Diantara "main set" yang Allah pasang pada penciptaan alam (khususnya bumi), yaitu ditetapkan-Nya manusia sebagai "kha...
Manusia tidak bisa menciptakan apapun. Tetapi mereka diberi kemampuan/ilmu untuk mampu mengolah, menata, merekayasa alam ciptaan Allah tersebut, sehingga benar-benar mencitrakan kesucian, keterpujian dan kebesaran Asma-Nya (Tasbih, Tahmid, Takbir).
Jika tetumbuhan dan pepohonan, misalnya, hanya tumbuh "alamiyah" sejadi-jadinya, maka yang terwujud adalah hutan belantara dan semak belukar, yang tidak akan menampilkan pesona keindahan, kenyamanan, kesejahteraan dan sebagainya, yang sebenarnya terkandung dalam "agenda" Allah pada menciptan alam semesta ini. Maka manusia diciptakan dan disetting Allah untuk mewujudksn agenda Allah tersebut.
Demikian pula halnya dengan PERILAKU manusia yang juga diciptakan Allah.
وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَ
"Dan Allah telah menciptakan kamu dan apa yang kamu lakukan". (As-Saffat : 96)
Jika perilaku budaya manusia itu dibiarkan tumbuh kembang semaunya, semata-mata tumbuh dari dorongan hawa nafsu, egoisme dan hedonisme manusia, maka yang akan terwujud adalah belantara sosial, bernuansa barbarian dan kebiadaban.
Oleh sebab itu, peran kekhalifahan manusia tersebut adalah juga mengarahkan dan mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan perilaku/budaya manusia dengan gerakan "AMAR MAKRUF, NAHI MUNKAR".
Perilaku negatif (munkar) mesti dicegah, dikikis, diberantas. Sedangkan perilaku budaya yang positif (makruf), dipupuk, didukung, dikembangkan. Dengan demikian, budaya dan peradaban yang tumbuh kembang di bumi, senantiasa mencitrakan Asma Allah, yang Maha Suci, Maha Mulia dan Maha Besar (Tasbih, Tahmid, Takbir).
Singkat kata, peran KEKHALIFAHAN manusia itu adalah, mewujudkan nuansa alam dan kehidupan budaya manusia di bumi ini sebagai manifestasi (pencitraan) Asma Allah yang terangkum tiga nuansa sebagai berikut:
- Bersih dari segala bentuk kekotoran, keburukan, ketercelaan, kedholiman, dan sebagainya. Terkait aspek ini, kita selalu mengingat kesucian Asma-Nya (berdzikir) SUBHANALLAH.
- Sarat dengan nuansa kesejahteraan, keberkahan, keamanan, kedamaian dan keberadaban/bermartabat. Segala yang selayaknya disyukuri. Sesuai Asma Allah yang Maha Mulia, Maha Terpuji (Hamiedun Majied). Terkait aspek ini, kita selalu mengingat Asmanya (berdzikir) ALHAMDULILLAH.
- Penuh pesona kehebatan yang menakjubkan. Kekayaan dan kehebatan Allah yang dikandung bumi, teridharkan secara nyata dalam wujud peradaban manusia yang terus tumbuh kembang sepertinya tanpa batas (puncaknya "di langit") di ketinggian tak terhingga. Terkait aspek ini, kita selalu mengingat ke-Maha Besaran Asma Allah (berdzikir) ALLAHU AKBAR.
Itulah fungsi dan peran ke-KHALIFAH-an manusia di bumi, yang secara etimologis (lughowi) "Khalifah" itu berarti: "yang belakangan" (sunda: pandeuri), "pengganti", "yang mewakili" (representasi). Itulah posisi dan peran manusia.
Tapi mesti diingat bahwa kalaupun kita begitu mendambakan lingkungan yang indah dan asri, dan merasa risih dengan semak dan rerumputan yang tumbuh liar di sekitar hunian kita, kita tidak boleh pula bertindak liar. Langsung main babat, pangkas, tebas dan sebagainya.
Tahan! Lahan milik siapa itu. Kalo milik orang lain, ya apa boleh buat kita tidak bisa berbuat apa-apa. Paling-paling yang bisa dilakukan adalah mengajukan usul dan saran agar pemiliknya mau mengurus dan merawat lahan miliknya itu. Jika pemiliknya tidak mau peduli, ya apa boleh buat, kita hanya bisa menerima apa yang ada, atau pindah ke tempat lain, atau kalau bisa, beli lahan itu jadi milik kita. Baru kita bisa berbuat apa saja pada lahan milik sendiri itu.
Demikian pula dengan amar ma'ruf nahi munkar. Kita tidak bisa semaunya, apalagi dengan kasar dan arogan, menganggu bahkan meneror dan menyerang pihak lain yang dinggap melakukan kemungkaran.
Lihat dulu siapa mereka itu. Apanya kita mereka itu, maka kita merasa berhak ngatur mereka, melarang mereka melakukan itu dan ini. Keluarga bukan, anak buah atau pengikutpun bukan, jadi apa dasarnya kita merasa punya hak atas mereka.
Fenomena seperti itu sering kita dengar dan saksikan. Sekelompok orang yang mengatasnamakan Allah, beramar ma'ruf nahi munkar, padahal aksi mereka itulah yang merupakan aksi kemungkaran. Menyimpang jauh dari perintah Allah.
... قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارً۬ا ...
... Jagalah dirimu dan AHLIMU dari api neraka ... (At-Tahrim : 6)
AHLIMU itulah yang harus dipedulikan dan dijaga.
Lalu siapakah AHLIMU itu?
Ketika Nabi Nuh melihat anaknya tenggelam ditelan tsunami, dia berseru kepada Allah:
وَنَادَىٰ نُوحٌ۬ رَّبَّهُ ۥ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ٱبۡنِى مِنۡ أَهۡلِى وَإِنَّ وَعۡدَكَ ٱلۡحَقُّ وَأَنتَ أَحۡكَمُ ٱلۡحَـٰكِمِينَ
"Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk AHLIKU dan sesungguhnya janji-Mu itu adalah kebenaran. Dan Engkau adalah sebaik-baiknya pengambil keputusan". (Hud : 45)
Lalu apa jawaban dari Allah?
قَالَ يَـٰنُوحُ إِنَّهُ ۥ لَيۡسَ مِنۡ أَهۡلِكَۖ إِنَّهُ ۥ عَمَلٌ غَيۡرُ صَـٰلِحٍ۬ۖ
Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk AHLIMU. Sesungguhnya perbuatannya itu tidak shalih ... (Hud : 46)
Nyata sekali bahwa anak kandung seorang Nabi sekalipun, ketika ia menolak seruan, ia "bukan ahlimu". Sedangkan yang Allah perintahkan dengan Kalamnya untuk dijaga dari api neraka itu "dirimu dan ahlimu".
Jadi kalau memang kita merasa terpanggil untuk berusaha menyelamatkan seseorang atau sekelompok orang dari adzab neraka, ajaklah dulu mereka untuk tergabung sebagai AHLIMU itu, dengan prinsip dakwah yang damai tanpa pemaksaan, apalagi kekerasan, dalam rangka TAKWIENUL UMMAH yang Allah perintahkan, sebagai mengawali gerakan AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR tersebut. (Ali Imron : 104)
Dengan demikian tindakan amar ma'ruf nahi munkar itu akan berjalan efektif, karena dilakukan pada kalangan sendiri yang hati-hati mereka telah terkondisikan dalam keimanan yang hakiki, dengan kesiapan sepenuhnya untuk selalu mendengar dan mentaati Allah dan Rosul (sami'na wa atho'na), tanpa membuat kegaduhan apapun, tanpa mengganggu apalagi mendholimi siapapun.
Adapan terhadap mereka yang berada di luar otoritas kita, kendatipun mereka dianggap sesat atau kafir, tidak ada hak atau wewenang kita bertindak apapun terhadap mereka.
Petunjuk dan arahan dari Allah tentang bagaimana mensikapi mereka, antara lain:
فَذَرۡهُمۡ فِى غَمۡرَتِهِمۡ حَتَّىٰ حِينٍ
Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu. (Al-Mu'minun : 54)
أَفَأَنتَ تُكۡرِهُ ٱلنَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُواْ مُؤۡمِنِينَ
... Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman? (Yunus : 99)
قُلۡ يَـٰقَوۡمِ ٱعۡمَلُواْ عَلَىٰ مَكَانَتِڪُمۡ إِنِّى عَامِلٌ۬ۖ فَسَوۡفَ تَعۡلَمُونَ مَن تَكُونُ لَهُ ۥ عَـٰقِبَةُ ٱلدَّارِۗ إِنَّهُ ۥ لَا يُفۡلِحُ ٱلظَّـٰلِمُونَ
Katakanlah: "Hai kaumku, berbuatlah pada posisimu, sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah yang akan memperoleh hasil yang baik. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan berhasil. (Al-An'am : 135)
وَلَا يَجۡرِمَنَّڪُمۡ شَنَـَٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ
... dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa ... (Al-Ma'idah : 8)
Dari berbagai petunjuk Kalamullah di atas, maka tindakan menggangu, apalagi mendholimi kalangan diluar "ahlimu", atau tanpa otoritas/legalitas yang haq, adalah tindak kefasikan, karena nyata-nyata tidak mempedulikan arahan dan ketentuan dari Allah, Pemilik kedaulatan atas Dien-Nya itu.