menyeleksi dan “mensortir” jiwa-jiwa tersebut, mana yang layak menjadi “koleksi” Allah Yang Maha Suci dan Maha Agung di surga, dan mana yang mesti diafkir ke neraka.
Lebih jauh Allah menjelaskan bahwa jiwa yang diterima Allah dengan Ridho-Nya dan menjadi penghuni surga yang abadi, adalah jiwa yang berkualifikasi “ An Nafsu`l Muthmainnah” (jiwa yang mantap/stabil).
يَـٰٓأَيَّتُہَا ٱلنَّفۡسُ ٱلۡمُطۡمَٮِٕنَّةُ (٢٧) ٱرۡجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً۬ مَّرۡضِيَّةً۬ (٢٨) فَٱدۡخُلِى فِى عِبَـٰدِى (٢٩) وَٱدۡخُلِى جَنَّتِى
“Wahai jiwa yang muthmainnah, kembalilah kepada Robbmu dengan ridho dan diridhoi. Lalu masuklah dalam jajaran hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”. (Al Fajr : 27-30).
Dengan demikian, setiap orang yang percaya akan kehidupan akhirat, pasti akan sangat menginginkan untuk bisa tergolong Nafsul Muthmainnah itu. Namun tentunya keinginan yang sifatnya mutlak harus berhasil terpenuhi itu, tidak bisa hanya digantungkan pada harapan dan doa yang selalu dipanjatkan, dengan kadar probabilitasnya “mudah-mudahan”, melainkan harus benar-benar diperjuangkan berdasarkan petunjuk dan pedoman yang jelas dengan kebenaran yang betul-betul meyakinkan.
Kualifikasi Nafsu`l Muthmainnah
Selain sambutan Allah yang penuh keridhoan kepada jiwa-jiwa yang Muthmainnah, kita dapati pula penegasan Allah tentang siapa saja yang Allah pastikan akan masuk surga, seperti pada beberapa Kalam-Nya sebagai berikut.
وَبَشِّرِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ أَنَّ لَهُمۡ جَنَّـٰتٍ۬ تَجۡرِى مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَـٰرُۖ
“Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, bahwa bagi mereka adalah surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”. (Al Baqoroh : 25)
تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتُجَـٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمۡوَٲلِكُمۡ وَأَنفُسِكُمۡۚ ذَٲلِكُمۡ خَيۡرٌ۬ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ (١١) يَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡ وَيُدۡخِلۡكُمۡ جَنَّـٰتٍ۬ تَجۡرِى مِن تَحۡتِہَا ٱلۡأَنۡہَـٰرُ وَمَسَـٰكِنَ طَيِّبَةً۬ فِى جَنَّـٰتِ عَدۡنٍ۬ۚ ذَٲلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ
“Kamu beriman kepada Allah dan Rosulnya, dan berjihad di Jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Pasti Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan tempat tingal yang baik di surga “Adn. Itulah kemenangan yang besar”. (Ash Shoff : 11-12)
قُلۡ أَؤُنَبِّئُكُم بِخَيۡرٍ۬ مِّن ذَٲلِڪُمۡۚ لِلَّذِينَ ٱتَّقَوۡاْ عِندَ رَبِّهِمۡ جَنَّـٰتٌ۬ تَجۡرِى مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَـٰرُ
“Katakanlah: “Maukah aku beritahukan tentang yang lebih baik dari semua (kesenangan duniawi) itu? Bagi orang yang taqwa, disisi Robbnya tersedia surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”. (Ali Imron : 15)
وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ ۥ يُدۡخِلۡهُ جَنَّـٰتٍ۬ تَجۡرِى مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَاۚ
“Barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rosulnya, pastilah Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya”. (An Nisa : 13)
Dari keempat ayat di atas, dan banyak lagi ayat-ayat lainnya, jelaslah bahwa yang dijanjikan Allah akan dimasukkan ke dalam surga, pada intinya adalah orang-orang yang:
- Beriman
- Beramal sholeh
- Berjihad di Jalan Allah
- Taqwa kepada Allah.
- Taat kepada Allah dan Rosul-Nya.
Dihubungan dengan keterangan pada Asy Syams : 7-10 terkutip diatas, dapat dikatakan bahwa Nafsu`l Muthmainnah itu adalah jiwa yang terilhamkan (terinstal/teraplikasikan) ke dalamnya secara bersih, benar dalam takaran keseimbangan yang mantap, kelima sikap dan perilaku tersebut diatas.
Adapun “Islam” (sehubungan dengan doa yang sering terucap: “Semoga meninggalnya Si Fulan, dengan membawa Iman dan Islam”) sebenarnya merupakan institusi Dienullah yang harus eksis dan tegak di muka bumi, wahana dimana orang-orang mukmin mengembangkan amal sholehnya dan membuktikan ketaatannya kepada Allah dan Rosulnya. Bukan sesuatu yang dibawa mati. Yang teraplikasikan ke dalam jiwa dan terbawa pulang menghadap Allah adalah sikap dan perilakunya yang menjadi standar utama dalam “berislam”, yaitu taqwa dan taat kepada Allah dan Rosul-Nya.
Membaca uraian di atas, mungkin saja sejumlah orang merasa tenang, bahwa komponen-komponen yang dipesan Allah itu telah ada dan tertanam kuat di hatinya. Tidak ada yang mesti dirisaukan, tinggal terus berusaha untuk menjaga dan meningkatkannya.
Memang ketenangan semacam itulah yang diharapkan. Ketenangan dan ketenteraman hati yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang mengikuti petunjuknya.
فَإِمَّا يَأۡتِيَنَّكُم مِّنِّى هُدً۬ى فَمَن تَبِعَ هُدَاىَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡہِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ
“...lalu manakala datang kepada kalian petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada kehawatiran atas mereka, dan mereka tidak bersedih hati”. (Al Baqoroh : 38)
Yang harus menjadi pertanyaan adalah: “Sudahkah kita mengikuti petunjuk-Nya secara benar, bersih dan konsisten (مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ), sehingga kita boleh merasa yakin bahwa apa yang tertanam di hati itu telah benar-benar sesuai dengan konsep pesanan Allah?”.
Benarkah yang tertanam di hati selama ini, itulah iman yang Allah maksud? Sudah yakinkah bahwa Allah mengakui kita sebagai orang bertaqwa dan amal kita adalah amal sholeh? Benarkan yang kita ta’ati selama ini adalah Allah dan Rosulnya? Atau hanya pihak-pihak yang mengatasnamakan (“pasang label”) Allah dan Rosulnya?.
Karena masalahnya, tidak sedikit ayat yang menyatakan penolakan dari Allah atas apa yang diakui sebagaian orang sebagai iman, taqwa dan amal sholeh. Paling tidak kita tidak serta merta merasa yakin bahwa Allah membenarkan dan memandang baik apa yang kita rasa benar dan baik.
Beberapa peringatan dari Allah tentang apa yang dimaksud di atas, antara lain :
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَبِٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ وَمَا هُم بِمُؤۡمِنِينَ
“Dan sebagian manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan kepada Hari Akhir”. Padahal (sebenarnya) mereka bukanlah orang-orang yang beriman”. (Al Baqoroh : 8)
حَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ (٢) وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَـٰذِبِينَ
“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja untuk mengatakan “kami telah beriman” tanpa mereka diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka terbuktilah orang-orang yang benar, dan terbukti pula orang-orang yang dusta”. (Al Ankabut : 2-3)
أَمۡ حَسِبۡتُمۡ أَن تَدۡخُلُواْ ٱلۡجَنَّةَ وَلَمَّا يَأۡتِكُم مَّثَلُ ٱلَّذِينَ خَلَوۡاْ مِن قَبۡلِكُمۖ مَّسَّتۡہُمُ ٱلۡبَأۡسَآءُ وَٱلضَّرَّآءُ وَزُلۡزِلُواْ حَتَّىٰ يَقُولَ ٱلرَّسُولُ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَعَهُ ۥ مَتَىٰ نَصۡرُ ٱللَّهِۗ أَلَآ إِنَّ نَصۡرَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ۬
“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu seperti kepada orang-orang yang telah berlalu sebelum kalian? Mereka ditimpa bencana, kesengsaraan dan mereka diguncang. Sehingga Rosul dan orang-orang mukmin yang bersamanya merintih: “Bilakah pertolongan Allah?” Ingatlah, sesunguhnya pertolongan Allah itu dekat sekali”. (Al Baqoroh : 214)
قُلۡ هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِينَ أَعۡمَـٰلاً (١٠٣) ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعۡيُہُمۡ فِى ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّہُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا
“Katakanlah: “Maukah Kami beritahu kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amal-amalnya? Yaitu orang-orag yang sesat (sia-sia) amal perbuatannya dalam kehidupan dunia, padahal mereka beranggapan bahwa mereka telah melakukan yang sebaik-baiknya.” (Al Kahfi : 103-104)
أَمۡ حَسِبۡتُمۡ أَن تَدۡخُلُواْ ٱلۡجَنَّةَ وَلَمَّا يَعۡلَمِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ جَـٰهَدُواْ مِنكُمۡ وَيَعۡلَمَ ٱلصَّـٰبِرِينَ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum terbukti siapa yang berjihad diantara kamu lalu terbuktilah orang-orang yang sabar ?” (Ali Imron : 142)
ذَٲلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَہۡدِى بِهِۦ مَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦۚ وَلَوۡ أَشۡرَكُواْ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
“Itulah petunjuk Allah yang dengan itu Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki diantara hamba-hamba-Nya. Kalau seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya hapuslah apapun yang telah mereka kerjakan”. (Al An’am : 88)
Begitu banyak (dan masih banyak lagi) peringatan dari Allah yang menuntut kita untuk tafakur dan selalu waspada, benarkah yang selama ini kita anggap sebagai amal ibadah melaksanakan perintah Allah telah sesuai dengan yang Allah maksud, menepati amanah-Nya dan kita tinggal menunggu balasan surga pada saatnya nanti?
Jangan sekali-kali kita berpikir bahwa ayat-ayat diatas bukan ditujukan kepada kita “orang-orang yang beriman”, melainkan kepada orang-orang Yahudi, Nasrani atau “Ahli Kitab”, atau paling juga kepada orang-orang munafik. Bahkan tak jarang orang yang lantas marah bila diingatkan dengan ayat-ayat semacam itu, karena merasa dikategorikan seperti mereka.
Untuk itu perlu diingat lagi Kalamullah berikut:
وَٱتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَأَ ٱلَّذِىٓ ءَاتَيۡنَـٰهُ ءَايَـٰتِنَا فَٱنسَلَخَ مِنۡهَا فَأَتۡبَعَهُ ٱلشَّيۡطَـٰنُ فَكَانَ مِنَ ٱلۡغَاوِينَ
“Dan bacakanlah kepada mereka berita tentang orang yang didatangkan kepadanya ayat-ayat Kami, lalu mereka melepaskan diri (mengelak) darinya, lalu syetanpun merekrut dia menjadi pengikutnya, maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat”. (Al A’rof : 175)
كَلَّآ إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَيَطۡغَىٰٓ (٦) أَن رَّءَاهُ ٱسۡتَغۡنَىٰٓ
“Sadarilah! Sesungguhnya manusia itu benar-benar melanggar batas, karena menganggap dirinya sudah cukup”. (Al ‘Alaq : 6-7)
Tidak seorangpun yang punya alasan untuk merasa tenang dan aman dari ancaman Allah, sebelum ia yakin berdasarkan bukti-bukti yang nyata dan faktual, bahwa ia telah mendapatkan dan mengikuti petunjuk Allah yang begitu sistemik dan konseptual, dan sepanjang hidupnya tetap berada di bawah kontrol dan bimbingan suatu “sistem kendali Robbani” yang memiliki karakter dasar Rahman-Rahiem (Pengasih-Penyayang).
Dengan kata lain, implementasi, aktualisasi dan operasionalisasi (tadbir) “Lafadz Basmalah” harus selalu mengontrol setiap getaran hati dan setiap langkahnya.
Oleh sebab itu, orang yang berahap keselamatan di Hari Akhir, tidak bisa tidak, harus selalu berusaha mencari pentunjuk (hidayah) Allah, dan harus selalu terkontrol setiap langkah perilakunya agar tidak pernah menyalahi petunjuk tersebut.