Para ulama telah mengubah, Islam yang asalnya (menurut Allah) "Agama Kebenaran" (Dienul Haqqi), dan kebenaran itu dari Allah, telah diubah menjadi "agama kesepakatan", yakni kesepakatan para ulama. Sehingga, Islam yang mereka anggap benar adalah yang pemahamannya sesuai dengan kesepakatan para ulama itu (aqidah yang disepakati).
"Setelah membaca terlihat bagus susunan kronologinya masuk diakal, tapi keimanan bukan hanya berdasarkan akal sehat dengan teori-teori manusiawi, MAHA SUCI ALLAH DENGAN SEGALA FIRMANNYA".
Dalam keterbatasan kepahaman kami atas maksud dan kemana arah komentar tersebut, kamipun ingin mengatakan bahwa kita tidak boleh merasa cukup dengan hasil penalaran akal kita semata. Harus mendapat konfirmasi dari Allah melalui Kalam-Nya.
Selain karena kemampun akal manusia memang terbatas, tak mampu mencapai kebenaran yang "haqqul yaqien", tambahan pula, "entry data" untuk bahan olahan akal pun sering kali tidak lengkap, karena terbatasnya pula kemampuan pengamatan dan pengideraan manusia, sehingga masih ada (banyak) titik-titik substansi terkait yang luput dari pengamatan.
Belum lagi jika kinerja akal itu sendiri tidak murni, dipengaruhi oleh subjektivisme hawahu, atau dipengaruhi oleh anggapan-anggapan (opini) yang sudah ada, yang kadar kebenarannya masih nisbi.
Selain itu, Allah telah menegaskan bahwa orang-orang Mukmin itu harus teguh pada prinsip HASBUNALLAH, "kecukupan kami hanyalah Allah". Artinya, seberapapun masuk akalnya, atau seberapapun banyaknya manusia yang meyakini atau menyepakati sesuatu sebagai suatu KEBENARAN, itu belum cukup untuk diyakini sebagai kebenaran sebelum didapatkan pembenaran (konfirmasi) dari Allah melalui Kalam/ayat-ayat-Nya.
Sebaliknya, ketika telah didapat keterangan yang jelas dan tegas dari Allah (melalui Kalam/Ayat-ayat-Nya), maka tidak lagi diperlukan referensi atau konfirmasi dari siapapun. HASBUNALLAH. Kecukupan kami itu hanya Allah. Cukup Allah saja bagi kami
Masih terkait hal tersebut, Allah menegaskan pula ... :
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ مَن يَضِلُّ عَن سَبِيلِهِۦۖ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ
Sesungguhnya Robbmu itu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui siapa yang sesuai (mengikuti) petunjuk. (Al An'am: 117)
Tetapi kebanyakan (nyaris semua) orang Islam malah berprinsip sebaliknya. Seberapun jelas dan tegasnya Kalamullah, mereka tidak mau mengiyakan dan mengikuti sebelum mendapat konfirmasi (acc) dari tokoh-tokoh panutan mereka.
Demikian itulah faktanya, dan demikian pula menurut pernyataan Kalamullah.
وَإِذَا تُتۡلَىٰ عَلَيۡہِمۡ ءَايَـٰتُنَا بَيِّنَـٰتٍ۬ مَّا كَانَ حُجَّتَہُمۡ إِلَّآ أَن قَالُواْ ٱئۡتُواْ بِـَٔابَآٮِٕنَآ إِن كُنتُمۡ صَـٰدِقِينَ
Dan apabila diwacanakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang jelas, tidak ada bantahan mereka selain dengan mengatakan: "Datangkanlah bapak-bapak (para tokoh panutan) kami jika memang kamu ini orang-orang yang benar". (Al Jatsiyah : 25)
Sebaliknya, ketika mereka telah mendapat keterangan dari tokoh-tokoh panutan mereka, cukuplah sudah, tak perlu Allah lagi untuk memberi pembenaran (konfirmasi). Bahkan Kitabullah itupun ditolaknya.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُواْ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُواْ بَلۡ نَتَّبِعُ مَآ أَلۡفَيۡنَا عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۗ أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَآؤُهُمۡ لَا يَعۡقِلُونَ شَيۡـًٔ۬ا وَلَا يَهۡتَدُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari bapak-bapak (panutan) kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun bapak-bapak (panutan) mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (Al Baqoroh : 170)
Terjemahan ayat diatas itu (khususnya pada ruas kalimat akhir), adalah yang terbaca pada terjemahan Kementrian Agama, yang paling banyak digunakan/dirujuk orang.
Terjemahan tersebut telah diubah jadi melenceng.
Ketika digunakan untuk mengingatkan segolongan orang, pasti mereka menolak bahkan berontak marah. Pasti mereka akan berkata:
"Para panutan kami itu bukan orang yang TIDAK MENGETAHUI SUATU APAPUN dan bukan pula orang yang TIDAK MENDAPAT PETUNJUK. Jika ayat tersebut anda tujukan kepada kami, ini berarti pelecehan bahkan penghinaan terhadap tokoh-tokoh besar panutan kami itu ...".
Wajar saja mereka berontak jika Tokoh yang jadi panutannya dianggap seperti itu: "tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk". Lagipula, tidak ada hak bagi siapun untuk menganggap orang lain seperti itu.
Maka ayat diatas jadi mandul, tidak bisa menjadi teguran atau peringatan bagi siapapun.
Hal tersebut terjadi karena ayat diatas itu diubah dan dimelencengkan terjemahannya.
"ya'qiluun" itu artinya bukan "mengetahui" melainkan "menggunakan akal/logika".
"yahtaduun" itu bukan MENDAPAT PETUNJUK melainkan BERPETUNJUK alias mengkuti atau sesuai petunjuk.
Jika tidak diubah-ubah, maka esensi teguran dari Allah tersebut diatas adalah:
"apakah akan diikuti juga, meskipun tidak masuk diakal (tidak logis) dan tidak sesuai petunjuk...?".
Jadi tidak ada yang bersifat pelecehan ataupun subjektivisme.
TIDAK LOGIS dan TIDAK SESUAI PETUNJUK itu bukan tudingan tanpa dasar apalagi pelecehan, melainkan hal yang objektif dan terukur.
Maka sebenarnya petunjuk dari Allah pada Al Baqoroh 170 di atas, esensinya adalah, pendapat atau ajaran dari siapapun, untuk diterima sebagai kebenaran, mesti diukur dan dikontrol dengan:
TIDAK MENYALAHI LOGIKA AKAL SEHAT, dan TIDAK MENYALAHI PETUNJUK KALAMULLAH.
Akan tetapi pada kenyataanya, sebagian besar orang Islam (bahkan nyaris seluruhnya) tidak pernah peduli dengan kedua alat ukur tersrbut, LOGIKA AKAL SEHAT dan PETUNJUK KALAMULLAH. Mereka langsung saja menganggap sebagai kebenaran apapun yang mereka dengar dari orang yang dianggapnya lebih tahu, lebih pintar.
Bahkan kalaupun mereka menyebut-nyebut Allah dan Kitabullah dalam pernyataan-pernyataannya, Allah tetap mengingatkan untuk selalu waspada dan selektif, sebagaimana Kalam-Nya:
وَإِنَّ مِنۡهُمۡ لَفَرِيقً۬ا يَلۡوُ ۥنَ أَلۡسِنَتَهُم بِٱلۡكِتَـٰبِ لِتَحۡسَبُوهُ مِنَ ٱلۡڪِتَـٰبِ وَمَا هُوَ مِنَ ٱلۡكِتَـٰبِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ وَمَا هُوَ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ
Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidah mereka terkait Al Kitab, supaya kamu mengira bahwa itu dari Al Kitab, padahal itu bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: "Ia (ini) dari Allah", padahal ia itu bukan dari Allah. Mereka mengatakan kebohongan atas Allah padahal mereka mengetahui. (Ali Imron : 78)
Demikianlah sebagian dari butiran-butiran Ajaran Allah terkait penggunaan AKAL SEHAT/LOGIKA dan konsistensi pada petunjuk Kalamullah dan Ayat-ayat-Nya.
Kita lanjutkan pembahasan terkait judul diatas.
Allah menyatakan bahwa Al Islam (Dienullah) itu adalah FITHRAH ("Karya Intelektual") Allah, dimana manusia diciptakan berdasarkan Fithra-Nya itu, dan tidak pernah ada perubahan terkait hal tersebut.
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفً۬اۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡہَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٲلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَـٰكِنَّ أَڪۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ
Maka berdiri teguhlah pada agama Allah secara lurus konsisten. Tetaplah pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas dasar fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang tegak mandiri; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Ar Ruum: 30)
Dengan demikian, seluruh konten Dienullah ini tidak ada yang menyalahi tabiat asli/naluri original manusia.
Terkait hal tersebut, ada arahan dari Allah untuk menuntun manusia memahami aspek-aspek mendasar dari Dienullah, dengan beranalog pada pengalaman dan penghayatan manusia atas ihwal dirinya sendiri.
ضَرَبَ لَكُم مَّثَلاً۬ مِّنۡ أَنفُسِكُمۡۖ هَل لَّكُم مِّن مَّا مَلَكَتۡ أَيۡمَـٰنُكُم مِّن شُرَڪَآءَ فِى مَا رَزَقۡنَـٰڪُمۡ فَأَنتُمۡ فِيهِ سَوَآءٌ۬
Dia menggelar perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada diantara hamba sahaya yang kamu miliki itu (bisa) merupakan sekutu bagimu dalam rezeki yang telah Kami berikan kepadamu (hartamu); maka mereka itu sama dengan kamu dalam (hak/otoritas atas) harta tersebut? ... (Ar Ruum : 28)
Pasti jawabnya tidak. Bagaimana mungkin seorang hamba (bahkan pekerja pun) memiliki otoritas/hak yang sama dengan tuannya atas harta milik tuannya itu.
Nah, sekarang coba dipikir, ketika Allah memiliki sebuah "Maha Karya Intelektual" yakni Dienul Islam ini, lalu manusia sebagai hamba Allah yang menganut Dien tersebut, merasa punya hak otoritas atas Dienullah itu, sehingga berani mengotak-atiknya, mengubah-ubahnya, bahkan menukar kontennya sampai ke tataran yang paling asasi, dengan opini dan kesepakatan segolongan mereka, menggantikan apa yang sebenarnya dari Allah...??!
Bukankah itu merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan Allah atas milikNya yang Maha Suci dan Maha Tinggi itu?
Allahnya menyebut tindakan seperti itu sebagai "menyekutui/menyekutukan Allah". Tindakan yang paling dibenci dan dimurkainya...
وَلَا تَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُشۡرِڪِينَ (٣١) مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمۡ وَڪَانُواْ شِيَعً۬اۖ كُلُّ حِزۡبِۭ بِمَا لَدَيۡہِمۡ فَرِحُونَ
... dan janganlah kamu tergolong orang-orang yang menyekutui/menyekutukan Allah; yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi bergolong-golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka. (Ar Ruum : 31-32)
Sebagaimana Allah menggelar perumpamaan dengan posisi hamba sahaya seperti tersebut di atas, Allah baru saja memberi kita pelajaran dengan pengalaman kita sendiri. Pertanyaannya, adakah yang mengambil pelajaran?
Pilpres kita kemarin jadi bertele-tele. Dalam proses penghitungan hasilnya ada beberapa lembaga survei yang melakukan quick count, tapi kemudian ada beberapa lembaga yang merilis hasil yang berbeda dengan kebanyakan lembaga survei lainnya. Hal ini menimbulkan kontroversi yang begitu ekstrim, hingga kedua kubu kandidat saling mengklaim kemenangan pihaknya.
Fenomena tersebut tak pelak membuat gerah dan geramnya para pengusung (komunitas) Ilmu Pengetahuan (sains). Mereka menilai fenomena tersebut mencederai kredibilitas Ilmu Pengetahuan menodai keterhormatan/elegansi sains tersebut, membuat masyarakat jadi meragukan bahkan tidak percaya lagi pada produk sains tersebut.
Kalau manusia saja merasakan hal yang demikian, bagaimana mereka berpikir tentang Allah, Pemilik Tunggal suatu produk Ilmu-Nya yang dinamai-Nya DIENUL ISLAM...?
Kemudian golongan manusia yang mengaku sebagai mewujudkannya, menggelarnya dalam kehidupan mereka, tapi faktanya mereka terpecah belah, berbeda-beda, berselisih bahkan saling memusuhi satu sama lain ...?
Kalau saja mereka menggunakan perasaan dan akalnya dengan benar, pasti mereka takut bahwa Allah pasti geram dan murka. Tidakkah mereka menyadari bahwa itu mencederai dan menodai kusucian, ketinggian dan kesempurnaan Dienullah...?
Padahal merekapun tahu Kalamullah, betapa Allah murka dan mengancamkan adzab yang besar atas fenomena perpecahan dan perselisihan seperti itu.
وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَٱخۡتَلَفُواْ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡبَيِّنَـٰتُۚ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ لَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٌ۬
Dan janganlah kamu menjadi seperti halnya orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang bagi mereka ADZAB YANG BESAAR. (Ali Imron : 105)
Fenomena perpecahan dan perselisihan dalam ber-ISLAM itu adalah fakta nyata yang tidak bisa dipungkiri. Dan kemurkaan serta ancaman adzab dari Allah atas fenomena yang demikian itupun nyata dan tegas.
Tapi tidak satupun dari kelompok-kelompok (ahzaab) itu tawaddu merunduk takut dan prihatin. Mereka semua bangga dengan kelompoknya dan dengan apa yang menjadi anutannya.
Mereka semua siap pasang kuda-kuda di tapal batas kelompoknya, siap menghadang dan memukul siapa saja yang datang dengan pemahaman yang berbeda, apalagi jika mengoreksi dan mengeritiknya.
Padahal pernyataan dari Allah fenomena itupun begitu jelas dan tegas.
فَتَقَطَّعُوٓاْ أَمۡرَهُم بَيۡنَہُمۡ زُبُرً۬اۖ كُلُّ حِزۡبِۭ بِمَا لَدَيۡہِمۡ فَرِحُونَ (٥٣) فَذَرۡهُمۡ فِى غَمۡرَتِهِمۡ حَتَّىٰ حِينٍ
Kemudian mereka memenggal-menggal agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan (HIZBU) merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka (masing-masing). Maka biarkanlah mereka dalam KETERSESATAN hingga suatu saat. (Al Mukminun : 53-54)
Begitu jelas dan tegas Allah menyatakan bahwa mereka itu dalam KETERSESATAN. Tapi anehnya ketika ada satu pihak yang mengajak kembali (berinabah) kepada Allah satu-satunya (AHAD) Pemilik Tunggal Dienul Islam ini, justru mereka yang datang itu dituding aliran sesat. Publik pun dihasut dan diprovokasi untuk secara arogan dan anarkis membinasakannya, mengusir dari kampung halamannya.
ثُمَّ أَنتُمۡ هَـٰٓؤُلَآءِ تَقۡتُلُونَ أَنفُسَكُمۡ وَتُخۡرِجُونَ فَرِيقً۬ا مِّنكُم مِّن دِيَـٰرِهِمۡ تَظَـٰهَرُونَ عَلَيۡهِم بِٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٲنِ وَإِن يَأۡتُوكُمۡ أُسَـٰرَىٰ تُفَـٰدُوهُمۡ وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيۡڪُمۡ إِخۡرَاجُهُمۡۚ أَفَتُؤۡمِنُونَ بِبَعۡضِ ٱلۡكِتَـٰبِ وَتَكۡفُرُونَ بِبَعۡضٍ۬ۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفۡعَلُ ذَٲلِكَ مِنڪُمۡ إِلَّا خِزۡىٌ۬ فِى ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلۡعَذَابِۗ
Kemudian kalian ini malah memerangi sesamamu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan dari kalian dari kampung halamannya, kamu saling menonjolkan atas mereka noda-noda dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan mengingkari bagian yang lainnya? Tidak ada balasan bagi orang yang berbuat demikian itu, melainkan kehinaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat ... (Al Baqoroh : 85)
Lebih dahsyat lagi peringatan dari Allah seperti berikut:
فَبِمَا نَقۡضِہِم مِّيثَـٰقَهُمۡ لَعَنَّـٰهُمۡ وَجَعَلۡنَا قُلُوبَهُمۡ قَـٰسِيَةً۬ۖ يُحَرِّفُونَ ٱلۡڪَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِۦۙ وَنَسُواْ حَظًّ۬ا مِّمَّا ذُكِّرُواْ بِهِۦۚ
Lalu karena mereka melanggar janjinya, Kami LAKNAT mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka mengubah-ubah Kalam (Allah) dari posisi maknanya, dan mereka melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya ... (Al Maidah : 13)
Tetapi orang-orang Islam berkelit dari ancaman ayat diatas. Mereka bilang, itu kutukan Allah bagi Bani Israil. Padahal kebenaran dari Allah, dan juga akal sehat mengatakan bahwa Allah memberi penghargaan ataupun hukuman kepada manusia itu berdasarkan pada sikap dan perbuatan mereka. Bukan karena mereka itu bangsa apa, golongan mana, keturunan siapa dan sebagainya.
Maka siapapun, golongan manapun mereka, jika mereka itu melanggar perjanjian dengan Allah, mengubah-ubah makna Kalamullah, melupakan bagian-bagian yang telah diingatkan Allah. Maka pastilah merekapun akan mendapat perlakuan yang sama dari Allah.
Masih kurang jelaskah, siapa sebenarnya yang berada dibawah bayang-bayang MURKA ALLAH...?